Tuesday, October 14, 2008

MEMBACA DAN MENIKMATI MAZMUR 30

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Tepat Kitab Suci memberi judul ini: Nyanyian syukur karena selamat dari bahaya. Tepat karena isinya adalah lagu syukur. Kita mencoba mendalami mazmur ini berdasarkan dinamika isinya yang dapat dibagi dalam beberapa bagian: Unit satu, ayat 1-4, unit dua, ayat 5-6, unit tiga, ayat 7-8, unit empat, ayat 9-11, unit lima, ayat 12-13. Kita akan mendalami teks ini dengan menyelami masing-masing unit itu. Mari kita melakukannya dalam suasana doa, sebab mazmur ini adalah doa.

Si pemazmur mulai dengan pelukisan akan pengalaman shalom (ay 2). Pelukisan pengalaman shalom ini dilanjutkan dalam ayat 4. Menurut kedua ayat ini, si pemazmur yakin bahwa Tuhanlah sumber shalom hidup, Tuhanlah yang mengerjakan shalom bagi dia. Hal itu diungkapkan dengan beberapa metafor, seperti “menarik ke atas”, atau “mengangkat aku dari dunia orang mati,” dst. Atas dasar pengalaman shalom yang berasal dari Tuhan, si pemazmur berani berseru memohon pertolongan Tuhan (ay 3). Dengan kata lain, si pemazmur berseru minta tolong kepada Tuhan, karena selama ini Tuhan sudah menjadi pembawa shalom nyata dan eksistensial dalam hidupnya sendiri.

Atas dasar pengalaman shalom yang sangat personal itu, maka kita bisa mengerti mengapa si pemazmur mengajak orang lain memuji Tuhan (ay.5). Ia mengajak orang lain yang kiranya punya pengalaman yang sama dengan dia, untuk bernyanyi memuji Tuhan. Alasannya tetap sama, yaitu Tuhan sumber shalom hidup, tetapi sekarang ia ungkapkan dengan bahasa lain, yaitu murka Tuhan hanya sekejab, tetapi kasih setiaNya berlangsung kekal abadi, sampai selamanya. Lagipula ia menandaskan bahwa dukacita yang melanda hidup kita tidak berlangsung berkepanjangan, melainkan hanya beberapa saat saja: sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.

Lagi-lagi atas dasar pengalaman shalom itu juga, si pemazmur merasa bahwa dirinya akan aman sentosa untuk selamanya (ay.7), karena ia diungsikan oleh Tuhan ke atas gunung batu yang menjadi benteng pertahanannya yang kokoh dan kuat. Di tempat lain kita sudah melihat bahwa gunung batu adalah bahasa metaforis untuk Tuhan sendiri.

Dalam bagian berikutnya kita melihat lagi seruan pemazmur yang menegaskan kesetiaannya untuk selalu berseru kepada Tuhan. Hanya di sini terjadi dialog yang tampaknya mau meyakinkan kita bahwa kalau si pemazmur itu hidup, hal akan lebih baik daripada dia harus mati. Kalau dia mati, maka ia tidak memuji Tuhan. Sebab orang mati (metafor untuk orang mati, yang kembali kepada debu asalnya) tidak dapat memuji Tuhan. Atas dasar keyakinan itu, maka dalam ayat 11 ia mau dan berani melambungkan sebuah permohonan yang lain. Ia meminta agar Tuhan sudi menjadi penolongnya.

Akhirnya, dalam unit terakhir (ay.12-13), sekali lagi kita merasakan transformasi hidup rohani dan psikologis yang dialami si pemazmur. Terjadi suatu pembalikan situasi hidup: dari dukacita menjadi sukacita, dari busana berkabung ke busana pesta. Dan Tuhanlah yang melakukan semuanya itu. Tuhanlah yang memungkinkan semuanya itu bisa terjadi. Atas dasar itulah maka di ayat terakhir, si pemazmur dengan lantang berkata bahwa semua karya penyelenggaraan Allah, itulah yang memungkinkan dirinya bisa memuji Allah (ayat 13a). Si pemazmur berjanji kepada dirinya sendiri, dengan separuh nada bersumpah, bahwa dirinya akan memuji dan memuliakan Tuhan untuk selama-lamanya. Dalam hidupnya di dunia ini, ia mau menyanykan lagu syukur bagi Tuhan.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...