Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Mama Katharina adalah nama mamaku. Nama lengkapnya ialah Katharina Bubur. Katharina adalah nama baptisnya (nama permandian, atau ngasang cebong dalam bahasa Manggarai). Sedangkan Bubur adalah namanya yang sebenarnya sebagai orang Manggarai. Dalam bahasa Manggarai nama belakang itu biasanya disebut “ngasang tu’ung” (terjemahannya, nama yang sebenarnya; tetapi itu bukan berarti bahwa nama baptis itu bukan nama yang sebenarnya. Itu juga nama yang sebenarnya. Itu sebuah persoalan rumit yang tidak akan bisa dibahas tuntas dalam tulisan singkat ini). Walaupun namanya Bubur, tetapi anehnya, dan ini sangat menarik perhatian saya sejak kecil dulu, ia mempunyai nama kecil (ngasang koe, alit) Buet. Nama kecil Buet ini, atau alonim dalam bahasa antropologi budayanya, rupanya dibuat berdasarkan sebuah nama yang terdaftar saat ia masuk sekolah dasar di SDK Waemata. Konon pada saat itu ia terdaftar (atau lebih baik didaftarkan) sebagai Bubut. Dari nama Bubut inilah muncul alonim (ngasang koe) Buet. Dan nama Buet inilah yang akhirnya kami hafal dan sangat ingat melekat dalam kalbu kami anak-anak dan juga para cucunya.
Tetapi dulu pada waktu saya masih di SD, saya pernah dilanda rasa malu karena nama ibuku adalah Bubur. Memang dalam bahasa Manggarai, kata bubur itu sepertinya tidak ada artinya. Tetapi dalam bahasa Indonesia, Bubur itu artinya ya bubur. Seperti dalam kata pepatah itu: nasi sudah jadi bubur. Dan bubur dalam bahasa Manggarai adalah lebo. Terkadang saya sedikit menyesali mengapa kakek dan nenek saya memilih nama Bubur untuk puteri tunggal mereka yang cantik itu. Saya tidak habis pikir mengapa mereka memilih nama itu untuk anak perempuan mereka satu-satunya (bahkan anak satu-satunya juga).
Sampai tiba pada suatu saat. Saya menyebutnya, saat perwahyuan. Entah bagaimana dalam sebuah pembicaraan di rumah kami di Ketang. Pada suatu sore hari ema tu’a Lando (ema Alung, kami tidak tahu namanya, tetapi Alung adalah nama isterinya, ende-tua Alung) datang berkunjung ke rumah. Biasanya kalau dia datang bertamu (lejong) kami ngobrol macam-macam hal. Sampai pada suatu saat kami berbicara tentang nama orang-orang Manggarai. Pada kesempatan itulah saya sempat melontarkan rasa tidak senang saya pada kakek dan nenek saya di Wol karena mereka sudah memberi nama Bubur kepada ibu saya. Ema tu’a Lando itu kemudian menatap saya dengan sangat serius. Ia lalu mengatakan bahwa tidak seharusnya kamu memiliki perasaan seperti itu kepada kedua kakek dan nenekmu di Wol. Dengan sedikit rasa kesal saya merajuk dan merengek untuk meyakinkan ema tu’a Alung mengenai sikap dan pendapat saya tadi. Saya mengatakan kepada dia bahwa saya kesal karena mereka telah memberi nama Bubur kepada ibuku. Dan teman-temanku, diam-diam menjadikan nama ibuku sebagai bahan olokan walaupun mereka tidak berani terang-terangan karena takut dimarahi ayahku yang adalah seorang guru sekolah dasar.
Tetapi sebagai anak kecil saya dapat merasakan bahwa mereka suka tertawa bila menyebut nama mamaku. Mendengar curahan hatiku itu, ema tua lando pun memulai pengajarannya. “Nana Frans, kamu tahu apa artinya bubur dalam bahasa Manggarai?” Tentu saya menggeleng. Lalu ia mengatakan: “Bubur itu mempunyai akar kata bur. Dan bur itu artinya matahari terbit, bur leso.” Saya mengatakan bahwa yang saya ketahui ialah par leso. Ema tua Lando mengatakan, bahwa par leso dan bur leso itu sama. Tetapi saya membantah lagi: “Itukan bur, bukan bubur.” Lalu ema tua lando mengatakan bahwa bu-bur itu adalah tahap yang sedikit lebih awal dari bur atau par itu. Kalau par dan bur itu artinya kita sudah melihat berkas-berkas sinar mentari pagi, maka bu-bur itu barulah percikan-percikan awal.
Saya kagum mendengar hal itu. Ia melanjutkan dengan penjelasan yang membuat saya semakin kagum. Mungkin saja kakek dan nenekmu dulu sangat mengharapkan kelahiran anak. Begitu anak itu lahir, ia bagaikan matahari yang terbit, bur, bu-bur, di tengah keluarga. Dengan yakin ema tu’a Lando mengatakan: “Saya sangat yakin bahwa ia adalah anak yang sangat dinantikan. Maka tidak mengherankan bahwa saat anak itu lahir, mereka tidak segan menyamakannya dengan matahari terbit, bur leso, bahkan tahap lebih dini dari bur leso itu, bu-bur leso.” Saya kagum mendengar penjelasan itu. Saya mendapat pengetahuan baru.
Sejak saat itu, saya tidak lagi merasa malu memiliki nama ibu Bubur. Sebab walaupun nama itu dalam bahasa Indonesia ia mempunyai arti yang lain sama sekali, tetapi dalam bahasa Manggarai, ia mempunyai arti yang sangat istimewa karena dikaitkan dengan proses terbitnya cahaya mentari pagi yang membawa sinar terang untuk segala makhluk hidup di bumi. Setelah mendengar penjelasan itu, saya lalu membayangkan betapa bahagianya kakek dan nenek dulu saat anak wanita mereka (ya anak mereka satu-satunya) terlahir ke dunia ini. Saya bisa memahami mengapa mereka menamainya dengan merujuk ke peristiwa agung-kosmis, terbitnya mentari pagi.
Jauh di kemudian hari, setelah saya semakin banyak belajar dan membaca di seminari, saya akhirnya tahu bahwa fase-fase awal sebelum matahari terbit dalam bahasa Latin disebut aurora. Maka terkadang saya menyebut nama mamaku, Katharina Aurora (Latin) alis Bubur (dalam bahasa Manggarai). Betapa cantiknya nama Bubur itu, sebab Bubur itu adalah Aurora, saat detik-detik awal sang mentari dibayangkan terbang ke atas dari balik bumi dan sebelum ia benar-benar tampak terbit di timur percik-percik cahayanya (aurora) sudah tiba duluan. Percik-percik cahaya yang tiba duluan itulah yang disebut aurora atau bubur dalam bahasa Manggarai. Jadi, mama Katharina adalah sang cahaya mentari dalam hidup keluarga kakek dan nenekku dan tentu saja dalam hidup kami anak-anak semuanya. Sebab dari sang Aurora, sang Bubur itu terlahirlah kami anak bersebelas, dengan komposisi enam perempuan dan lima laki-laki. Sungguh mengagumkan dan menyenangkan membayangkan semuanya itu. Saya bayangkan mama Buet tersenyum membaca ungkapan hati anaknya ini. Terima kasih mama. Engkaulah cahaya matahari dalam hidup kami semua.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment