Tuesday, February 17, 2009

MENDALAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 39

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini berjudul Doa minta tolong. Kita telusiri dari ayat ke ayat. Dalam ay 2 ada pandangan bahwa orang jahat bisa memancing dosa, amarah. Dan itu benar. Kita bisa memarahi, mencaci-maki dia. Jika itu terjadi, kitalah yang berdosa dengan mulut dan hati kita (amarah dan dengki keluar dari hati). Karena itu, kita harus menahan diri, jangan sampai terjebak dalam alur berpikir orang jahat. Di sini perlu etika pengendalian diri. Selanjutnya dalam ay 3 kita temukan sebuah paradoks psikologis yang menyakitkan: kita berusaha menahan diri, tetapi upaya itu memunculkan derita dan sakit. Ini tantangan orang yang hidup baik dan saleh. Semakin ia berusaha baik dan saleh, semakin berat tekanan derita yang ia alami dan rasakan. Itu sebabnya dalam ay 4 kita membaca bahwa, sebagai manusia fana, ia mulai marah, berontak, protes. Derita membuat ia jatuh dalam jurang putus asa, terjeblos dalam NDE, Near Death Experience. Pengalaman itu yang mendorong dia bertanya kepada Tuhan tentang kapan ajalnya tiba, kapan batas umurnya.

Tetapi yang menarik ialah bahwa ia bertanya dalam nada protes hanya untuk membuat dirinya sadar akan kefanaannya. Ini perpaduan menarik: meminta kepada Allah agar memberitahu batas umurnya, dan ia melakukan hal itu karena ia putus asa dalam hidup, tetapi ia juga punya tujuan lain, yaitu menyadarkan dirinya akan eksistensinya yang rapuh dan fana. Mungkin itu sebabnya ia mengakhiri bagian ini dalam ay 6-7 dengan membentangkan sebuah filsafat manusia, sebuah pandangan teologis tentang manusia. Intinya ialah penegasan kembali akan kefanaannya sebagai makhluk hidup di dunia ini. Ia sampai pada kesadaran bahwa usianya tidak seberapa. Hanya sekejab, dibandingkan dengan keabadian Allah. Ia mengambil metafor bayangan: Hidup manusia laksana bayang berlalu. Tidak berbekas. Sia-sia (ay 7), seperti refrein terkenal dari Pengkotbah. Memang manusia sibuk dalam hidupnya di dunia ini tetapi semuanya akan sia-sia belaka. Ia sibuk menimbun tetapi ia tidak tahu siapa yang akan menikmati semuanya itu setelah ia mati. Itulah manusia. Berlalu begitu saja. Seperti angin, seperti bayang-bayang baur, meminjam judul buku puisi seorang penyair kita di tahun 70-an.

Di hadapan misteri kesia-siaan itu, manusia hanya bisa berharap pada Allah. Drama harapan itu dipentaskan dalam ay 8-14. Nada harapan itu terasa di akhir ay 8. Atas dasar percikan harapan itu ia berani mengajukan permohonan dalam ay 9, agar dibebaskan dari segala dosa dan pelanggarannya. Ia memohon agar jangan dipermalukan karena dosanya. Dalam ay 10, ia berharap agar Allah yang akan bertindak dalam hidupnya. Dalam ay 11 sekali lagi ia mengajukan doa permohonan kepada Allah agar ia sudi dibebaskan dari hukuman Allah. Lagi-lagi di sini muncul kesadaran paradoksal. Di satu pihak ia memohon agar dibebaskan dari hukuman Allah, tetapi serentak di pihak lain ia tahu bahwa hukuman Allah itu adalah hukuman didaktis, hukuman pedagogik demi kebaikan dia sendiri.

Di akhir ay 12 ada filsafat manusia yang menarik, yaitu mengenai kefanaan manusia (mortalitas). Manusia adalah sia-sia belaka, ungkapan yang mirip dengan refrein Pengkotbah yang terkenal itu. Dalam ay 13 lagi-lagi ia mengajukan doa permohonan, agar Allah mendengarkan dia. Ia meminta agar Allah bertindak terhadap nasib malangnya. Ia merasa harus memohon kepada Allah sebab ia bersandar dan menumpang pada Allah, benteng dan penyelamat hidupnya. Akhirnya, dalam ay 14 ada lagi permohonan, agar diberi kesempatan beristirahat sejenak dari tatapan Allah. Di balik harapan ini tersimpan sebuah visi teologis: bahwa mata Allah yang terus melakukan pengawasan adalah sebuah ide yang menyiksa. Ia meminta agar lepas dari siksaan itu sebelum ia mati, sebelum ia pergi dan sudah tidak ada lagi, sampun mboten wonten.


2 comments:

Anonymous said...

Tulisan yg cerdas penuh gagas. Clean,clear and sophisticated. 'Doa minta tolong' boleh juga sebagai centre-of-attention. Namun DOA sendiri tetaplah inisiatif dari YHWH Sang Khaliq. DOA itu intinya Disapa Oleh Allah, Direspon Oleh Anda/aku. Ada proses dialektika dalam sebuah DOA, dan memang the greatest power on earth is a PRAYER.

visit us @:
http://jobjoss.blogspot.com

canticumsolis said...

Sdri Arlin, terima kasih atas komentar anda pada tulisan saya di blog saya..... semoga ada gunanya juga buat Arlin. Saya setuju dengan Arlin: The greates power on earth is PRAYER....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...