Monday, November 10, 2008

DARI "INVISIBLE" KE "INVINCIBLE RELIGION"

Oleh Fransiskus Borgias M.

Dewasa ini kita menyaksikan lagi renesans agama dan spiritualitas, yang mulai memasuki lagi dengan mulia panggung sejarah peradaban manusia. Dikatakan ”memasuki” kembali, karena pernah sekian lama ia diabaikan, disepelekan, dan didiamkan. Agama menjadi urusan privat yang hanya layak dirayakan di ruang privat; agama bukan urusan publik yang tidak perlu dirayakan di depan umum. Agama tidak lagi menjadi penampakan eksplisit dan eksternal spiritualitas dan identitas manusia.
Sekarang, terjadi kebangkitan kembali agama. Agama adalah organisme hidup, yang tidak tahan terkurung dalam himpitan sempit-sumpek ruang privat dan terselubung, kasat mata (invisible). Agama mulai menyeruak ke panggung dan ingin memperlihatkan perannya yang otentik dan orisinal. Terjadilah gerakan dan proses de-sekularisasi (Peter L.Berger). Megatrend J.Naisbitt pun telah meramalkan hal yang sama.
Apa alasan paling mendasar kebangkitan kembali agama ini? Gerakan yang membuat terjadinya pergeseran agama: dari ranah invisible ke ranah invincible (tidak tertaklukan dan ter-kalahkan)? Salah satu alasan mendasar ialah kegagalan proyek dan cita-cita Rasionalisme Aufklaerung (Pencerahan) di Eropa.
Sejarawan pemikiran filosofis sering mengatakan salah satu cita-cita mendasar gerakan Pencerahan di Eropa abad 18 dan 19 ialah mau mentahtakan rasio (rasionalisme) dalam percaturan hidup dan pemikiran manusia, sebuah panggung yang sekian lama (patristik, skolastik) dikuasai agama dan adat-istiadat (baca: tradisi, warisan turun temurun, tanpa sikap kritis-ilmiah). Mereka berharap dengan bertahtanya akal budi maka akan terbit terang baru yang cerah ( enlightenment).
Akibat pendewaan rasio, agama mulai tergeser. Agama hanya diperhitungkan dengan satu syarat mutlak: ia harus tunduk pada kendali dan pengawasan akal, mengikuti tolok ukur yang ditentukan akal. Jika tidak, maka hak hidup agama dilibas. Agama hanya dibenarkan untuk hidup sejauh ia masuk akal, artinya memenuhi standar yang dituntut akal budi, sang wasit dan hakim (raja).

Crime against Humanity
Gerakan Pencerahan ini mendapat momentum awalnya antara lain dari buku Immanuel Kant (abad ke-18): ”Religion within the boundary of Reason Alone”. Tesis dasarnya pencanangan dan pentahtaan rasio di atas agama dan tradisi. Rasio ”ist ueber alles,” meminjam istilah chauvenistik-angkuh Hitler. Semula, pendewaan rasio itu dianggap wajar sebagai reaksi terhadap tuduhan penyelubungan rasio yang berlangsung selama abad-abad gelap di Eropa sehingga ia mandul, bodoh dan penuh takhayul metafisis.
Dalam perkembangannya, akal budi itu berubah menjadi monster; ia menjadi kekuatan totalitas yang bringas dan menakutkan. Daya pesona rasio pada awal renesans-humanisme seakan sirna. Cita-cita luhur akal budi untuk menerangkan dan ”menguasai” segala sesuatu, bahkan termasuk menguasai Allah, telah menyebabkan ia kebablasan: ia tega melindas tuntas semua segi kehidupan yang tak mau tunduk pada tuntutan rasional itu (yaitu segi-segi kehidupan yang tidak bisa dikendalikan dan dipecahkan rasio). Rasio seakan-akan menjadi buta dan tuli; tidak sudi mendengar yang lain.
Memang tidak bisa disangkal bahwa salah satu hasil rasionalisme itu ialah berkembangnya sains modern yang melahirkan revolusi industri dan revolusi sosial itu. Tetapi tidak bisa disangkal juga bahwa salah satu muara pendewaan rasio itu ialah dua krisis kemanusiaan paling dahsyat dan tragis pada abad keduapuluh: Perang Dunia I dan II. Tidak bisa disangkal jika orang mengatakan pentahtaan dan pemujaan rasio mencapai puncaknya yang paling merusak dalam ambisi-gila Hitler dan Neo-Nazi (Neo-hitlerian).
Sejak Perang Dunia II hingga saat ini rasio manusia masih tampil bringas; ia tampil serba totaliter, juga serba anti, me-negasi, meniadakan yang lain. Ia bisa menjadi sangat anti-human, dan anti-keadaban. Muncullah apa yang disebut ”the crime against humanity” (Kejahatan melawan kemanusiaan). Anehnya hal itu terjadi justru atas nama rasio manusia. Paradoksal sekali: rasio manusia menjadi senjata makan tuan. Dan the crime ini punya kecenderungan untuk menjadi the total crime, dan hal itu tidak hanya pada tataran mikro melainkan juga pada tataran makro; tidak hanya pada dimensi lokal melainkan juga pada dimensi global, antarbangsa (internasional).

