Tuesday, November 13, 2018

GENIUS FEMININ

Oleh:Dr.Fransiskus Borgias M.
(Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung, Anggota LBI).


Di perpustakaan kami pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, ada buku yang sangat menarik perhatian saya. (Saya sudah membacanya pada awal tahun 2017 silam, dan juga sudah menulis sesuatu tentang buku itu dalam buku harian saya. Tetapi baru sekarang ini saya sempat menerbitkannya dalam blog pribadi saya). Buku itu berasal dari seorang pengarang yang bernama Matthew Levering. Adapun judul buku itu ialah sebagai berikut: The Feminine Genius of Catholic Theology (atau Genius Feminin Teologi Katolik). Jadi, buku ini adalah sebuah buku teologi, tetapi dari sudut pandang para pemikir feminis dalam tradisi Katolik yang sudah sangat panjang usianya. Tetapi sesungguhnya tema yang diulas dalam buku ini sangatlah tradisional, yaitu misalnya tentang Allah dan misteri Trinitas (Teologi), tentang Yesus Kristus (Kristologi), Penciptaan dan Penyelenggaraan ilahi (Providentia Dei), tentang Dosa, tentang sakramen-sakramen, tentang Gereja, tentang Keutamaan-keutamaan, tentang Maria dan Para kudus, tentang Doa dan kehidupan kekal. Hal-hal itulah yang dibahas dalam buku ini. Dalam artian itu, buku ini adalah sebuah buku teologi sistematik tradisional.

Namun demikian ada satu hal yang sangat unik dan menarik dari buku ini. Yang saya maksudkan ialah bahwa pengarang buku ini memberi perhatian yang sangat besar terhadap pemikiran teologis kaum perempuan dalam sejarah Gereja. Secara tradisional biasanya mereka itu disebut mistika. Tetapi sesungguhnya mereka berteologi; jadi, mereka itu teolog, ahli teologi juga. Tetapi para teolog laki-laki (yang sebagian besar ialah para imam) selama ini tidak mau mengakui mereka sebagai teolog. Karena itu mereka dikategorikan sebagai mistika atau ahli spiritualitas belaka. Karya-karya mereka, betapa pun hebat dan terkenal, paling-paling hanya disebut karya di bidang spiritualitas saja. Tentu saja ini adalah sebuah sikap yang sangat diskriminatif. Berbeda dengan sikap diskriminatif itu, bahkan saya berani mengatakan bahwa mereka adalah para teolog dalam artian ketat dari kata itu. Tidak ada alasan apa pun untuk menyingkirkan mereka dari makna teologia yang sesungguhnya.

Adapun kaum teolog perempuan yang dirujuk dalam buku ini mencakup satu rentang masa yang sangat panjang: mulai dari abad ke-empat sampai abad ke-20 atau kalau harus menyebut nama tokoh, maka dimulai dari tokoh bernama Egeria (abad keempat tadi) hingga ke Bunda Teresa dari Calcuta (abad keduapuluh). Di antara kedua tonggak yang besar itu ada banyak nama perempuan yang disebut oleh si pengarang tadi. Berikut ini saya daftarkan saja nama-nama mereka secara berurutan: Hildegard von Bingen (1098-1179), Elisabeth dari Schoenau, Mechtidis dari Magdeburg, Hadewijch, Angela dari Foligno, Gertrudis Agung dari Helfta, Brigitta dari Swedia, Juliana dari Norwich, Catharina dari Siena, Catharina dari Genoa, Teresia dari Avila, Jane de Chantal, Louise de Marilla, Juana Ines de la Cruz, Elisabeth Ann Seton, Elisabeth Leseus, Theresee Lissieux, Elisabeth dari Trinitas, Teresa Benedicta dari Salib atau Edith Stein, Maria Faustina Kowalska, Teresa dari Calenta (pp.4-5).

Kemudian Matthew Levering sendiri mengatakan, setelah ia memberi sebuah daftar panjang ini, sebagai berikut: tokoh protagonis sentral dari buku ini adalah Hildegard, Catherina dari Siena, Juliana, dan Therese (p.5). Penetapan tokoh protagonis ini sendiri dilakukan berdasarkan peranan para perempuan itu yang sangat significan dalam sejarah. Sebagai contoh misalnya, Catherina dari Siena (1347-1380) adalah tokoh perempuan yang menghasilkan sebuah buku yang terkenal yang berjudul Istana Batiniah. Pada jamannya ia adalah seorang tokoh hidup rohani yang sangat berwibawa dan sangat disegani oleh banyak orang, juga disegani oleh banyak para petinggi gereja. Misalnya, saat Kepausan terancam oleh perpecahan karena ada lebih dari satu paus yang mengklaim tahta suci (Roma, dan Avignon, dan juga bahkan pernah di Pisa), hal mana menimbulkan kebingunan yang luar biasa di tengah gereja dan umat, diketahui bahwa Santa Katarina dari Siena, pernah dimintai pendapat dan nasihatnya untuk menjernihkan dan mendamaikan masalah itu. Walau tidak selalu diakui dengan jujur, pandangan dan nasihat si perempuan kudus ini akhirnya berhasil mengatasi masalah itu dengan baik. Paus kembali berkedudukan di Roma hingga sekarang ini. Begitu juga halnya dengan tokoh Hildegard von Bingen (1098-1179) dari masa kurang lebih dua abad sebelum Catharina. Ia adalah seorang tokoh spiritualitas mistik yang sangat terkenal yang pemikiran teologinya banyak dirujuk oleh para penulis modern dewasa ini. Hildegard ini juga dikenal sebagai penulis dan pengarang lagu.

Tetapi karena nama paling pertama dari daftar itu adalah perempuan yang bernama Egeria, maka selanjutnya saya menulis tentang si Egeria ini. Egeria ini pernah mengadakan sebuah perjalanan ziarah ke tanah suci pada abad abad kelima. Laporannya dapat dibaca dalam buku hariannya yang berjudul Egeria, Diary of a Pilgrimage. Buku harian dia ini dimulai dengan sebuah catatan tentang pengalaman dan apa yang ia lihat saat ia tiba di Sinai. Ia mendaki gunung itu bersama sekelompok rahib dan imam. Di puncak bukit itu ada sebuah gereja. Di sana ada banyak rahib dan imam yang datang dari daerah sekitar untuk merayakan ekaristi. Beginilah persisnya dia melaporkannya: “Semua teks yang perlu dari kitab Musa dibacakan, kurban pun dipersembahkan menurut tata cara yang telah ditetapkan, dan kami menerima komuni (Egeria, Ibid, Terjemahan George E.Gingras, NY: Newmann Press, 1970:52).

Sesudah misa ia melihat tempat-tempat di mana Moses dulu datang; dari atas bukit itu dia bisa melhat tanah Mesir dan Palestina. Dia juga berjalan ke tempat Elia tinggal di gunung Horeb. Ia juga ikut Misa di sana. Lokasi semak bernyala juga sudah menjadi situas wisata pada masa itu. di sana para imam juga merayakan ekaristi bagi kelompok para perziarah Egeria. Dia juga melukiskan secara rinci kebiasan liturgi di Yerusalem selama Pekan Suci. Perjalanan ziarah dia berpusat pada misteri-misteri dan Tanah Suci yang disebut dalam Kitab Suci. Dengan demikian juga berpusat pada sakramen-sakramen dengan mana kita ikut ambil bagian di dalam pelbagai misteri itu.

Buku harian Egeria ini memberi kesaksian tentang abad ke-empat akhir, atau awal abad ke-5. Mungkin dia mempunyai kaul religius; oleh karena itu, ia pun menulis kepada sesama para sustenya. Diduga bahwa ia berasal dari Spanyol. Rombongan perjalanan dia mendapat pengawalan dan perlindungan militer. Atas dasar itu diduga bahwa Egeria ini berasal dari keluarga yang terpandang dan kaya-raya. Buktinya? Ia mampu menyewa tentara profesional untuk melindungi dia dalam dan selama perjalanan ziarahnya itu. Perlindungan tentara profesional itu sangat perlu agar mereka (terutama kaum yang dominan perempuan) luput dari gangguan para pengacau yang tidak hanya merampok barang-barang berharga yang mereka bawa, tetapi juga bisa memperkosa mereka.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...