Sunday, November 23, 2008

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 16

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini dalam Alkitab kita diberi judul Bahagia Orang Saleh. Tentu kita bisa bertanya, mana atau apa bahagia orang saleh itu? Itulah yang mau dilihat di sini. Mazmur 16 ini dapat menjadi salah satu model hidup orang yang beriman, yaitu menyerahkan diri sepenuhnya dan seutuhnya kepada Allah, agar Allah menjaga dan melindungi hidupnya (ay 1). Hal ini dianggap sewajarnya demikian karena hanya Allah saja yang baik, hanya Allah saja yang indah, sehingga orang pun datang berserah kepadaNya dan bukan kepada yang lain (ay 2). Dalam hal ini, si pemazmur meniru orang kudus, sebab cara hidup orang kudus menjadi kesukaannya (ay 3). Ia memandang hidup orang kudus yang memantulkan kekudusan Allah sebagai cermin kesempurnaan, speculum perfectionis (meminjam istilah mistikus agung Fransiskan abad ketigabelas, Sto.Bonaventura).

Setelah secara singkat melukiskan hidup orang saleh, si pemazmur dalam ayat 4 mencoba mengajukan semacam kritik praxis berhala: ada kontras yang sangat menarik di sana. Yakni kalau hidup orang saleh ditandai sukacita, maka hidup orang salah ditandai dukacita, kesedihan. (Perhatikan permainan kata saleh dan salah itu, yang hanya beda satu huruf saja, sebab memang kalau hidup saleh tidak dijaga, ia mudah menjadi salah; tetapi sebaliknya dalam bantuan rahmat Allah hidup salah pun dapat juga diubah menjadi saleh). Itu sebabnya si orang saleh selalu berusaha mengambil jarak kritis dari praxis berhala orang salah (ay 4b). Ia berjarak dari dua tindakan fundamental praxis berhala itu, yaitu mempersembahkan korban darah dan menyebut nama, sebab menyebut nama di sini berarti mengagungkan nama dan menjadikan nama itu sumber dan landasan hidup (kira-kira seperti orang saleh yang menyerukan dan mewartakan Nama Tuhan).

Oleh karena dia mencoba mengambil jarak kritis dari praxis berhala orang salah maka ia pun mendapat nasib dan hidup yang baik; yaitu diperlakukan secara istimewa oleh Allah: Allah menjadi sumber daya dan sukacita hidupnya (dilambangkan dengan piala, anggur); Allah juga memilih bagian undian yang terbaik baginya, dan akhirnya juga dipilihkan tempat yang paling permai dalam pembagian tanah pertanian (ay 5-6).

Mengingat semuanya itu, maka si pemazmur pun mencoba memuji-muji Allah, yang dialami dan dirasakannya sangat dekat dengan dia, sebab Allah itu ada dalam hatinya, bersuara dalam suara hatinya, dan karena itu Ia menasihati dan mengajari dia dari dalam (ay 7). Dalam ayat 8, si pemazmur mencoba memakai metafor yang lain untuk melukiskan fakta betapa dekatnya Allah itu pada dia: Alah berdiri di sebelah kananku. Alhasil, si pemazmur itu dapat berdiri kokoh, tidak goyah sedikitpun. Karena Allah sangat dekat dengan dia, maka ia pun merasa sangat aman karena dekat dengan Allah: Kalau Allah besertaku, siapa dapat melawan aku? (ay 9).

Rasa aman tenteram itu lalu meluap-luap ke dalam sukacita dan sorak-sorai, sebab secara psikologis hanya orang yang merasa aman saja yang dapat bersukacita dan bersorak-sorai. Terbayang di sini orang-orang yang berada di daerah konflik ras dan agama. Mereka tidak dapat bersukacita dan bersorak-sorai dalam memuji Allah. Si pemazmur luput dari ketakutan dan kecemasan psikologis seperti itu. Ia bersorak-sorai karena yakin bahwa Allah memelihara hidupnya (ay 10) dan Allah juga menuntun dia kepada kehidupan dalam segala kelimpahan dan kemewahannya (ay 11). Mengingat semuanya itu, tampak amat jelas bahwa Allah adalah sumber sukacita hidup orang saleh. Itulah yang menjadi kebahagiaan orang saleh. (EFBE@fransisbm)


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...