Thursday, August 14, 2008

Upah sedinar sehari dan Kakak-adik

Sari Firman Minggu September 2008 II
Minggu 21 September 2008
: Bac: Yes.55:6-9; Flp.1:20c-24,27a; Mat.20:1-16a. Kiranya injil yang kita baca dan dengar hari ini termasuk salah satu teks yang akrab di telinga kita. Semoga kita sering membaca, mendengar dan merenungkannya. Saya sendiri sering membaca dan merenungkan teks ini, karena ini termasuk teks yang sulit ditafsirkan dan dipahami. Dalam tradisi ilmu tafsir, ini termasuk ayat-ayat sulit dan membingungkan. Itu soal pertama. Soal kedua, dengan munculnya cara baca dan cara tafsir kitab suci dengan perpsektif ilmu sosial, maka muncul cara baca baru atas teks ini, yang melihat di dalam teks ini kesewenang-wenangan pemilik tanah, pemilik uang, atas buruh, pekerja. Tidak ada cita-rasa keadilan. Ada yang berani berkata bahwa praksis penindasan para tuan dan puan atas orang kecil (pencari kerja) juga antara lain bersumberkan dan berlandaskan teks suci seperti ini. Tetapi tradisi tafsir tradisional yang sudah sangat panjang usianya, bahkan sejak jaman para bapa gereja, justeru bertentangan dengan penafsiran sosiologis ini. Inilah hal ketiga yang ingin saya kemukakan. Teks ini adalah sebuah teks teologis, artinya teks yang mencoba melukiskan salah satu segi tindakan Allah. Kita percaya bahwa Allah itu maha kuasa, maha agung, maha tinggi, maha mulia, maha luhur, maha berdaulat. Allah itu serba melampaui kategori dunia dan manusia. Dalam arti itu, Allah bebas dan berdaulat dalam tindakanNya. Kita tidak dapat mengatur Allah dalam kebebasan dan kedaulatanNya. Segi inilah yang mau diterangkan teks ini. Biarpun hal itu kita anggap melanggar cita-rasa keadilan, tetapi kita harus tetap bersedia menerima dalam iman, bahwa Allah bebas dan berdaulat dalam karya, dalam tindakan, dalam perbuatan kasihNya. Itulah maksud teks Mateus ketika ia mengatakan: Bukankah aku bebas memakai uangku? Allah sendiri yang menentukan. Bukan manusia. Manusia memang boleh protes, tetapi protes itu hendaknya tahu batas, jangan sampai melanggar tapal batas keilahian, sebab hal itu sudah dosa. Semoga kita tidak berdosa seperti itu.
Minggu 28 September 2008: Bac: Yeh.18:25-28; Flp.2:1-11 (1-5); Mat.21:28-32. Injil ini juga termasuk teks sulit. Bukan karena pemaknaannya saja, melainkan juga mengandung persoalan tekstual. Tetapi saya tidak akan membahas poin terakhir ini. Saya fokus pada persoalan pemaknaan. Ada dua pola sikap ditampilkan dalam perumpamaan itu. Pola pertama: menjawab YA, tetapi tidak melakukan. Pola kedua: menjawab TIDAK, tetapi melakukan. Pola pertama, anak sulung. Pola kedua, anak kedua. Semua secara spontan mengatakan bahwa pola kedua itu yang terbaik atau paling tidak lebih baik dari yang pertama (walau sesungguhnya sama-sama tidak baik, karena tidak ada konsistensi antara perkataan dan perbuatan). Konsistensi antara perkataan dan perbuatan inilah yang mau dijadikan Yesus sebagai fokus pemaknaan dari jalan pikiran selanjutnya ketika Ia menerapkan perumpamaan itu dalam hidup Israel atau bangsa Yahudi (karena Ia sedang berdiskusi dengan mereka di Yerusalem). Mereka inilah anak sulung, yang YA di mulut, tetapi tidak melakukan di dalam aksi atau perbuatan. Sedangkan anak kedua, ialah kelompok orang yang selalu disisihkan oleh para petinggi agama Yahudi, yaitu para pemungut cukai dan para pelacur. Mereka ini TIDAK di mulut tetapi melakukan di dalam aksi dan perbuatan. Apa aksi dan perbuatan mereka? Bukan soal memungut cukai dan melacurkan diri, melainkan soal percaya pada pemberitaan Yohanes yang telah menunjukkan jalan kebenaran. Nah, kelompok pertama, tidak percaya, sedangkan kelompok kedua, percaya. Tinggal anda pikir sendiri saja sekarang: anda termasuk kelompok yang mana? Kelompok pertama? Ataukah kelompok kedua? Hanya anda sendiri saja yang tahu.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...