Friday, December 9, 2011

MEMILIH SAAT MATI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Saya menulis catatan singkat dan sederhana ini tanggal 01 November 2011, Hari Raya Semua Orang Kudus; (orang kudus yang dimaksudkan di sini adalah semua orang Kudus, juga termasuk yang tidak dikenal, bahkan juga termasuk mereka yang berada di luar jangkauan Gereja, yang mutu kekudusan hidupnya hanya diketahui oleh Allah sendiri saja. Tentang hal ini saya penah menulis sebuah Bab dalam buku saya: Menimba Kekayaan Liturgi, YPN 2008). Kira-kira sembilan tahun yang lalu, ayah mertua saya meninggal pada tanggal 1 November (2002). Saya menulis catatan ini juga dalam rangka pengenangan akan wafat beliau.

Bukan rahasia lagi bahwa sekarang ini, dengan bantuan teknologi kedokteran yang semakin canggih, para orang tua bisa menentukan hari jadi anak, atau menentukan tanggal kelahiran anak. Mereka memilih tanggal yang dianggap hoki, tanggal yang dianggap cantik dan istimewa. Untuk tahun 2011 ini tanggal yang dianggap cantik ialah tanggal 11-11-11 (Sebelas November DuaribuSebelas). Bahkan ada juga yang melihat keindahan itu dalam tangal 2011-2011 (Duapuluh November 2011). Maka banyak orang tua yang memilih melahirkan anak tepat pada tanggal-tanggal tersebut. Jika ternyata tidak pas, maka bisa dilakukan dengan cara dioperasi. Tetapi jelas ini adalah pilihan orang tua; bukan pilihan anak; si anak tentu saja belum bisa memilih. Jadi, sebagai bayi kita tidak dapat memilih atau menentukan hari lahir kita. Begitu juga dengan tanggal perkawinan. Ada banyak sekali pasangan nikah yang memilih menikah pada tanggal unik itu kemarin.

Tetapi dalam pengamatan atau pembacaan saya, ternyata kita manusia yang sudah dewasa pun bisa memilih cara dan saat kita mati. Jangan salah paham dulu. Di sini saya tidak mau berbicara tentang eutanasia. Sebaliknya, di sini saya berbicara tentang sesuatu yang lain sama sekali: yaitu mengenai hal memilih cara dan tanggal kematian. Ternyata sepertinya ada orang yang memilih tanggal matinya dengan sengaja dan sadar. Untuk “membuktikan” hal itu, di sini saya mau melihat dan membaca beberapa fakta yang menarik.

Seperti telah dikatakan di atas tadi, hari ini, tanggal 1 November 2011, saya teringat akan peristiwa sembilan tahun silam. Ayah mertua saya, Lukas Sein Pepe, meninggal dunia persis tanggal 2 November. Saya ingat dengan sangat baik bahwa tidak mudah proses wafatnya. Tetapi sepertinya ia memilih tanggal itu: 1 November. Bagi kami yang ditinggalkannya, sepertinya ia “sengaja” memilih tanggal itu agar mudah kami semua ingat. Mengapa? Karena tanggal ini adalah sebuah peristiwa liturgis besar dalam Gereja Katolik: Ini adalah Hari Raya Semua orang Kudus. Hampir enambelas tahun silam, ibu saya sendiri wafat pada tanggal 3 Januari 1996. Ia sudah menderita sakit cukup lama sejak pertengahan 1995; akhirnya ia wafat tanggal 3 Januari. Bagi kami ia sepertinya dengan sengaja memilih tanggal itu agar mudah diingat; dan kami semua pasti akan sangat mudah mengingat tanggal itu, sebab itulah tanggal Hari Ulang Tahun adik bungsu kami, seorang puteri, Ermina (sekarang sudah menjadi guru sekolah dasar; pada saat ibu meninggal ia masih SMP). Tentu saja, Ermi sangat ingat tanggal itu. Kami sebagai kakak-kakak pun pasti ingat tanggal itu. Sepertinya ibu kami memilih tanggal ulang tahun adik bungsu kami sebagai tanggal wafanya, agar tanggal wafat itu bisa dirayakan pada saat kami mengucapkan selamat ulang tahun kepada adik bungsu kami itu.

Masih ada beberapa contoh yang lain lagi: seorang teolog dan palaeontolog besar Yesuit, Pierre Teilhard de Chardin (berasal dari Perancis), sepertinya juga memilih hari wafatnya. Dari riwayat hidupnya kita tahu bahwa ia memang wafat pada Hari Minggu Paskah tahun 1955. Ia adalah seorang palaentolog besar, yang dalam pemikiran teoretisnya tentang evolusi kosmis sampai pada suatu keyakinan bahwa seluruh dinamika evolusi itu akan memuncak dalam totalitas peristiwa Kristus sebagai titik Omega Sejarah. Dalam cara pembacaan saya, ia sepertinya memilih tanggal kebangkitan Tuhan Yesus sebagai hari wafatnya, yaitu saat di mana ia menjadi satu dengan Kristus dalam hal kebangkitan (setelah sebelumnya ia telah menjadi serupa dengan Kristus Yesus dalam peristiwa kematian). Informasi ini saya dapatkan dari Buku Karangan Franz Daehler (seorang mantan Yesuit) yang menulis sebuah buku kecil tentang teori evolusi de Chardin itu.

