Hari itu Sabtu pagi. Sunyi. Semua bunyi musik dan lonceng masih membisu dalam sepi. Silentium strictrum Jum’at Agung masih bergema. Lamentatio sudah dilakukan di kapela. Para peratap meratap dengan mantap. Ayat-ayat ratap mengendap dalam jiwa walau belum bisa membunuh sunyi. Sedemikian sunyi, sehingga bisa terdengar segala bunyi burung di hutan di sekitar. Desiran angin juga terdengar di kejauhan.
Itulah Sabtu Paskah sunyi di seminari. Semua siswa sibuk dengan kerja bakti membersihkan rumah dan halaman. Tim dekorator sibuk menghias altar dengan hiasan paskah. Begitu juga gang-gang, ruang refter, dan ruang tidur. Semuanya disiapkan untuk menyongsong Pesta Agung. Ruang juga disiapkan, tidak hanya manusia yang memakai ruang itu. Saya sendiri larut terhanyut dalam semuanya itu. Matahari bersinar terang pagi hari itu. Tetapi silentium strictum membuat sinar mentari itu terasa sunyi.
Karena besok paginya Ekaristi harus dirayakan semeriah mungkin, maka paduan suara seminari mengadakan latihan, sentuhan akhir. Saya tidak bisa ikut latihan itu, karena terlibat dalam tim dekorator. Terdengar di kejauhan Missa Brevis dinyanyikan dengan meriah dan mantap oleh paduan suara khusus. Khusus karena semuanya lelaki. Tetapi jangan keliru. Dari kejauhan terdengar suara melengking bak suara malaekat, the angelic voice. Itu suara anak lelaki kelas 1-2 SMP yang belum puber, yang jakunnya belum tumbuh dan karena itu suaranya belum pecah. Suara mereka luar biasa. Periode suara emas itu tidak bertahan lama. Hanya setengah tahun. Dirigen memanfaatkan periode itu dengan baik untuk membuat paduan suara menjadi indah dan megah.
Akhirnya senja mendekat. Upacara malam Paskah pun dimulai. Setelah malam menyelinap, semua siswa berkumpul di gereja yang gulita karena lampu padam. Semua sunyi. Terdengar suara gemericik di depan gereja. Itulah bagian dari upacara penyalaan api alam untuk lilin paskah. Setelah beberapa lama, terdengar suara sayup-sayup dari pintu gereja, suara imam: Lumen Christi. Kami menjawab seraya berlutut: Deo Gratias. Terang lilin paskah itu lewat di tengah ruang gelap. Untuk kedua kalinya terdengar suara imam dan kini lebih lantang dan lebih tinggi: Lumen Christi, dan kami menjawab Deo Gratias. Perarakan dilanjutkan ke altar. Di sana pastor berdiri di tangga pertama dan berseru dengan lantang dan tinggi: Lumen Christi, dan kami menjawab Deo Gratias.
Lalu dalam sekejab seluruh ruangan menjadi terang oleh lilin-lilin kecil yang dinyalakan dengan nyala lilin paskah. Indah sekali. Gelap, terang, lilin-lilin kecil, kerlap-kerlip terhembus nafas si pemegangnya. Terasa ada sebuah makna yang mengendap dalam kalbu dari untaian upacara itu. Terang mengalahkan kegelapan. Maut dikalahkan hidup. Dari gelap terbitlah terang, dan itulah sumber pengharapan dan optimisme. Dengan itu dimulai hidup baru. Hidup bertunas dan bersemi kembali. Dia yang turun ke alam maut, kini bangkit menuju hidup baru. Itu semua dirayakan dalam Exultet yang dibawakan dengan agung-meriah oleh imam.
Cengkeraman sunyi itu akhirnya runtuh dan pecah oleh pekik Gloria in Excelcis Deo sang imam yang disambung dengan mantap oleh seminaris dan diiringi lonceng agung seminari, dan juga lonceng-lonceng kecil. Berakhirlah sudah masa duka, kini masa suka tiba. Regina Caeli laetare Alleluia. Hai Ratu Surga Bersukacitalah Alleluya.
Di luar, di kejauhan malam dan sunyi, tiga ekor anjing seminari ikut memeriahkan suasana itu dengan itu menyalak sejadi-jadinya untuk mengimbangi bunyi lonceng yang melengking. Secara biologis mereka terganggu keseimbangannya sehingga mereka harus mengimbangi bunyi itu dengan melolong sejadi-jadinya. Tetapi bagi saya itu adalah lagu sukacita mereka mewartakan paskah. What a crazyness of Easter feeling. Tetapi itulah yang aku rasakan dan terus kuingat hingga saat ini, dalam nostalgia hangat.
No comments:
Post a Comment