Sunday, April 19, 2020

MENGENAL KARYA P.ERWIN SCHMUTZ SVD (BAGIAN I) Sebuah Catatan Kecil

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias, MA.
Peneliti dan dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung


Dr.Karel Steenbrink (profesor misiologi Universitas Utrecht, Netherlands) pernah berkata, dalam bukunya Orang-orang Katolik di Indonesia 2, bahwa ada “tiga-raksasa” misionaris SVD yang sangat berjasa dalam bidang antropologi, etnologi, linguistik, dan agama asli di NTT. Dua di antaranya bekerja di Flores, dan satu bekerja di Timor. Yang di Flores ialah P.Paul Arndt SVD yang mendalami antropologi budaya (ragawi) mulai dari Bajawa ke timur (Ende, Maumere, Larantuka, hingga ke pulau-pulau kecil sebelah timur). P.Arndt menghasilkan beberapa karya besar. Beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan (kalau tidak salah) oleh Pusat Penelitian Antropologi SVD Chandraditya, Ledalero, Maumere, Flores, NTT.

Yang kedua ialah P.J.Verheijen SVD yang bekerja di Manggarai dan mendalami Manggarai (budaya, bahasa, antroplogi, kepercayaan asli). Dia tiba di Manggarai tahun 1936. Beliau juga sudah menghasilkan banyak karya monumental tentang Manggarai. Antara lain ia menerbitkan Kamus Bahasa Manggarai-Indonesia dan Indonesia-Manggarai dan buku tentang sistem kepercayaan asli Manggarai, dan Manggarai Text (17 jilid). Yang ketiga ialah P.Bernard Vroklage SVD, yang bekerja di Timor yang menghasilkan karya ilmiah tentang Timor (Steenbrink 2006/2:300-301). Di Timor, orang ini melakukan banyak penelitian antropologis-etnologis tentang sistem kepecayaan asli di sana.

Sedemikian besarnya jasa para raksasa misionaris ini, sehingga antropolog dan misiolog/teolog di kemudian hari yang meneliti NTT tidak mungkin mengabaikan nama-nama para misionaris agung ini sebab mereka sudah menghasilkan banyak karya penting tentang wilayah itu. Itulah yang disadari oleh A.Molnar (1997, 2000), M.Erb (1986, 1999), C.Allerton (2002, 2013), M.Moeliono (2000), G.Forth (1987), J.Fox (1988), P.Webb (1986, 1990), P.Ph.Tule SVD (2004), J.Hoskins (1993, 1998), E.Woga (1994), Dami N.Toda (1999), Robert Lawang (1999), Marsel Robot (2008), Fransiska Widyawati (2013), dll. Itu hanya beberapa nama. Pasti masih ada nama peneliti NTT lainnya yang luput dari pengamatan saya. Mereka pasti berurusan dengan tiga raksasa tadi. Betapa besar jasa mereka bagi peneliti masa kini di NTT. Saya sendiri, saat merampungkan studi, berutang budi pada P.J.Verheijen dan Uskup van Bekkum. Mereka menyumbang banyak gagasan/pemikiran bagi saya dalam proses penulisan disertasi tentang Manggarai.

Dengan mengikuti pola kategorisasi K.Steenbrink tadi, saya pun berpendapat bahwa ada “empat raksasa” misionaris SVD yang bekerja di dan sangat berjasa bagi Manggarai Raya. Keempat orang itu ialah sbb: 1). P.Jilis Verheijen SVD, 2). Uskup Wilhelmus van Bekkum SVD, 3). P.Adolf Burger SVD, dan akhirnya 4). P.Erwin Schmutz SVD. (NB: Sesungguhnya ada misionaris lain yang juga harus saya sebut namanya. Ia berasal dari kalangan OFM. Namanya P.Vicente Kunrath OFM. Pater Vicente ini juga adalah seorang yang menaruh minat yang sangat besar akan hidup dan kebudayaan orang Manggarai. seperti halnya ketiga tokoh di atas tadi, Pater Vicente pun mempunyai banyak catatan tulisan tangan tentang Manggarai. Hanya sayang belum ada yang diterbitkan. Mungkin juga tidak ada lagi catatan-catatan beliau tentang Manggarai yang masih selamat. Tetapi saya sungguh tahu bahwa ia rajin mencatat). Apa kehebatan dan kebesaran orang-orang ini sehingga patut dikenang dan ditulis? Itulah yang ingin saya bahas dalam untaian tulisan singkat dan sederhana ini. Di sini saya hanya mau mulai dengan mengulas tentang P.Erwin Schmutz. Saya berharap semoga pada kesempatan lain saya akan sempat membuat ulasan singkat juga tentang ketiga tokoh yang lainnya.

Siapa orang ini? Mungkin tidak banyak orang Manggarai yang mengenal dia, apalagi anak-anak Manggarai generasi 90an kemari (milenials), barangkali dengan kekecualian mereka yang berasal dari Manggarai Barat. Sejauh saya ketahui, sebagai pastor paroki ia mungkin kurang dikenal di bagian lain di Manggarai tetapi di Mabar ia dikenal luas, di banyak kalangan, juga di luar orang Katolik. Dia adalah pastor SVD. Ia datang ke Manggarai mungkin tidak lama sesudah PD II. Konon beliau adalah bekas tentara PD II yang bekerja di layanan medis militer Jerman. Selesai PD-II ia menjadi imam, sesuatu yang biasa pada waktu itu di daerah kantong Katolik Eropa. Tidak lama setelah itu ia diutus untuk bekerja sebagai misionaris SVD ke Manggarai. Sejauh saya ketahui ia banyak bertugas sebagai pastor paroki di Nunang. Ia sangat lama bekerja di Nunang. Oleh karena itu ia sangat akrab dengan Sano Nggoang dan hutan sekitarnya yang lebat, yaitu kawasan hutan lindung Mbeliling yang kini terkenal itu.

