Tuesday, March 11, 2008

Agungnya Keindahan
Oleh: EFBE@Fransisbm

Beberapa tahun silam Paus Yohanes Paulus II pernah mengeluarkan sebuah ensiklik cemerlang berjudul "Splendor Veritatis," artinya Keagungan Kebenaran. Bisa dipahami sebagai pernyataan teologis-filosofis perihal betapa agungnya kebenaran, kebenaran itu agung dan mengagumkan. Itu sebabnya orang tertarik kepada kebenaran, kepada aletheia, kepada penyingkapan, kepada ketelanjangan, kepada ketidak-tersembunyian, kata Heidegger. Kebenaran selalu menarik perhatian manusia. Tetapi apakah hanya kebenaran saja yang agung? Bagaimana dengan dua pilar peradaban yang lain yakni kebaikan (bonum) dengan perangkat teoretis ilmunya yang disebut ethica? Bagaimana dengan keindahan (pulchrum) dengan perangkat teoretis ilmunya yang disebut aesthetica? Apakah keduanya tidak agung? Keduanya juga sama-sama agungnya.
Dalam catatan singkat ini saya hanya mau membahas keagungan keindahan, splendor pulchri. Sering sekali kalau kita berbicara tentang ilmu, maka yang kita pikirkan hanyalah soal kebenaran (verum) dengan perangkat teoretis ilmunya, logica. Hasilnya ialah sains, terutama yang berkonotasi eksata, serba pasti, hitam-putih. Dengan kata lain, perkara epistemology dibatasi pada hal-hal rasional. Cara kita mengetahui (episteme) dan mengerti (noetic) hanya dibatasi pada aktifitas rasional. Kita pun sampai kepada logica. Bagaimana dengan eticha dan aesthetica? Bukankah kedua hal itu juga adalah cara kita mengetahui dan mengerti? Sebelum lupa saya mau menegaskan dulu bahwa estetika dan etika juga adalah "our way of appropriating knowledge." Estetika dan etika itu tidak hanya "our way of appreciating knowledge." Kedua hal itu juga adalah "our way of knowing and creating and even also our way of accumulating knowledge."
Ketika menulis tentang hal ini saya teringat akan Joseph Ratzinger (Benediktus XVI). Dia adalah salah satu teolog besar Katolik dewasa ini; juga dikenal berada dalam jalur pemikiran teologi estetik Huns urs von Balthasar, Eric Pyrzwara, Jean Danielou, dan tokoh Fransiskan agung abad pertengahan, Bonaventura. Suatu saat Ratzinger berkata bahwa "keindahan adalah ilmu." Bagi saya ini mengejutkan. Suatu pencerahan. Mengapa begitu? Bagaimana dapat dijelaskan bahwa keindahan adalah ilmu? Menurut Ratzinger, keindahan adalah bentuk yang lebih tinggi dari aktifitas "mengetahui" manusia, karena keindahan itu menerpa manusia dengan kebenaran dalam segala keagungannya (Lihat On the Way to Jesus Christ, hal.35, mirip dengan "On the Way to Language"-nya Heidegger). Itu karena keindahan menyentuh dan menyergap manusia dengan satu cara ajaib. Bahkan Ratzinger memakai kata "melukai." Kata Ratzinger, keindahan itu melukai manusia; artinya menorehkan bekasnya, jejaknya secara kuat. Jadi, ia berbekas, terpatri, lengket seperti perangko. Apa yang terluka, apa yang berbekas, akan terus diingat, tidak mudah dilupakan, bahkan menjadi endapan di alam bawah sadar, menjadi "luka lama."
Pintu masuk ke pengetahuan keindahan ini adalah lewat pengalaman pribadi, demikian kata Ratzinger, mengutip Nicholas Cabasilas, teolog Yunani Ortodoks. Lewat pengalaman pribadi itu, kita berjumpa dengan "das Ding an sich," meminjam filsafat fenomenologi Husserl. Lewat pengalaman, orang sampai kepada pengetahuan sejati. Dan pengetahuan sejati, kata Ratzinger, adalah keadaan diterpa oleh panah keindahan (the arrow of beauty) yang menancap dan melukai manusia (p.36). Itu artinya "disentuh dan berhadapan langsung dengan realitas" tanpa mediasi kata-kata yang kadang mereduksi, mengkerangkeng, dan menyesatkan. Karena itu, jangan meremehkan estetika. Sempurnakan logika anda dengan etika dan estetika, maka anda akan menjadi manusia sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...