Sunday, February 17, 2019

SANG PEROKOK BERAT

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Pater Groenen adalah perokok berat. Ia bagaikan kereta api batubara. Tiada saat tanpa ngepul asap. Selalu ngepul, kecuali saat doa, makan, dan tidur. Di luar itu ia selalu ngepul. Ngajar di depan mahasiswa pun ia ngelinting rokok dan ngepul.

Tentang hal ini ada beberapa cerita kenangan lucu dan kesaksian. Ada yang dikisahkan orang lain. Ada yang saya tahu sendiri. Yang saya tahu sendiri ialah beberapa cerita berikut ini.

Pertama, misalnya, karena ia perokok berat maka jubahnya banyak lubang kecil bekas api rokok yang jatuh. Terkesan seperti ventilasi pada jubah hitam itu. Kebanyakan di daerah bawah perut bagian depan tengah. Saya baru tahu mengapa begitu dan di situ. Ternyata karena saat ia baca buku di kamarnya, ia duduk bersila di atas kursi. Saya tahu ini karena saya melihatnya saat ke kamarnya untuk bimbingan rohani dan konsultasi beberapa masalah teologi. Saat baca buku dengan gaya duduk seperti itu, tentu ada percikan tembakau bernyala jatuh di atas jubahnya yang tidak ia sadari.

Kedua, saya tahu dari beberapa teman yang menceritakan pengalaman seorang bruder Papua, Bruder Yosef Tebai ofm. Konon awal tahun 80-an, Pater Cletus sakit. Untuk itu ia harus dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Karena sakit maka dia tidak boleh merokok. Tetapi saat itu, orang lain yang berkunjung atau berjaga boleh merokok dalam kompleks Rumah Sakit bahkan dalam kamar. Sekarang hal itu dilarang keras. Memang harus begitu. Saya dukung. Karena itu, Pater Cletus merasa senang kalau ia dijaga Bruder Yosef Tebai. Bahkan kalau bisa Bruder itulah yang menjaga dia. Mengapa? Inilah yang lucu. Kalau bruder itu menunggui dia, maka ia akan meminta Bruder itu untuk ngelinting rokok dan dinyalakan. Lalu nanti dialah yang isap rokok itu. Tetapi begitu ada suster atau bruder perawat atau dokter jaga yang datang ke kamar dia, maka cepat-cepat dia serahkan rokok itu kepada Bruder. Dan bruder Yosef pun berlagak seakan-akan dialah yang rokok, dan bukan pater Cletus. Kalau mereka sudah pergi maka ia akan meminta kembali rokok tadi dan tentu bruder Yosef menyerahkan rokok tersebut. Pantasan batuknya sangat keras dan tampak sangat parah.

Ketiga, ini adalah sesuatu yang saya tahu dan alami sendiri. Kalau ia memimpin ekaristi di kapel biara, saat ia mengucapkan salam pembuka “Tuhan sertamu” itu, saat mana imam biasanya merentangkan tangannya, maka tampak jelas bahwa jempolnya dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Kedua tangannya, kiri dan kanan, dua-duanya begitu. Mungkin itu adalah karena efek dari status sebagai perokok berat, sehingga jari telunjuk dan jari tengah selalu diganjal batang rokok. Tetapi saat perayaan ekaristi, batang tokok itu tidak ada. Saya bayangkan betapa saat-saat seperti itu sangat rawan bagi dia. Karena batang rokok tidak ada di tangan, maka terpaksa batang rokok itu digantikan dengan jempolnya sendiri yang dalam hal ini berfungsi sebagai semacam rokok lintingan. Mungkin bagi dia hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi bagi para frater yang adalah orang Indonesia, hal itu menjadi sebuah masalah serius dan lucu.

Akhirnya, masih tentang kebiasaan dia ini, saya juga mendapat cerita dari anggota LBI tahun 70-an sampai 80an akhir. Konon tidak segan-segan ia meminta rapat rutin LBI dihentikan sejenak, agar dia bisa mengisap rokok. Saat istirahat itulah dia merokok. Mungkin karena biasanya mereka merokok dalam ruangan tertutup. Mungkin juga karena ada peserta pertemuan yang tidak merokok. Karena itu, maka peraturan rokok diberlakukan dengan ketat. Sangatlah tepat jika kita juluki dia sebagai ahli Taurat (karena dia adalah seorang ahli Kitab Suci), juga bisa dijuluki imam Bait Allah (karena ia selalu menghaturkan kurban bakaran, kurban asap, kurban dupa, asap yang keluar menyembul dari rokoknya).


Kopo, Februari 2019.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...