Pengakuan Fukuyama
Fenomena the total crime against humanity ini menyebabkan ekonom, yang dulunya pendekar pasar bebas, sekaliber Francis Fukuyama mengakui dengan rendah hati bahwa saat ini telah terjadi apa yang lazim disebut ”The Great Disruption.” Hal ini terjadi justru di tengah jaringan raya kapitalisme global. Maka tidak heran dewasa ini yang merajalela dalam pasar dunia bukan lagi hanya uang melainkan juga kekerasan. Kekerasan ini telah mengglobal. Jika dulu dikatakan uang adalah raja, penentu segala sesuatu, maka sekarang orang bisa berkata kekerasan, terorisme, juga bisa menjadi raja, penentu segala sesuatu, apalagi jika manusia sangat gampang termakan rumor teror dan kekerasan.
Ya, proyek cita-cita rasionalisme terbukti gagal; ia membawa bencana besar bagi umat manusia. Maka muncullah krisis besar. Di tengah krisis itu umat manusia seakan-akan sedang merenungkan sesuatu yang sangat mendalam. Muara renungan itu ialah sebentuk credo-manusia modern, yang antara lain dirumuskan oleh pemikir sosial Charles Taylor. Dengan sangat lantang ia mengatakan ”standar-standar yang tinggi membutuhkan sumber-sumber daya yang kuat juga” (High standards need strong sources).
Implisit di balik seruan tegas ini ialah keyakinan peradaban dan budi-pekerti manusia membutuhkan landasan lebih kokoh dari pada sekadar landasan akal budi. Akal budi tetap penting; tetapi bukan satu-satunya, apalagi jika sampai didewakan dengan mengorbankan semua yang lain. Setelah bencana tragis ambisi rasionalisme tadi, akhirnya orang kembali ke agama (baca: Kitab Suci dan Tradisi agung dan panjang dalam agama).
Dewasa ini orang yakin akal budi butuh kontrol juga. Kontrol itu berasal dari agama, Kitab Suci dan tradisi luhur keagamaan. Kedua hal ini bisa menjadi sumber ilham baru bagi orientasi akalbudi; kedua hal ini bisa menjadi stela duce (bintang pedoman), jangan sampai ia berlayar tidak tentu arah dalam lautan hidup dan kemanusiaan yang tidak bertepi.
Maka saya yakin agama tidak dapat diabaikan, didiamkan, dikurung, dalam ruang kasat mata, tidak tampak, sehingga menjadi invisible religion dan implicit religion. Saya yakin setelah lewat masa pengasingan dalam ruang tidak tampak, agama keluar sebagai pemenang; ia tampil sebagai yang tidak terkalahkan.
Agama, setelah masuk ke dalam invisible realm, kini keluar menjadi invincible religion. Tetapi jangan ia sampai serakah: ia harus memperhitungkan yang lain. Kearifan Albert Einstein perlu dipertimbangkan di sini: agama tanpa ilmu pengetahuan (hasil rasio) adalah buta; ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh. Jadi, keduanya diperlukan untuk saling melengkapi dan saling membantu agar hidup manusia bisa menjadi lebih baik.

Penulis adalah pemerhati masalah agama dan modernitas; mengajar pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.

1 comment:

antonsunarto said...

Frans, tulisanmu amat menarik tentang DARI INVISIBLE KE INVINCIBLE. Sebagai renesant religiositas. Aku banyak menyerap pengetahuan baru lho. Tapi aku ada sedikit penasaran terhadap "atasnama agama" meligitimasikan tindakan yang justru mencermeninkan "anti" agama. Bukankah agama direduksi ke tataran ratio/nalar. Aku gak ngerti.
Anton Jakarta.
Hei ..., wajah blogmu sudah cantik. Makeover.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...