Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
Hari Sabtu minggu pertama dalam bulan adalah kesempatan bagi siswa Seminari mendapat siraman rohani dari prefek/pamong seminari. Saat itu kami sebut konferensi. Konferensi ini dianggap penting sebagai persiapan memasuki masa puasa dan pantang. Para siswa berkumpul di aula untuk mendengarkan petuah, nasihat, pandangan dari pastor pemimpin. Memang dalam tradisi hidup monastik konferensi adalah tempat dan kesempatan bagi abbas untuk menyampaikan nasihatnya kepada para rahibnya. Saya ingat hal pertama yang saya dengar saat itu ialah semboyan tiga S.
“Seminaris yang serius dan tekun harus memenuhi kriteria tiga S itu,” demikian pastor pembimbing memulai renungan konferensinya. Kami mendengarkan dengan penuh perhatian, walau saya tahu di sudut yang tidak kelihatan karena lampu listrik yang tidak maksimal, ada siswa yang mengantuk karena bekerja berat sore harinya, lalu olah raga (bola kaki, bola voly, bola basket). Ada juga yang mengantuk karena kekenyangan makan singkong bakar yang mungkin setengah matang.
Pastor pembimbing dengan tekun, tanpa begitu mempedulikan pendengarnya, melanjutkan wacananya.
“S pertama ialah Sanitas.” Lalu ia menarik nafas lagi. “Siswa seminari harus sehat (sanitas, kesehatan). Harus sehat rohani dan jasmani. Harus seimbang antara kerja, doa, belajar, bermain. Olah raga perlu, sebab mens sana in corpore sano, pikiran yang sehat ada dalam badan yang sehat.” Saya menjadi ciut hati karena saya tidak sehat. Saya ini siswa paling kurus di kelas. Mungkin karena sering sakit: sakit perut karena cacingan, disentri amuba, malaria, juga bronkitis. Wacana pertama ini langsung terasa seperti palu godam bagi masa depan cita-cita saya. Bisakah saya terus dalam jalan panggilan ini, demikian tanyaku dalam hati, merefleksi sunyi.
Lalu pastor itu melanjutkan dengan meyakinkan. “Kalian tahu apa S kedua?” Tentu kami tidak tahu. Sebab sebagaimana S pertama, S kedua ini pun dari Latin.
“Kalau S pertama boleh ditawar-tawar, S kedua ini tidak main-main, tidak bisa tawar-tawar. Mutlak. S kedua ialah Sanctitas alias kekudusan, kesucian. Seminaris harus hidup suci, hidup kudus. Ia harus pendoa tekun, bukan pendosa tekun. Itu dua hal berbeda, walau hanya huruf. Itu sebabnya di seminari ini ada kitab suci, ada bacaan rohani berupa riwayat orang kudus agar kalian bisa belajar hidup suci dari sana, dari tokoh kitab suci, dari riwayat para kudus. Kalau kalian tidak membaca, kalian seperti tikus yang mati dalam lumbung beras. Beras ada, tetapi ia tidak mau makan, mungkin karena bingung harus mulai makan dari mana. Saya ada untuk memberitahu kalian harus mulai dari mana. Mulai saja dari orang kudus yang anda sukai.” Sejenak ia minum air untuk melegakan tenggorokannya yang cepat kering kalau berbicara terlalu panjang. Lalu ia memandang lagi seluruh siswa.
“S ketiga ialah Scientia, ilmu pengetahuan. Seminaris harus mampu menimba ilmu, mengasah kemampuan berpikirnya agar bisa menjadi warga gereja (eccelesia) dan tanah air (patria) bermutu. Itu sebabnya di sini disediakan waktu belajar yang ketat, waktu sekolah yang ketat, perpustakaan yang cukup lengkap untuk ukuran daerah ini. Di mana di tempat lain kalian bisa temukan perpustakaan seperti milik kita di sini? Semuanya diberikan untuk kalian. Tinggal kalian memilih. Mau maju atau mau mundur. Tetapi ingat, mundur berarti gagal.” Lalu ia istirahat, terengah-engah.
“Sebenarnya ada S keempat, Sapientia. Tetapi ini sengaja saya simpan, sebab ini tahap lanjutan sesudah Scientia. Kearifan ialah mahkota pengetahuan. Pengetahuan mudah diraih, tetapi tidak semua orang yang mampu meraih pengetahuan bisa juga menjadi orang arif. Itu dua hal yang berbeda.”
Saya ingat betul semua nasihat itu. Sampai sekarang. Tanpa terasa jam sudah pukul 21. Pastor mengajak kami menyanyikan Kidung Simeon dimahkotai Salve Regina versi panjang, meriah. Malam terasa lebih agung dan khikmat karena nada gregorian kedua madah malam itu. sangat berbekas indah dalam imajinasi dan kalbu: Ya Tuhan tolonglah bila berjaga, lindungilah bila tidur, agar jaga serta Kristus, dan mengaso dalam damai (Kidung Simeon versi Yubilate).
No comments:
Post a Comment