Boleh dikatakan juga bahwa sesungguhnya Paus Yohanes Paulus II yang wafat pada tanggal 2 April 2005, hari Sabtu pukul 21.37, juga memilih tanggalnya sendiri. Pada tanggal itulah terakhir kalinya jantungnya masih berdetak. Informasi yang rinci ini dapat kita baca misalnya dalam buku dari Kardinal Wyscinky, kardinal yang menjadi sekretaris pribadinya dalam masa pontifikatnya (bahkan sejak ia menjadi uskup dan Kardinal di Krakow, Polandia). Sehubungan dengan hari wafatnya sang Paus ini, ada yang memang membaca hari Sabtu; tetapi ada juga yang membacanya hari Minggu; saya condong berpikir bahwa jam sekian sudah mulai condong ke hari Minggu (apalagi dalam perayaan liturgis kita, Sabtu Sore pun sudah merayakan ekaristi dengan bacaan dari Hari Minggu besoknya). Jika cara pembacaan ini benar dan diterima, maka Paus Yohanes Paulus II memilih hari ini dengan alasan yang kurang lebih sama dengan alasan dari De Chardin di atas tadi: Memilih wafat pada Hari Tuhan, Dies Dominica. Jika yang dipilih ialah Sabtu, maka ia memilih hari Sabat, sebuah hari suci, yang dalam pembcaaan teologis Hans Urs von Balthasar, adalah sebuah hari yang penuh sukacita dan pengharapan karena kita sudah dekat dengan hari Minggu, hari Tuhan, Dies Dominica. Jika yang dipilih ialah Minggu, maka itu adalah lambang dari Hari Baru dengan hidup dan ciptaan Baru. Dengan wafat, kita menjadi ada baru dalam dan bersama dengan Tuhan.

Contoh-contoh seperti itu masih ada sangat banyak. Daftar contoh seperti itu masih bisa diperpanjang dan diperpanjang lagi. Tetapi saya cukupkan sampai di sini saja. Dan selain memilih tanggal mati, ternyata ada juga yang memilih bagaimana cara matinya. Ada juga yang memilih cara ia mati. Ketika Petrus lari keluar kota Roma untuk menghindarkan diri dari pengejaran dan aniaya, ia bertemu dengan Tuhan Yesus; konon Petrus pun bertanya kepada-Nya: Quo vadis Domine? Dan konon dijawab bahwa Ia mau kembali masuk ke kota Roma untuk disalibkan di sana. Mendengar hal itu Petrus pun kembali lagi ke kota dan ia ditangkap; ketika akan disalibkan ia meminta agar ia disalibkan dengan cara terbalik (kaki ke atas, kepala ke bawah, terbalik dari penyaliban atas Tuhan Yesus sendiri). Maximilianus Maria Kolbe, juga memilih mati sebagai martir dalam Perang Dunia II untuk menggantikan posisi seorang ayah (punya isteri dan punya anak-anak yang masih kecil). Maria Goretti juga memilih mati sebagai perawan, daripada harus memenuhi keingingan nafsu seorang pria bernama Alexander. Banyak di antara para martir dalam sejarah gereja juga memilih cara matinya sendiri.

Tiba-tiba di sini saya teringat akan Fransiskus dari Asisi. Ia mempunyai ritualnya sendiri pada saat menyongsong maut, sebagaimana dapat kita baca rinciannya dalam riwayat yang ditulis oleh Thomas dari Celano maupun oleh Bonaventura. Inilah tahap yang dilewati Fransiskus: mula-mula ia menulis sebuah puisi tentang alam raya, tentang saudara matahari, saudari rembulan, dan salah satu baitnya dibaktikannya kepada maut, yang disapanya sebagai saudari maut. Pada saat akan wafat, konon ia meminta agar dibaringkan di tanah, sebagai simbol penyatuan sakramental dengan ibunda bumi, ibu pertiwi, mater terra. Ia juga sebenarnya meminta agar dibaringkan dengan telanjang, tetapi atas perintah pimpinan ia akhirnya mau mengenakan jubah yang diperintahkan pimpinan demi ketaatan suci.

Ketika merenungkan peristiwa wafatnya Fransiskus dari Asisi, saya tiba-tiba teringat akan Abraham Joshua Heschel. Suatu saat dalam buku mistiknya yang mungil-kecil No Man is an Island, ia mengatakan bahwa ada tiga cara yang bisa dipakai orang untuk menghadapi realitas maut: pertama, dengan cara meratap. Cara ini cukup umum dalam pelbagai kebudayaan di dunia ini. Saya tentu saja teringat akan ritual meratap orang mati dalam kebudayaan orang Manggarai sendiri. Kedua, dengan cara diam, merenung, kontemplasi, pasrah, menerima apa adanya yang terjadi. Itu sudah menjadi kehendak Allah,takdir dari sang pencipta. Ini juga ada dalam pelbagai kebudayaan di dunia ini. Ketiga, dengan cara berpuisi. Adat meratap, cukup banyak menyebar di seluruh dunia; adat diam dalam keheningan, juga cukup banyak tersebar di pelbagai kebudayaan di dunia ini. Tetapi adat berpuisi, itu sangat langka. Saya hanya menemukannya dalam diri Fransiskus dari Asisi: Selamat datang Saudari Maut.

Yogyakarta, 01 November 2011 (ditulis dan dikomputerkan, 28 November 2011).

2 comments:

Book Book Book said...

Di bagian akhir tulisan ada nama Abraham Joshua Heschel. Saya sedang mencari-cari buku beliau yang berjudul "The Prophets". Apakah bapak memiliki buku tersebut? Jika ada, ya... saya ingin pinjam, jika diizinkan (but e-book is much better indeed). Trimakasih sebelumnya Pak.

canticumsolis said...

Book Book Book...
terima kasih telah sudi mampir di sini.
mohon maaf, karena saya sangat lama tidak tanggapi komentar dan pertanyaan anda ini.
mengenai buku beliau itu.
saya tidak memilikinya secara pribadi.
buku itu ada di perpustakaan kami di
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN, BANDUNG.
SEKIAN SAJA TANGGAPAN TANGGAPAN SAYA.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...