Saturday, October 29, 2011

ECCE HOMO IMAGINANS

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hari ini, tanggal 15 Mei 2009, prof.Dr.Ignatius Bambang Sugiharto (Guru Besar Filsafat dan Seni pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung) datang ke ruangan kantor saya untuk menanyakan satu istilah dalam bahasa Latin. Konon ia mempunyai rencana untuk memakai istilah itu (kalau memang ada dan kalau memang bisa dibentuk) dalam sebuah diskursus atau wacana filsafat manusia masa kini. Konsep yang ia mau cari istilahnya yang pas ialah konsep “manusia yang berimajinasi.” Beliau mau mencari istilah yang tepat yang secara kurang lebih sama dengan ungkapan-ungkapan klasik dalam antropologi filsafat: misalnya Homo Ludens (dari Filsuf Belanda Johan Huizinga), Homo orans (kiranya dari konteks tradisi Liturgi Kristiani), homo ridens (dari disiplin psikologi modern), Homo sapiens (dari para filsuf Yunani, terutama Aristoteles), Homo sperans (dari para filsuf dan teolog pengharapan ala Ernst Bloch, Ladislaus Boros, Karl Marx, dll), homo laborans (manusia yang bekerja, mungkin dari para filsuf Yunani kuno dan filsuf Kristiani abad pertengahan, tetapi yang pada masa modern ini dibangkitkan lagi oleh orang seperti Hannah Arendt), homo mendax (dari Mazmur 116:11, versi Vulgata, terjemahan Latin).

Ia bertanya, apakah bisa dibentuk istilah Latin untuk gagasan “manusia yang berimajinasi” itu? Sebab ia sangat yakin bahwa itulah salah satu subtansi dan kemampuan dasar manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Sebuah wacana filsafat manusia masa kini yang juga sangat kuat. Saya membenarkan beliau, dengan mengatakan bahwa secara teologis-biblis, manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah menurut gambar dan citra Allah (Kej.1:26-28). Jadi, pada dasarnya, manusia dan berada sebagai manusia, adalah juga ada dan berada sebagai gambar, sebagai imago. Imago adalah struktur dasar eksistensinya. Jadi, dalam diri manusia ada kemampuan dasar untuk meng-gambar, membangun sebuah gambar; istilah bahasa Jerman sangat bagus untuk melukiskan hal ini karena sangat dinamis melukiskan proses terjadinya hal itu sendiri, Einbildungskraft.

“Wah Prof., itu sebuah pertanyaan yang sukar, sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.” Begitulah reaksi spontan saya saat itu di hadapan beliau. Tetapi karena ia sudah datang ke ruangan kantor saya, maka saya harus mencoba menjawab dan mencari dan memberi penjelasan kepada beliau. Sebelum mencari kamus bahasa Latin dan Yunani, saya memberitahu kepada beliau bahwa dalam tradisi filsafat manusia barat (yang sebagian besar sangat dipengaruhi oleh bahasa Latin), sebenarnya ada tiga cara atau proses pembentukan istilah homo itu jika dipakai sebagai istilah teknis dalam wacana filsafat manusia. Pertama, kata homo itu dikaitkan dengan kata benda, tetapi kata benda itu berfungsi sebagai keterangan pada kata homo tadi. Saya memberi beberapa contoh, misalnya: Homo faber, homo viator (dari filsuf Prancis, Gabriel Marcel), homo peccator (dari Mazmur), homo pictor (yang ini agak muncul belakangan, setelah saya selesai menulis ulang dan mengolah kembali artikel ini; tetapi ada baiknya saya daftarkan juga di sini sebagai contoh). Jadi yang ada dan dipakai di sini ialah homo faber, dan bukan homo fabricans seperti contoh-contoh tradisional yang sudah disebutkan di atas tadi. Ya, memang contoh untuk model pertama ini sangat terbatas; sejauh ini saya baru menemukan tiga contoh itu saja.

Kedua, kata homo itu dikaitkan dengan kata sifat yang (sebagaimana memang substansi dari kata sifat itu sendiri) pasti menerangkan kata benda homo itu juga yang ada di depannya. Di sini bisa diberikan beberapa contoh. Misalnya: homo religiosus, homo oeconomicus, homo socius. Sayangnya, saya hanya baru bisa menemukan tiga contoh ini saja. Mungkin dalam proses refleksi di kemudian hari dan juga dalam pembacaan, saya bisa menemukan contoh-contoh lain. Ketiga, kata homo itu dikaitkan dengan bentuk gerundivum aktif nominativus dari kata kerja yang memberi keterangan, dan karena itu juga memberi keterangan terhadap kata benda homo tadi. Di sini juga ada beberapa contoh yang menarik. Misalnya: homo orans, homo ludens, homo ridens, homo sperans, homo sapiens, dll.

Setelah memberi penjelasan mengenai ketiga model proses pembentukan istilah itu, saya kembali ke persoalan yang diajukan Prof.Bambang tadi kepada saya. Ya, secara retoris saya juga bertanya: Lalu bagaimana dengan gagasan filosofis “manusia sebagai makhluk yang berimajinasi”? Apakah ada istilah bakunya? Kalau tidak ada, apakah bisa dibentuk menurut ketiga pola di atas tadi? Itulah pertanyaan saya, mengulang pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh Prof.Bambang tadi kepada saya.

Seperti sudah saya akui di atas tadi, jelas ini sebuah pertanyaan yang tidak mudah. Tampaknya sederhana, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sementara kalangan. Oleh karena itu, agar tidak salah-salah, dan juga agar tidak meleset, maka saya pun membuka Kamus bahasa Latin yang ada di rak buku-buku saya. Di sana di dalam kamus itu saya menemukan sebuah kata sifat imaginosus. Tentu saja kata sifat ini sangat erat terkait dengan kata benda imago, yang berarti gambar atau citra. Di dalam kamus itu tidak ada kata sifat hasil bentukan gerundivum aktif nominativus, misalnya imaginans. Maka atas dasar kata sifat leksikal itu, saya pun mengusulkan kepada Prof.Bambang agar konsep filosofis itu disebut saja dengan sebutan homo imaginosus.

Mendengar usul saya itu, Prof.Bambang langsung mau menerimanya, apalagi saya memberi argumentasi bahwa istilah itu tidak salah (alias bisa dibenarkan dan dipertanggung-jawabkan secara gramatikal dan juga secara filosofis-historis) karena memang ada kesejajaran gramatikal-fonetikal dengan istilah yang sudah sangat baku dan klasik dalam teologi dan ilmu agama-agama, yaitu homo religiosus. Ia berkata kepada saya bahwa ia akan memakai istilah itu sebagai istilah baku dalam wacana filsafatnya. Dalam hati saya berpikir, semoga ia bisa mengakui dengan jujur dari siapa ia memperoleh istilah itu. Memang sore hari itu, kalau tidak salah beliau akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar bertemakan filsafat manusia, di salah satu forum di kota Bandung.

Setelah prof.Bambang sudah pergi meninggalkan ruangan kantor saya, tiba-tiba saya terpikir untuk mencari kata lain dalam Bahasa Latin untuk gagasan yang sama. Kata itu ialah kata pictor. Dan memang kata itu ada juga dalam kamus bahasa Latin tadi. Atas dasar istilah itu, saya pun menegaskan kepada diri saya sendiri bahwa gagasan filosofis tadi ternyata bisa juga disebut dengan sebutan homo pictor yang kiranya juga bisa diterima dan dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan fonetis-gramatologis mengingat adanya kesejajaran dan kemiripan bunyi dan gramatikal dengan istilah lain yang sudah klasik juga dalam wacana filsafat manusia: homo viator, homo peccator.

Tetapi setelah saya pikir-pikir dan mempertimbangkannya kembali secara serius, saya akhirnya menolak atau tidak mau menerima istilah ini karena kata pictor berarti melukis gambar secara fisikal, artinya kita atau seseorang memakai alat material untuk melukis pada sebuah kanvas. Misalnya ia memakai kuas, kanvas, cat dan wadah-wadah lain yang perlu. Sedangkan yang dimaksudkan di sini ialah sesuatu yang lebih bersifat abstrak, sebuah imajinasi, sebuah kemampuan membangun gambar di dalam daya kayal, membangun gambar (imago, Bildung) di dalam daya akal, jadi agak bersifat abstrak, psikologis. Di sini ketika memikirkan hal ini, jelas saya sangat terpengaruh oleh terjemahan kata imajinasi itu dalam bahasa Jerman: Einbildungskraft, yang jika ditelusuri secara etimologis bisa diartikan sebagai daya kemampuan untuk membangun sebuah gambar, tentu saja dalam proses rohani dalam imajinasi, dalam olah akal budi (saya temukan dan sadari hal ini ketika membaca buku Truth and Method dari Hans Georg Gadamer itu). Oleh karena itu saya kembali lagi ke istilah homo imaginosus tadi dan memakai istilah itu dan tidak memakai istilah homo pictor.

Jauh di kemudian hari, masih dalam rangka refleksi mengenai hal ini, saya cenderung memakai istilah lain: yaitu homo imaginans, dan bukan lagi istilah homo imaginosus. Istilah ini saya rasa lebih substansial dan dinamis dan lebih dari sekadar kata sifat yang memberi keterangan pada kata benda belaka. Kata ini (imaginans), lebih menunjuk ke substansi aktifitas itu sendiri. Jadi, kalau manusia modern membayangkan dirinya sendiri sekarang ini, sebenarnya ia sedang memandang sang manusia yang mempunyai kemampuan berimajinasi, kemampuan membangun gambar dalam pikirannya, homo imaginans, ecce homo imaginans. Eksistensi manusia sebagai homo imaginans juga mempunyai daya pengaruh yang kuat dalam proses pembentukan watak dan cara berpikir manusia, terutama faktor kecerdasan imajinatifnya.

Di sini ketika saya sedang mengetik dan mengedit ulang tulisan ini, saya tiba-tiba teringat akan nasihat yang pernah saya berikan kepada anak saya beberapa minggu yang lalu, sebelum saya mengetik naskah ini dalam komputer. Anak saya Agung sangat suka membaca komik, atau cerita bergambar. Ia mengoleksi sangat banyak buku seperti itu, terutama komik Jepang dengan cerita seperti Naruto. Ada juga komik Alkitab baik dengan teknik menggambar tradisional, maupun teknik menggambar manga (komik Jepang). Ketika sebuah buku sudah habis dilahapnya, ia akan duduk dengan tekun di depan komputer dan mengunduh cerita-cerita yang sama dari dunia maya. Bosan dengan itu, ia akan nonton televisi, juga cerita-cerita Jepang seperti Naruto tadi. Saya tentu saja cemas melihatnya, terutama cemas mengenai kesehatan matanya. Juga cemas akan perkembangan daya imajinasinya. Tetapi seorang teman dari Universitas Gajah Mada, berkata kepada saya bahwa biarkan saja anak itu membaca dan menikmati komik-komik, karena menurut dia hal itu amat bisa sangat membantu peningkatan dan perkembangan kecerdasan anak. Maka saya membiarkan dia terus membaca dan membaca komik.

Tetapi belakangan saya mulai menganjurkan dia agar mengurangi bacaan komik itu. Ia harus mulai banyak membaca buku-buku yang hanya penuh dengan gambar huruf-huruf saja. Saya memberi sebuah alasan yang sangat pedagogis-filosofis sbb: selama ini, ketika kamu membaca buku komik, maka dalam benakmu muncul gambar yang sesuai dengan gambar-gambar dalam komik itu. Itu sama sekali tidak membantu proses kreatif dalam daya kayal. Kamu harus mulai membaca buku-buku tanpa gambar. Ketika membaca buku-buku tanpa gambar itulah, kamu sendirilah yang secara aktif harus membuat atau membangun gambar dalam benak kalbumu. Dengan cara itu kamu akan menjadi manusia yang kreatif dan imajinatif. Dan saya sangat beruntung karena ia bisa mengerti dan mau menerimanya.

Untuk memperkuat argumen itu, saya pun bercerita tentang perbedaan antara menonton televisi dan mendengar radio. Saya katakan kepada dia, bahwa dulu ketika saya masih kecil, saya “nonton” siaran bola kaki atau badminton, atau tinju, melalui radio. Saya katakan “menonton,” karena memang ketika mendengar sang komentator memberi laporan pandangan mata yang sangat hidup dan berapi-api, dengan sendirinya muncul ruang imajinasi dalam benak saya, ruang gambar-gambar hidup, yang sangat hidup, sangat luwes dan saya sendirilah yang membentuknya, dan saya sendirilah yang membangun dan menentukannya. Itu sangat berbeda dengan menonton televisi: mata dan benak kalbu kita sudah disuguhi dengan gambar-gambar. Model ini memang bisa mendatangkan daya kreatifitas tersendiri, tetapi dalam pemahaman dan pengamatan saya tidak sangat kreatif. Sekali lagi, saya sangat senang, Agung bisa memahami dan akhirnya bisa menerima hal itu. Puji Tuhan. Ecce homo imaginans.

Yogya, 28 Oktober 2011. (Asli 15 Mei 2009).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...