Saturday, February 16, 2019

SELALU BERJUBAH HITAM

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Salah satu ciri khas pater Cletus Groenen ialah bahwa ia selalu mengenakan jubah kerahibannya. Tidak pernah ia tampil tanpa jubah di ruang publik. Ia benar-benar sosok seorang rahib atau biarawan sejati yang patut dijadikan teladan bagi gereja. Pater Cletus tidak pernah terlibat tanpa jubah di muka umum. Ia selalu berjubah. Itulah jubah hitam kekhasan dan kesayangannya. Memang ia benar-benar orang yang hidupnya sangat sederhana. Bahkan juga terkesan apa adanya. Orangnya dan cara hidupnya sungguh sederhana. Einfach Leben wie Franziskuz, kata sebuah tulisan di dada Kaus oblong yang banyak dikenakan para Fransiskan akhir tahun 70an dan awal 80an. Walaupun di atas tadi, sudah dikatakan bahwa ia selalu berjubah, namun demikian saya juga pernah melihat dia mengenakan pakaian sipil biasa. Hal itu pernah saya saksikan satu kali saat saya masih berada di tahun novisiat di Bitora Jl.Legi 7, Papringan Yogyakarta. Bitora itu sendiri adalah singkatan dari Biara Santo Bonaventura. Konon singkatan itu lahir sebagai bandingan Kolsani, markas para Yesuit di Kota Baru (Kolese Santo Ignatius).

Selain pada masa novisiat, masih beberapa kali juga saya melihatnya saat saya menjalani tahun sebagai mahasiswa teologi di tempat yang sama (tahun 1986-1989). Hal yang amat menarik ialah, ternyata setelah kami amati, hal itu terjadi pada hari yang sama, yaitu saat ia merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang sangat istimewa itu, pater Groenen (begitu ia dikenal oleh umat dan mahasiswanya) tampak mengenakan busana sipil. Bajunya biasanya kemeja lengan panjang, berwarna biru sangat muda (cenderung ke arah putih kalau di bawah sorot lampu malam). Baju itu dipadu dengan celana panjang dari bahan kain berwarna hitam. Tampak tersetrika halus dan rapih. Pada kesempatan mengenakan busana seperti itu, ia tampak sangat ramping. Biasanya lengan bajunya tidak digulung. Bajunya dimasukkan ke dalam celana dengan ikat pinggang. Jangan-jangan itu juga sebuah pinjaman, karena sehari-hari ikat pinggang itu tidak ada (tidak kelihatan) di kamarnya. Diam-diam kami para frater berbisik-bisik: Waduh, ternyata ganteng juga pater Cletus kalau ia mengenakan busana sipil. Bentuk badannya langsing dan tinggi.

Seperti sudah dikatakan tadi, ia mengenakan pakaian sipil itu saat ia merayakan hari ulang tahun. Saat itu akan datang sebuah mobil, semacam Carry ataupun Combi. Biasanya mobil itu tiba di biara pukul setengah tujuh malam, pas sebelum jam makam malam tiba. Kami juga sudah hafal mobil itu. Itu mobil dari Kolsani, milik para romo Yesuit. Sebab OFM di Papringan saat itu tidak ada apa-apa. Telepon tidak ada, televisi juga tidak ada, apalagi sebangsa mobil (karena mobil itu barang istimewa, kira-kira semewah seperti kuda pada jaman Fransiskus Asisi dulu, sehingga ia melarang para saudara untuk naik barang mewah tersebut). Yang ada di Papringan hanya sepeda dan motor. Motor untuk para romo dan yang sudah kaul kekal. Untuk para frater hanya tersedia sepeda saja.

Ternyata sopir dalam mobil yang datang itu tidak main-main juga. Dia adalah Pater Dr.Bernhard Kiesser SJ. Dia juga adalah dosen kami di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta. Ia mengajar teologi Moral di Kentungan. Konon pater Kiesser ini, begitu ia dipanggil oleh umat dan para mahasiswa, adalah mahasiswa kesayangan pater Cletus sejak pater Kiesser masih belajar teologi di Kentungan. Hubungan itu tidak pernah berhenti. Dan hanya pater Kiesser sajalah yang bisa mengajak pater Cletus untuk makan keluar di restoran. Hanya pater Kiesser saja yang bisa meminta pater Cletus untuk mengenakan busana sipil. Sejauh saya tahu, pater minister propinsi OFM sekalipun saat itu tidak ada yang bisa meminta pater Cletus untuk mengenakan busana sipil. Hanya pater Kiesser yang bisa melakukan hal itu. Luar biasa. Itu karena ada sebuah hubungan yang sangat baik dan istimewa antara guru (yang Fransiskan) dan murid (yang Yesuit).

Bandung, Februari 2019

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...