Wednesday, February 25, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 116

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Ada banyak alasan bagi manusia beriman menghaturkan syukur berlimpah kepada Allah, pencipta dan penyelenggara hidup. Memang sudah seharusnya seluruh hidup manusia beriman senantiasa ditandai dengan untaian ucapan rasa syukur itu. Struktur dasar hidup seorang beriman ialah hidup penuh syukur. Ada bermacam-macam alasan untuk syukur tersebut. Salah satunya ialah pengalaman luput dari belenggu maut. Memang hidup adalah serba rapuh. Hidup secara niscaya terarah kepada kematian. Tidak ada makhluk hidup yang tidak akan mati. Semuanya pasti mati. Sein zum Tode, kata filsuf, Martin Heidegger. Tetapi Allah menolong kita dari kerapuhan hidup kita. Menurut orang beriman, maut bukanlah kata-kata terakhir, sebab akhirnya hidup itu akan kembali bermuara dalam kehidupan juga. Itu sudah pasti.

Hal seperti inilah yang, dengan kata-kata dan rumusan sendiri, direnungkan dalam Mazmur 116 ini. Mazmur ini termasuk cukup panjang, mencapai 19 ayat. Judul Mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Terluput dari belenggu maut”. Untuk dapat memahami dan menikmatinya dengan baik, maka sebaiknya Mazmur ini dibagi-bagi. Dalam pembacaan saya, Mazmur ini dapat dibagi tiga bagian. Bagian I, meliputi ay.1-11. Bagian II, meliputi ay.12-14. Bagian III, meliputi ay.15-19.

Ada dua tindakan Allah yang mendorong pemazmur bersyukur. Karena Allah mendengarkan; juga diungkapkan dengan kata kerja menyendengkan telinga (ay.2 dan 1). Allah membebaskan dia dari maut (diungkapkan dengan beberapa ungkapan, ay.3). Tetapi ia bebas karena menyerukan nama Allah (ay.4). Atas dasar semua pengalaman itu ia pun bersyukur kepada Allah. Dalam ay.5 ia menegaskan sifat-sifat Allah. Dalam ayat 6 ia menegaskan karya-karya Allah. Atas dasar kedua pengalaman itu (ay.5-6), ia pun meminta kepada jiwanya agar tenang, tidak usah takut dan cemas; du brauchts keine Angst zu haben (ay.7).

Ayat 8 ada perubahan gaya sebab ia seperti berbicara secara langsung dengan Allah. Berbeda dengan yang di atas tadi, di mana ia berbicara sebagai orang ketiga tentang Allah. Ia berwarta kepada orang lain di sekitar. Dalam ayat 8 ia berbicara langsung dengan Allah. Ada permainan dan perubahan antara tentang dan dengan. Dalam ayat 9 ia kembali seperti berbicara kepada yang lain tentang Allah. Ayat 10: pelukisan tentang pengalaman paradoks: tertindas tetapi tetap percaya. Iman tidak mati karena tertindas atau penindasan. Ayat 11 sangat terkenal: omnis homo mendax. Semua manusia pembohong. Dan hal itu sudah berlangsung sedari mula. Sebenarnya agak sulit memahami ucapan ini. Tetapi ayat 11a kiranya memberi kita kunci pemahaman. Ia mengaku bahwa pernyataan itu keluar dari kebingungannya. Ia mengucapkan pernyataan itu ketika ia bingung. Memang dalam situasi bingung, orang bisa berbuat dan mengucapkan apa saja yang bisa membingungkan orang lain. Tetapi pernyataan itu mengandung kebenaran juga, sebab memang sedari mula manusia sering melakukan kebohongan, bahkan kepada Allah (bdk.Kej.3).

Sekarang kita melihat bagian II yaitu ayat 12-14. Refleksi pemazmur terus berlanjut dalam bagian ini. Dan refleksi itu dimulai dalam ayat 12 dengan pertanyaan reflektif. Pertanyaan reflektif itu menyangkut pelbagai pengalaman positif pemazmur akan Allah di masa silam: Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? (ay.12). Pertanyaan reflektif itu dijawab dalam ayat 13-14, berupa dua buah untaian janji. Rupanya di masa silam, si pemazmur pernah bernazar, dan sekarang, setelah mengalami kebaikan Tuhan, ia bermaksud melunasi nazar-nazarnya itu (ay.13-14).

Dalam ayat 15 kita dapat merasakan peralihan. Ini bagian III mazmur ini. Dalam bagian ini, pemazmur mencoba menguraikan beberapa hal penting. Kematian adalah tidak terhindarkan. Semua makhluk hidup pasti mati. Tetapi apresiasi terhadap kematian itu berbeda-beda untuk setiap orang sesuai dengan olah kehidupannya di dunia ini. Orang yang dikasihi Tuhan, ketika mereka mati, itu bukan kematian sia-sia, sebab kematian mereka adalah sesuatu yang berharga di mata Tuhan. Sadar akan hal itu, pemazmur pun sampai kepada suatu kesadaran bahwa relasi dia dengan Allah adalah relasi yang sangat akrab laksana hubungan darah, antara ibu dan anak. Anak dan ibu merasa dekat satu sama lain (ayat 16). Dalam kesadaran akan relasi akrab-familial seperti itu, ia merasa sudah mengalami tindakan pembebasan yang dilakukan Allah dalam hidupnya. Itu sebabnya, dalam ayat 17, ia bernazar: mau mempersembahkan korban syukur kepada Allah, dan menyerukan nama TUHAN. Ia juga tidak menyembunyikan nazarnya itu kepada Tuhan, melainkan ia akan melunaskan nazar-nya itu di depan seluruh umat (ay.18). Tidak hanya di depan seluruh umat, melainkan juga ia akan mempersembahkan nazar itu di Yerusalem, di pelataran rumah Tuhan (ayat 19).

Georgetown University, Washington DC USA, Medio Desember 2014.

1 comment:

Dede said...

Terimakasih Pak atas penjelasannya. Tuhan Yesus memberkati

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...