Saya tinggal di Kompleks Perumahan Taman Kopo Indah II Bandung sejak awal Desember 1998. Sejak awal saya tinggal di sana, ada beberapa rumah yang berfungsi sebagai gereja. Saya tidak akan menyebutkannya di sini. Juga saya tidak akan mencirikannya. Kurang lebih tiga atau empat tahun terakhir ini, ada sebuah gereja rumah yang menurut saya sangat unik. Bahwa itu adalah gereja rumah, hal itu bisa tampak dari kegiatan pada hari Minggu yang ramai. Ada banyak orang daripada biasanya. Ada banyak mobil dan motor yang parkir di jalan. Jadi, memang ada kegiatan peribadatan. Bagi saya tidak apa-apa. Bukan tentang hal itu saya mau menulis di sini.
Yang mau saya tulis di sini adalah desain tampang depan dari domestic church itu. Di Bagian atas depan, dari jauh kita bisa melihat gambar seekor ikan raksasa. ada insangnya, ada matanya, dan ada juga mulutnya. Bodi ikan itu tampak sangat jelas sekali. Mungkin karena ada gambar yang berbentuk ikan itulah maka orang-orang menyebutnya gereja Ikan. Dan karena itu adalah rumah maka disebut domestic church, gereja rumahan, gereja di rumah. Dalam bahasa Yunani, ikan itu artinya ialah ichtous. Oleh karena itu, boleh juga disebut Ichtous Church, alias gereja ikan.
Bagi orang-orang pada umumnya mungkin gambar ikan itu sama sekali tidak ada artinya. Mungkin orang bahkan mengira itu adalah rumah yang jual ikan, dan semua fasilitas pemeliharaan ikan, seperti aquiarium misalnya, sebab di Taman Kopo Indah memang ada banyak rumah-rumah aquarium seperti itu. Tetapi tentu saja rumah itu, bukan rumah ikan biasa. Untuk orang-orang Kristiani yang mengenal sejarah gereja, dan lebih khusus mengenal (tidak usah mendalami) sejarah kesenian Kristiani purba, maka gambar ikan itu pasti membawa satu makna tertentu. Apa itu?
Bagi orang yang pernah membaca sejarah Gereja Purba, gambar ikan itu mempunyai arti yang sangat jelas. Pertama, pasti gambar ikan itu mengingatkan dia akan beberapa kali sebutan ikan di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Bahkan Yesus pernah menyuruh Petrus untuk menangkap ikan dan berhasil menangkap banyak ikan, melampaui apa yang selama ini pernah dialami oleh para nelayan itu. Mungkin juga orang ingat akan mukjizat Makan Kenyang yang dibuat oleh Yesus yang memberi makan kepada lima ribu orang dengan lima roti dan dua ekor ikan.
Tetapi mungkin orang lain lagi ingat akan kesenian Kristiani purba pada jaman mereka hidup di dalam Katakomba-katakomba, gua dan lorong bawah tanah yang dipakai sebagai tempat persembunyian dari kejaran dan incaran orang-orang yang ingin memusnahkan kekristenan itu dari muka bumi. Agar tempat pelarian dan persembunyian di dalam tanah itu aman dan bisa menyelamatkan, maka mereka memerlukan beberapa simbol penunjuk arah yang berupa sebuah bahasa sandi internal yang hanya dikenal oleh orang-orang dalam saja.
Sesungguhnya pada waktu itu, mereka memakai banyak simbol. Tetapi salah satu dari simbol-simbol itu ialah ikan. Di dalam bahasa Yunani ikan itu artinya ICHTOUS. Saat orang-orang Kristiani purba itu melihat gambar ikan maka mereka langsung terpikir akan keselamatan. Sebab bagi orang-orang Kristiani purba itu, ICHTOUS itu adalah sebuah singkatan teologis dan kristologis yang luar biasa indah dan mendalam. ICHTOUS itu adalah singkatan dari Iesus Christus Theou Ouios Soter. Artinya ialah Yesus Kristus Putera Allah Penyelamat. Jadi, saat orang melihat gambar itu di dinding lorong, maka itu adalah tanda keselamatan. Saat mereka menempuh lorong gelap dan rahasia itu, maka mereka akan selamat. Setidaknya mereka tidak terjebak di dalam jalan buntu di dalam lorong-lorong gelap di bawah tanah itu. Itulah fungsi dan peranan dari ICHTOUS tersebut.
