Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA
Sebelum memasuki masa novisiat saya hanya satu kali bertemu Pater Cletus. Hal itu terjadi di Biara Rivotorto Karot, Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Saat itu ia berada di Manggarai. Saya tidak tahu ia ke sana untuk apa. Biasanya memberi ret-ret kepada kelompok biarawan ataupun para imam di sana. Karena itu saya tidak begitu tahu banyak cara hidup beliau sehari-hari. Pada waktu itu saya sudah mengenal nama dan muka beliau karena ia sering menulis di majalah bulanan Rohani tentang banyak topik yang menarik dan menantang pembaca. Saya sudah membaca dia sejak masih di Seminari Kecil dan Seminari Menengah di Kisol, Manggarai Timur.
Pada waktu saya masuk novisiat di Papringan, Yogyakarta, saya baru melihat cara hidup Pater Cletus secara lebih dekat. Ternyata ia adalah orang dengan praksis hidup mati raga yang kuat dan berdisiplin. Pada pagi hari ia hanya makan satu tangkap roti, sebutir telor, satu tomat (kalau ada), segelas kopi hitam. Semula saya heran dan bertanya-tanya, kok Pater bisa bertahan sampai jam makan siang. Sebagai makan siang, yang saya lihat waktu itu ia hanya mengambil nasi paling banyak hanya tiga sendok makan. Begitu juga makan malam. Di kamarnya tidak ada snack. Hal itu bisa saya pastikan. Pada jaman kami dulu tidak/belum ada jam snack, pagi maupun sore (biasanya di tempat lain, jam 10 dan 16 sore). Saat itu dulu, sehari-hari tidak ada snack atau makanan ekstra. Kecuali pada hari-hari rekreasi. Saat itulah ada snack. Ia juga bermati raga dalam hal cara berpakaian. Setiap hari ia hanya memakai jubah. Di kamarnya tidak ada lemari pakaian. Hanya rak-rak buku. Ia mencuci sendiri jubahnya. Ia menjemur jubahnya di kusen jendela kamarnya. Begitu juga celana dalamnya. Pokoknya sangat sederhana.
Tetapi terkait dengan hal ini ada satu yang sangat menarik perhatian saya. Yaitu, walaupun dia sendiri ketat sekali dalam hal mati raga terutama soal makan, namun ia tidak pernah menuntut standar yang sama dari para saudara lain, terutama dari biarawan-biarawan yang masih muda-muda. Misalnya, ia tidak pernah menuntut orang lain dengan cara menyindir-nyindir orang lain agar mati raga seperti dirinya. Ia hanya menerapkan standar yang ketat itu bagi dirinya sendiri. Saat makan juga ia lebih banyak berdiam diri. Tidak banyak omong. Lebih banyak ia memandang keluar kamar makan, memperhatikan perilaku ayam dan burung-burung di pohon rambutan. Ia hanya akan berbicara kalau ada saudara yang bertanya atau mengajak dia berbicara. Itupun akan dijawab kalau ia merasa hal itu penting dan menarik. Kalau tidak ia hanya akan mengangkat bahu atau sekadar mengernyitkan alis matanya. Ia matiraga juga dalam soal bicara. Silentium magnum et strictum.
Lama sekali saya baru bisa memahami praksis diam ini. Pada tahun 1986, dalam sebuah ceramah para putera-puteri Fransiskus Asisi di biara Suster-suster Fransiskanes Palembang di Klepu, ia berbicara tentang saudara Egidius, salah seorang saudara dina di awal sejarah pergerakan Fransiskan. Menurut ceramah itu, konon bruder Egidius ini sering mengulang-ulang kalimat yang menjadi judul ceramah pater Cletus. Konon bruder Egidius mengatakan: “Bobobo, multo dico pocco vo.” Kira-kira begitulah bunyinya. Konon artinya ialah: Waduh, banyak bicara, tetapi sedikit berbuat atau bekerja. Bruder Egidius, dengan kalimat itu, mau menyindir para saudara yang menyembunyikan kemalasan dengan selubung banyak omong. Banyak omong dipakai sebagai pemaaf untuk kemalasan. Padahal banyak omong bisa membawa potensi berbohong juga. Walaupun tidak disangkal bahwa di dalam banyak bicara bisa terjadi proses penyingkapan dan penyataan makna. Tetapi yang paling banyak terjadi ialah hanya semacam usaha tipu-tipu, yakni omong banyak untuk menipu orang lain, menutupi kemalasan. Tentu ini jahat. Rupanya Pater Cletus mau menghindarkan hal seperti itu. Ia lebih banyak diam agar hati dan pikirannya terarah ke atas. Wow. Luar biasa.
Taman Kopo Indah, Februari 2019.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment