Mazmur ini dalam Alkitab diberi judul Diburu dengan tak bersalah. Untuk memahami judul ini kita harus mendalami makna mazmur ini. Di sini si pemazmur memanjatkan doa kepada Allah, sebuah doa yang tulus dan suci yang terucap oleh bibir yang bersih (ay 1). Dalam dan melalui doa itu si pemazmur berharap mendapat pertolongan Allah sebagai hakim yang adil, yang maha-melihat (ay 2). Ia berani memanjatkan doa kepada Allah karena ia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, yaitu bahwa ia tidak bersalah baik itu menyangkut perbuatan maupun perkataan (ay 3). Kongkretnya, ia menjauhi perilaku keras (ay 4) karena ia mau mengikuti sabda Allah dengan konsisten; ia tidak menyimpang dari Allah (ay 5). Atas dasar rasa percaya diri ini, ia berdoa dengan sangat yakin kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya (ay 6). Ia berharap pada hesed Allah, yaitu kasih setia-Nya, yang mengandung daya penyelamatan dan hidup (ay 7).
Dalam ayat 8 kita menemukan dua metafor antropomorfistik yang sangat indah: pertama, si pemazmur berharap agar Allah sudi memelihara dan melindungi kita seperti memelihara biji mata. Bukankah kita sangat memperhatikan kesehatan mata kita? Kalau mata kelilipan, maka dengan hati-hati kita mengeluarkannya agar tidak menggores biji mata. Kita menempatkan diri sebagai makhluk yang rapuh di hadapan Allah pemelihara. Itulah visi antropologi-teologis yang terkandung di balik metafor ini. Kedua, ada metafor induk ayam yang melindungi anaknya di bawah naungan sayapnya dari pemangsa dan hawa dingin di waktu malam. Sebuah pelukisan yang amat naturalistik akan Allah.
Sesudah melukiskan metafor yang indah dalam ayat 8, lalu pemazmur melukiskan hidup orang fasik dalam ayat 9-12. Dikatakan bahwa orang fasik itu memperlakukan si pemazmur dengan kasar (menggagahi, semacam rape, violence), dikepung (ay 9). Ayat 10 sangat menarik, sebab dalam bahasa Latin ungkapan belas kasihan ialah misericordia, yang kalau ditelusuri secara etimologis artinya miseri (sakit) dan cordia (hati), artinya bukan sakit hati, melainkan hati yang mampu ikut merasa sakitnya orang lain. Orang fasik itu tidak menunjukkan hati yang kasih, hati yang mampu ikut merasakan sakit orang lain, mampu berempati. Mulut, lidah, bibir mereka juga berbual. Jadi kejahatan orang fasik itu menyeluruh: menyangkut hati dan kata-kata bibir. Dalam ayat 11-12, kita melihat metafora pengeroyokan: Diintai terus menerus, dikerumini, dipelototi; dan kalau sudah tepat waktunya, lalu diterkam. Metafor ini semakin dipertajam lagi secara tragis dan sadis dalam ayat 12, di mana muncul singa sebagai binatang carnivora yang secara alami sangat terlatih untuk mengintai (mengendap) dan menerkam. Jadi, tampak bahwa riskan sekali hidup orang ini. Hidup di ujung tanduk. Dikepung marabahaya.
Oleh karena itu, ia hanya bisa berharap pada Allah. Ia meminta agar Allah sudi bangkit membela dan menolong dia (ay 13), agar ia luput dari orang jahat (ay 14a). Ia berharap agar Allah bertindak atas mereka. Menarik bahwa ia menyerahkan pengadilan atas orang fasik pada penyelenggaraan dan pengadilan Allah; ia tidak mau main hakim sendiri (seperti yang kita lihat dalam masyarakat di sekitar) (ay 14bc). Setelah semuanya itu, seakan-akan sebagai puncak atau mahkota refleksi teologisnya, ia pun masuk dalam visio beatifica, tatapan yang membahagiakan, sebuah pengalaman mistik. Ia temukan kebahagiaan dalam memandang rupa Allah (ay 15), yang menurut Kej.1:26-28, sudah menjadi rupanya sendiri, karena ia diciptakan menurut rupa Allah. Manunggaling kawula Gusti. Hanyut dalam keheningan mistik nan bening. Luar biasa.
No comments:
Post a Comment