Ya, aku sekolah di seminari. Kata itu dari seminarium, artinya tempat persemaian, tempat khusus/istimewa untuk menaburkan benih, tempat benih disiapkan sebelum ditanam di sawah yang sesungguhnya. Sudah sekian lama kami belajar di seminari ini. Sudah lama juga saya amat merindukan belajar di sini. Saya ingat baik bahwa saya ingin masuk seminari sejak kelas 3 SD. Itu karena melihat beberapa siswa seminari yang kalau berlibur tampak lain dari lain. Entah mengapa? Sekarang saya sudah ada di seminari ini.
Ada banyak aspek dalam kehidupan di seminari yang patut diingat. Salah satunya, seminari menjadi tempat di mana semangat devosional diberi perhatian besar oleh pendidik kami sehingga semangat itu bertumbuh dengan subur dan wajar. Di seminari inilah saya secara khusus mendalami devosi yang kuat dan rutin akan sakramen mahakudus. Ketika masih di kampung dulu, devosi itu sudah saya alami dan saksikan. Tetapi sekarang di seminari, devosi itu mendapat perhatian khusus dan besar. Begitu juga dengan devosi kepada Hati Kudus Yesus. Saya mau sebut secara khusus kedua hal ini.
Sehubungan dengan ini saya teringat akan ibuku. Sesungguhnya dialah guruku yang pertama dalam devosi dan kesalehan. Saya ingat baik, ibukulah yang mengajarkan banyak hal sejak aku masih kecil. Itulah sebabnya saya berpikir bahwa sesungguhnya seminariku yang pertama ialah keluargaku sendiri, dengan ibu dan ayah sebagai tukang semainya. Ibuku adalah guru informal dalam banyak bidang. Semua guru lain di sekolah, termasuk ayah saya, adalah guru formal yang bekerja di atas humus-humus yang disiapkan ibuku sejak sangat dini di seminarium keluarga kami.
Misalnya, ibuku sejak kami kecil sudah mengajarkan lagu dari Yubilate yang terkait dengan masa liturgi gereja, sesuatu yang awalnya tidak begitu saya sadari, tetapi baru saya sadari ketika saya di seminari kecil. Ibuku rajin mengajarkan nyanyian dari Yubilate menurut masa liturgis gereja. Pada masa adven ia mengajarkan lagu adven dan sekaligus natal. Pada masa prapaskah ia mengajarkan lagu masa puasa, lagu jalan salib, tidak hanya dari Yubilate, melainkan juga dari Dere Serani (buku nyanyian liturgi Manggarai). Biasanya lagu masa puasa dipelajari sekaligus dengan lagu Paskah. Sesudah itu kami pelajari lagu yang terkait dengan Kenaikan dan Pentakosta. Begitu juga dengan lagu yang terkait dengan Misteri Allah Tritunggal Mahakudus. Tidak lupa kami diajar lagu yang terkait dengan devosi Hati Kudus Yesus, dan Sakramen Mahakudus.
Menjelang Oktober, ibuku mengajarkan kami anaknya, lagu yang terkait dengan Devosi Bunda Maria. Juga diajarkan lagu malaekat pelindung. Menjelang November diajarkan lagu yang terkait dengan persekutuan para kudus. Kami coba menghafalnya. Sebagian besar lagu hafalan itu masih diingat hingga sekarang.
Ketika di seminari, saya baru sadar bahwa ibuku telah menjadi guru liturgi, guru tahun liturgi bagi kami anak-anaknya. Terutama hal itu sangat berbekas pada saya, entah mengapa. Selain menjadi guru dalam bidang agama dan kerohanian, ibu juga menjadi guru hurufku yang pertama. Sebelum masuk sekolah dasar saya sudah bisa mengenal huruf dan bisa membaca karena diajar ibuku.
Memang sekarang saya di seminari, tetapi setelah saya coba kilas balik, akhirnya saya sadar bahwa keluargaku (saya yakin semua keluarga Kristiani) adalah seminarium paling pertama dalam hidup kita masing-masing. Di atas seminarium primum dalam keluarga itulah dapat berkembang pelbagai seminarium lain. Karena itu, saya merasa sudah di seminari sebelum masuk seminari formal. Dari para guru akhirnya saya tahu bahwa dalam pandangan gereja, keluarga adalah gereja kecil, ecclesia minuscula (Agustinus), atau ecclesia micra (Yohanes Chrysostomus). Itu adalah rumah doa, bukan rumah dosa. Itu rumah sembahyang, rumah tempat sang Hyang disembah.
No comments:
Post a Comment