Thursday, November 15, 2018

IMAN SEDERHANA LEO TOLSTOY

By: Dr.Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung, anggota LBI.



Beberapa tahun silam (17 October 2011) saya membeli sebuah buku di toko-buku di UGM Yogyakarta. Lalu saya langsung membacanya. Buku itu adalah hasil karya pengarang kenamaan Russia, Leo Tolstoy. Judul buku itu ialah Sebuah Pengalaman. Dalam bahasa Inggris judulnya ialah A Confession. Karena itu, berdasarkan judul Inggris, seharusnya terjemahan bahasa Indonesianya ialah Sebuah Pengakuan, seperti terjemahan karya agung Agustinus dari Hippo, Confessiones, menjadi Pengakuan-pengakuan. Entah mengapa, si penerjemah menerjemahkannya menjadi Pengalaman.

Menurut saya buku kecil ini sangat menarik dan menantang baik secara literer maupun secara teologis. Dalam catatan singkat ini, saya hanya akan berbicara tentang aspek teologis dari buku tersebut. Dalam buku itu ada pelukisan yang menarik tentang apa yang disebut “Dilema Tolstoy”. Apa inti dilema tersebut? Mungkin dilema itu dialami oleh setiap orang beriman, terutama orang beriman yang berpendidikan tinggi. Dilema itu dapat dirumuskan demikian: itu adalah perjuangan untuk menghayati iman dalam hidup sehari-hari.

Kita tahu bahwa sebagai orang Russia, Leo Tolstoy dibaptis dalam Gereja Ortodox Russia karena ia dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah keluarga kelas mengengah atas gereja Rusia Ortodox. Jadi, ia dididik dan dibesarkan sebagai seorang Kristiani. Agama Kristiani itu mengajarkan kepada pengikutnya untuk percaya akan Allah sebagaimana dicanangkan dalam syahadatnya Credo in unum Deum, Aku percaya akan satu Allah. Tetapi serentak Tolstoy juga sadar bahwa hal percaya kepada Allah itu tidaklah serba mudah. Hal beriman itu bukanlah sebuah perkara gampang. Ada banyak tantangan yang tidak ringan.

Karena itu ia pun mulai berpikir untuk meninggalkan hidup beriman itu, meninggalkan tempat suci, aura suci, aura sacra, lalu memulai satu hidup tanpa iman, hidup di luar tempat suci, hidup dalam ranah dunia, ranah sekular. Tetapi hal ini tidak serba gampang juga bagi Tolstoy karena pada dasarnya Tolstoy itu benar-benar percaya akan Allah. Pada dasarnya ia percaya bahwa Allah itu sungguh ada, walau ia juga tahu bahwa tidak mudah membuktikan keberadaan Allah hanya dengan memakai daya kekuatan akal budi manusia semata-mata. Sebagai orang terpelajar kiranya ia tahu pelbagai wacana filosofis dan teologis tentang bukti-bukti keberadaan Allah. Misalnya wacana tentang lima jalan (quinque viae) dari Tomas Aquinas. Begitu juga halnya dengan wacana teologis dari Agustinus yang menjelaskan dan membuktikan keberadaan Allah. Begitu juga pelbagai wacana teologis dari para teolog gereja Timur itu sendiri.

Tetapi akhirnya, semua wacana filosofis dan teologis ini hanya merupakan sarana yang sangat terbatas dan serba terbata-bata untuk berbicara tentang Allah. Bagaimana pun juga semua wacana verbal itu adalah garis batas bagi kata-kata dan pikiran manusia. Karena itu, untuk sementara waktu ia dengan sengaja memutuskan untuk menjadi seorang ateis praktis, yaitu hidup seakan-akan Allah tidak ada, atau walaupun Allah ada, namun Ia tidak punya daya pengaruh apa pun atas hidupnya. Ateisme praktis itu kira-kira sama dengan apa yang pernah dianjurkan isteri Ayub di hadapan penderitaan total sang suami, Ayub. Tetapi sekali lagi, Tolstoy sadar bahwa cara hidup ateistik juga bukan merupakan jalan keluar yang baik dan tepat bagi dilema tersebut.