Ketika sedang sibuk memikirkan tentang hal ini, tiba-tiba saya terpikir tentang sifat-sifat dari simbol-simbol itu. Ada simbol yang sudah sangat bersifat eksklusif. Misalnya simbol Salib. Tatkala orang melihat simbol salib maka serta merta orang teringat akan Kristianitas, dan praksis doa yang menandai diri sendiri dengan tanda salib tersebut. Sekalipun orang itu orang yang bukan Kristen, tetapi mereka pasti akrab dengan tanda dan gambar salib itu. Bahkan muncul juga fenomena sosial di mana orang takut akan salib, staurophobia, cruciphobia, dan karena ada phobia terhadap stauros (salib), maka orang pun lalu mengembangkan pelbagai macam wacana untuk mematikan tanda salib tersebut.
Itulah sebabnya, ada orang yang cenderung berpikir bahwa simbol salib itu sudah sangat bersifat eksklusif. Dan tanda khas dari eksklusivisme ialah cenderung mengeliminasi lian betapapun proses eliminasi itu berlangsung sangat halus dan tidak kelihatan. Tanda salib itu membangun semacam ciri pembeda ada aku dan kau, bahkan bukan lagi hanya pembeda, melainkan juga menjadi semacam tembok pemisah yang memisahkan aku dan kau, kami dan kamu, mereka. Walaupun sebenarnya tanda salib itu sangat bersifat universal. Bahkan tanda salib itu sudah ada mendahului kekristenan itu sendiri. Tetapi pengkaitan historis antara salib dan Kekristenan sudah sangat kuat dan karena itu tidak bisa lagi tersangkalkan oleh siapapun, juga tidak bisa lagi dihapus oleh siapapun.
Itulah yang membedakan simbol salib dengan simbol lain. Dalam konteks ini, salib itu saya kontraskan dengan gambar ikan tadi. Mungkin karena orang tidak tahu, maka penolakan tidak terasa, karena orang tidak tahu. Hal itu misalnya sangat berbeda dari pengenalan orang-orang pada umumnya terhadap salib. Salib itu sudah menjadi semacam tanda pengenal Kekristenan. Salib menandai rumah-rumah orang Kristen. Sedangkan ikan atau ichtous ini, sekalipun sangat luhur dan mulia, karena terkait langsung dengan misteri kristologi, masih sangat bersifat inklusif. Salah satu ciri khas dari sikap inklusif itu ialah kemauan dan kerelasediaan untuk menerima lian apa adanya juga dengan dan dalam agamanya sendiri.
Dengan pertimbangan seperti itu maka sikap para pemilik domestic ichtous church itu menurut saya sangat bijaksana. Mereka tetap mau setia kepada iman Kristologis, tetapi sekaligus tetap bersikap inklusif di dalam ekspresi simbolik secara sosial di ruang publik. Kita tidak lagi semata-mata terpaku pada satu simbol saja, apalagi kalau simbol itu sudah menimbulkan semacam rasa takut (staurophobia) dan curiga dari lian. Pemakaian simbol ikan, setidaknya hingga saat ini, sangat bersifat inklusif. Saat orang melihat ikan, maka yang spontan terpikirkan ialah mungkin ikan goreng, ikan bakar, ataupun ikan pepes. Tidak ada sama sekali konotasi yang bersifat Kristologis.
Menurut saya, ini adalah sebuah tantangan bagi Kreatifitas Kristiani, baik untuk menggali simbol-simbol lain yang bersifat historis, tetapi sekaligus bersifat inklusif, maupun, seperti halnya dulu orang-orang Kristiani purba sendiri, mengembangkan eksperimen-eksperimen teologis baru untuk mengembangkan wacana dan imaji-imaji baru yang bisa dipakai sebagai simbol, sekali lagi simbol yang tidak eksklusif, melainkan simbol yang mutlak bersifat inklusif.
Dosen dan Peneliti FF-UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung.