Tuesday, October 14, 2008

DALAM DUNIA SERBA LAKI-LAKI

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Untuk pertama kalinya, saya sadar bahwa kami para siswa seminari, semuanya laki-laki. Ya, itu tidak mengherankan karena yang diterima di seminari adalah anak laki-laki yang bercita-cita menjadi imam, atau didorong-dorong dan dikondisikan oleh orang tua atau pastor paroki atau gurunya untuk bercita-cita seperti itu. Di seminari pun kesadaran akan cita-cita itu terus ditanamkan dan diperkuat. Saya masih ingat dengan baik bahwa salah satu lagu ekaristi yang rutin dinyanyikan sebagian syairnya berbunyi sebagai berikut: “…supaya aku menjadi, imam suci sejati.” Kalimat itu diulang dua kali. Ya, supaya kami menjadi imam suci sejati. Itulah program dan cita-cita hidup kami.

Imam atau pastor dalam tradisi gereja katolik semuanya lelaki. Itu sebabnya dunia seminari adalah dunia laki-laki. Maka masuk ke seminari berarti masuk ke dunia serba laki-laki. Bagi saya hal itu terasa aneh sekali. Itulah untuk pertama kalinya saya duduk di ruang kelas di mana tidak ada perempuan. Saya terasing atau diasingkan dari perempuan.

Sempat saya bingung, tetapi kemudian menjadi terbiasa. Semula saya merasa kehilangan, ada sebuah dimensi hidup yang terasa hilang, tidak ada suara perempuan yang khas, tidak ada perempuan yang tiba-tiba murung tanpa bisa dipahami sepenuhnya. Sebab saya teringat akan teman kelas saya di SD dulu ada yang mengalami haid pada kelas lima atau enam. Mereka menjadi orang yang suka murung dan biasanya mereka didampingi para bapa atau ibu guru yang mengerti keadaan itu. Saya beruntung bahwa ibu saya menceritakan semua misteri tubuh perempuan itu kepada saya. Sekarang, saya terasing dari misteri tubuh perempuan itu. Saya masuk dalam dunia laki-laki.

Mungkin sementara orang berkata bahwa dalam keadaan seperti itu, sebenarnya tidak ada yang aneh. Tetapi bagi saya, di sana ada sesuatu yang aneh. Kami para lelaki, biarpun masih muda, secara kodrati merindukan relasi dengan perempuan. Saya amati bahwa para senior kami ada yang berperilaku aneh terhadap kami yang yunior. Semula saya tidak begitu menyadari hal itu sebagai penyimpangan. Untung saya segera menyadari bahwa itu tidak baik. Itu adalah ekses dari konteks hidup yang didominasi total oleh sesama jenis. Lambat laun ada efek negatifnya. Ada beberapa teman yang jatuh ke dalam perilaku homoseks. Untung hal itu segera ketahuan dan mereka dikeluarkan.

Tetapi tendensi homoseks terselubung bukannya tidak ada. Ia tetap ada. Tetapi bukan berarti juga bahwa tendensi dan apresiasi akan heteroseks lalu mati. Tidak juga. Sebab kehadiran perempuan di seminari menjadi sesuatu yang unik. Suaranya menjadi sangat aneh. Kami selalu menyebutnya suara sopran, yang dalam kategori suara di seminari tidak ada, karena semuanya adalah suara laki-laki.

Di tengah kondisi itu semuanya, saya mulai sadar bahwa hal seperti ini tidak seharusnya demikian. Saya rindu kembali ke dunia nyata, di mana anak-anak pria dan wanita bergaul secara wajar dalam hidup sehari-hari. Pergaulan wajar itu di seminari, mungkin hanya berlangsung dalam tingkat imajinasi saja, atau mungkin dalam nostalgia. Sebab kalau berlibur, siswa seminari punya kesempatan bergaul lagi dengan teman-teman wanita mereka yang sekolah di sekolah umum.

Ketika pulang ke seminari, pengalaman perjumpaan dan pergaulan itu menjadi cerita yang menarik untuk dikisahkan kembali, disharingkan. Kisah serta sharing itu menjadi ruang imajiner dan virtual di mana mereka membayangkan suatu tata hidup lain, yaitu hidup bersama wanita, sementara dunia mereka yang nyata dalam dunia seminari, adalah dunia serba laki-laki.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...