Karena itu, pada suatu saat ia memikirkan dengan sungguh-sungguh untuk menempuh jalan bunuh diri saja sebagai jalan keluar dari masalah yang sulit itu, masalah menghayati hidup sebagai orang beriman. Tentu ini adalah sebuah filsafat pesimistik seperti yang pernah dianut oleh Arthur Schopenhauer, yang pernah menganjurkan bunuh diri sebagai jalan keluar dari kemelut dan masalah kehidupan di dunia ini. Tetapi sebagai orang yang beriman, Tolstoy juga menyadari bahwa ini juga bukan merupakan jalan keluar yang baik dari masalah tersebut. Maka Tolstoy benar-benar menghadapi sebuah masalah yang tidak mudah.

Tetapi di sini Tolstoy harus memilih dan memutuskan sesuatu. Ia harus bisa mencari jalan keluar dari kondisi yang menyesakkan dan memuakkan ini, kondisi yang bisa menyebabkan orang bisa muntah, nauseea, meminjam istilah Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis Perancis. Tolstoy sungguh yakin bahwa jalan filsafat pesimistik itu bukan merupakan jalan keluar yang tepat bagi dilema keagamaan seperti ini. Umat manusia, tidak dapat dan juga tidak boleh memecahkan dilema iman dengan memakai filsafat pesmisme seperti itu. Karena itu, Tolstoy pun harus berupaya keras untuk menemukan jalan keluar yang baik dan baru bagi dilema ini.

Untuk mengakhiri dilema ini, Tolstoy memutuskan untuk menempuh jalan hidup “iman sederhana” (simple faith). Apa itu? Itu adalah iman sebagaimana dihayati oleh ribuan petani Rusia yang sederhana di dusun-dusun. Tolstoy menyebut pilihan ini jalan ketiga (third way) setelah dua jalan terdahulu, ateisme dan bunuh diri. Jalan ketiga yang ia tempuh ini merupakan jalan keluar dari dilema ini. Tolstoy tahu bahwa hidup iman sederhana dari para petani Russia di dusun-dusun itu adalah iman yang penuh makna, iman yang berdaya transformatif, hidup iman yang sungguh mengubah hidup mereka secara sangat mendalam. Model hidup iman seperti itu adalah iman yang tidak terlalu pusing dengan upaya mempersoalkan dan membutikan tentang Allah (theos-logos, God-talking, Gottesprache). Melainkan iman yang terutama sekali memberi penekanan pada praktik berbicara atau berdialog dengan Allah.

Dan memang, berbicara atau berdialog dengan Allah merupakan salah satu cara untuk mendefinisikan doa itu sendiri. Doa adalah pertama-tama hal berdialog dengan Allah dan bukan pertama-tama hal berbicara tentang Allah. Kiranya Tolstoy akhirnya percaya bahwa hidup beriman itu pada dasarnya adalah perkara percaya dan berserah diri begitu saja kepada Allah, sang ada dan kehadiran itu sendiri. Hidup beriman itu bukan terutama perkara bertanya dan berbicara tentang eksistensi dan kehendak Allah. Hidup beriman adalah perkara percaya kepada Allah begitu saja tanpa prasyarat apa pun. Hidup beriman bukan hidup yang mencoba bertanya dan mempertanyakan tentang kehendak Allah, karena, seperti ungkapan bahasa Jerman, Gottes Wille hat keine Warum, Kehendak Allah tidak untuk ditanyakan (apalagi dipertanyakan ataupun dipersoalkan). Dengan “iman sederhana” ini, akhirnya Tolstoy menemukan jalan keluar dari dilema hidupnya sebagai orang beriman.


2 comments:

Ferdy Ampur said...

Inspiratif kk.

canticumsolis said...

Ase Ferdy Ampur...
terima kasih banyak atas apresiasinya di sini....
salam damai....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...