Mazmur 8 ini sangat terkenal dalam antropologi teologi. Ada dua hal yang mau saya bahas dari mazmur ini. Pertama, strukturnya. Kedua, penelusuran isi dari ayat ke ayat. Mazmur yang pendek ini (10 ayat) dibingkai dengan refrain sangat terkenal: Ya, TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! (ay 2.10). Ini sebuah maklumat, sekaligus pengakuan akan kemuliaan TUHAN. Ini refrain yang sangat terkenal karena mewakili dengan sangat tepat reaksi spontan manusia religius tatkala menikmati dan mengagumi keindahan alam semesta. Jangankan mansuia dewasa yang sudah berpikir dan merenung, anak kecil pun sudah tahu, dan mempunyai intuisi kodrati akan hal ini (ay.3). Maka ateisme menjadi tidak mungkin karena semuanya sudah dibungkam oleh paduan suara alam semesta termasuk anak-anak dan bayi yang memuji TUHAN Allah.
Dalam ayat 4-5 kita melihat bagaimana manusia berada di tengah semesta. Ia menyebut unsure besar di cakrawala: langit, bulan, bintang (ia merenung di malam hari, sebab matahari tidak disebut). Semuanya agung, luar biasa mengagumkan. Benda-benda ini sering menjadi “dewa” pujaan dalam dunia kuno. Tetapi oleh pemazmur ditempatkan di bawah Allah, karena termasuk ciptaan Allah. Jadi, jangan menyembah mereka. Cukup mengagumi saja. Setelah melayangkan pandangannya ke cakrawala, manusia itu melihat ke dalam dirinya sendiri. (Jadi, yang di atas tadi adalah perjalanan kosmologis, menelusuri makrokosmos, maka yang di sini adalah perjalanan antropologis, menelusuri mikrokosmos). (Dalam perjalanan ini) Tiba-tiba (saja) ia sadar bahwa ia sangat kecil di tengah ala mini. Sama sekali bukan merupakan keajaiban (jika) dibandingkan dengan benda-benda angkasa tadi. Tetapi di sini manusia merasakan karya Allah atas dirinya berupa penyelenggaraan Ilahi, providential Dei. Hal itu terungkap dalam kata mengingat dan mengindahkan(ay 5). Jadi, walaupun merasa kecil dan hina di tengah alam ini, toh ia diingat dan diindahkan atau diperhatikan Allah. Inilah yang saya sebut sebagai kesadaran paradoksal anak manusia akan dirinya sendiri: merasa kecil dan hina, tetapi diperhatikan Allah. Kehadiran benda ajaib di cakrawala seakan mengundang manusia untuk memuji keluhuran dan keagungan Allah.
Kesadaran paradoksal itu dilanjutkan dalam ayat 6. Bahkan di sini terasa (sekali) sebuah loncatan dahsyat, cenderung kea rah “keangkuhan,” karena dikadakan bahwa Allah menciptakan manusia hampir setara dengan Allah. Tetapi dibandingkan dengan (apa yang dilukiskan dalam kitab) Kejadian itu, loncatan ini belum seberapa karena di sana dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra Allah itu (Kej.1:26-27). Ayat 6 mengandung sebuah antropologi teologi Yudeo-Kristiani yang dahsyat sebab manusia dimahkotai Allah dengan kemuliaan dan hormat. Tidak hanya itu saja, sebab dalam ayat 7, manusia diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam daya kuasa Allah, sebuah tanggung-jawab teologis atas ciptaan Allah. Tetapi kuasa Allah selalu bersifat etis, artinya bertanggung-jawab secara moral atas kesejahteraan dan kebaikan ciptaan. Manusia ikut ambil bagian dalam daya kuasa seperti ini.
Jadi, dalam mazmur ini terkandung pandangan manusia akan dirinya sendiri, akan kedudukan manusia dalam alam semesta, akan kedudukan dan peranan ciptaan lain. Manusia menyadari bahwa dirinya adalah penyembah Allah. Tetapi ciptaan lain juga menyembah Allah. Jadi, mereka adalah sesame penyembah, co-adorer: Manusia tidak hanya co-creator saja, tetapi juga co-adorer. Fransiskus dari Asisi lewat Gita Sang Suryanya yang terkenal itu, berupaya keras menjadikan manusia sebagai co-adorer Allah dan tidak hanya co-creator saja, yang cenderung mencemplungkan manusia ke dalam keangkuhan antropologis yang mengerikan. Dengan itu, baik Fransiskus maupun mazmur 8 menutup jalan ke penyembahan berhala, menyembah alam. Cukup kita mengaguminya saja. Terpujilah Engkau ya Tuhanku karena alam semesta ini. Begitulah Fransiskus dari Asisi memantulkan kembali mazmur ini berabad-abad kemudian. Itulah sebabnya aku selalu mencintai Bapa Fransiskus, karena saya pun adalah Fransiskus dan juga Fransiskan.
Kepustakaan:
Claus Westermann, Genesis,
Jean Danielou, Genesis,
Artur Weiser, The Psalm, A Commentary,
No comments:
Post a Comment