Sebagai mantan Pastor militer, ia orangnya berani dan tegas, bertampang cenderung galak, dengan sorot mata tajam menukik seperti rajawali, dengan alis mata lebat, yang seakan menyembunyikan tatapan bola mata biru dan bening. Tetapi sebenarnya ia adalah pastor yang ramah. Sebagai anggota militer yang memberi layanan medis, di pedalaman Nunang ia juga memberi layanan medis: Memberi obat-obatan dan menolong orang sakit bahkan juga ibu-ibu bersalin. Dalam hal ini ia termasuk kategori pemberani sejati (mungkin rada nekat juga). Tahun 80-an ia bekerja di paroki Rangga (Lembor). Cukup lama ia kerja di sana. Di Rangga itulah ia berkenalan dengan keluarga kami, terutama dengan ayah saya, seorang guru di SDK Rangga. Pastor Erwin juga dikenal sebagai perokok. Terkait hobinya ini, konon di pastoran Rangga ia pernah bercanda bahwa di sini ada asbak terbesar sedunia yaitu lantai.

Dalam riset lapangan saya di Perang akhir 2013, umat di Rangga, setelah mereka tahu bahwa saya adalah seorang peneliti kebudayaan (yang sedang meneliti dalam rangka menulis disertasi doktoral), berkata kepada saya demikian: Dulu pak Frans, Pater Erwin itu sering dijumpai di hutan-hutan. Kalau bertemu kita terkejut karena mengira dia “empo deghong”. Kalau ditanya, Pater cari apa? Dia menjawab: Cari lumut di hutan. Mereka (umat) mengaku bingung mendengar jawaban itu. Mereka tidak tahu tentang P.Erwin di luar tugas utamanya sebagai seorang pastor paroki. Umat hanya tahu bahwa ia adalah seorang pastor paroki. Di luar itu orang tidak tahu. Tetapi sebenarnya dia adalah seorang peneliti. Dan sebagai seorang peneliti ia meneliti botani dan biologi di daerah Mabar. Termasuk tumbuhan obat-obatan herbal. Apa hasilnya? Mengagumkan. Tentang hal itulah yang ingin saya sharingkan di dalam tulisan singkat ini. Hasil penelitiannya itu ia tulis, ia dokumentasikan dalam pelbagai catatan dan ketikan. Pater Verheijen dalam salah satu kesempatan menulis bahwa Pater Erwin mengumpulkan catatan penelitiannya sampai berjumlah 800an halaman. Semua ditulis dalam bahasa Jerman. Sesekali Pater Erwin juga mempublikasikan hasil penelitiannya, atau setidaknya ia mengkomunikasikan hasil risetnya kepada komunitas ilmuwan internasional. (Bersambung…)

3 comments:

Masjon Kenedy said...

Terimakasih pa Frans atas karya tulis ini. Suatu saat ketika pulang libur sy merasa asing dgn klg sy sendiri.... semua berubah. Adik2 yg dulu kecil2 dan sering sy dominasi, kini sdh bertumbuh dewasa dan tdk bisa sy hadapi dgn kebiasaan dulu.... mereka sdh mandiri, punya cara pandang sendiri dan bisa mandiri, dst.
Rupanya keasingan ini tdk hanya terjadi dilingkup keluarga... tapi juga merembes ke kemampuan kebudayaan (bahasa) Manggarai saya.
Karya saya menuntut sy utk mengenal kebudayaan setempat meski secara garis besar. Ini mendatangkan kebahagiaan dan sukacita tersendiri. Dengan semakin seringnya sy berpindah tempat karya, maka kian sering juga sy gonta ganti berkenalan dgn budaya lokal sebagai pintu masuk ke alam pikiran dan hati penduduk.
Paradoksnya...sy gamang sgn kebudayaan sy sendiri..... Semenjak kesadaran ini menghinggapi dan menghabtui sy, setiap libuaran sy mencoba mengenal bajasa manggarai lebih jauh... dan mencari Kamis Bah. Manggarai... tp gagal karena menjadi barang langka.
Karya tulis pa Frans membiat sy utk tdk melupakan akar sy...
Sy tunggu bagian selanjutnya pa. GBU

Unknown said...

e tuang...
neho tae daku one meseng di facebook...
pengalaman dite hitu spt pengalaman Paulus...
Paulus yang berjalan keliling ke mana-mana... pasti alami keasingan budaya juga...
tetapi kemudian ia bisa mencari makna positif dari pengalaman asing budaya itu...
ia berusaha menjadi semua bagi semua orang, agar ia bisa memenangkan semakin banyak orang bagi Kristus... hehehehe... itu yang dilakukan Paulus...
tuang Masjon juga seperti itu... hidup dalam banyak konteks kultur... semoga bisa menjadi SEMUA di dalam SEMUA, agar bisa memenangkan banyak orang bagi Kristus...
tabe ga... trima kasih sudah ebrbagi di sini...

Unknown said...

Keraeng Frans terima kasih untuk blog. Terima kasih juga untuk pencerahan. Semoga tulisan ketiga raksasa itu dapat menjadi referensi untuk karya sosial ekonomi politik dan agama di NTT khususnya dan Indonesia pada umumnya. Semoga anak muda tertarik.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...