Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Saat ini aku masih ingat dengan
sangat baik akan kejadian itu. Ya, kejadian itu terjadi ketika saya masih duduk di kelas 2 SD. Saya tidak
ingat lagi berapa jumlah teman kelas saya pada waktu itu. Yang jelas, kami
penuh satu kelas. Tidak ada bangku yang kosong. Kakak kelas kami juga ada cukup
banyak. Dan salah satunya seorang perempuan yang bernama Anas. Anas ini
berperawakan kecil. Ia sangat lincah saat bermain dan istirahat sekolah (kami
menyebutnya saat itu, “bersenang”. Terkadang sekarang saya berpikir bahwa
istilah itu bisa mendatangkan konotasi negatif terhadap sekolah atau pelajaran
itu sendiri. Kalau jam-jam di antara pelajaran itu disebut “bersenang”,
jangan-jangan para siswa berpikir jam-jam pelajaran itu adalah jam berduka,
lawan dari bersenang tadi. Apalagi jika pelajarannya tidak menarik dan tidak
bisa ditangkap oleh anak-anak). Anas juga termasuk anak yang suka bergembira.
Ia seorang anak yang tipe periang. Ia juga penuh canda dan gelak tawa. Seorang
kakak kelas yang mudah dan luwes bergaul. Sampai pada suatu hari, tatkala
semuanya itu tiba-tiba berubah secara sangat drastic dan total. Tidak bisa lagi
diputar-balikkan. Tidak bisa lagi kembali ke situasi awal. Seakan-akan
benar-benar terjadi sebuah kerusakan di dalam hati, di dalam pikiran, walaupun
tidak boleh disebut gila. Pokoknya terjadi sebuah terror mental yang mengerikan
yang mungkin terlalu berat untuk dipikul oleh seorang anak seusia dia, yang
masih kecil, masih duduk di bangku sekolah dasar yang belum mengerti apa-apa
tentang pahit dan getirnya kehidupan ini.
Pada suatu
hari, pada kesempatan jam istirahat
(bersenang) yang pertama, tiba-tiba kami semua mendengar Anas
menangis meraung-raung di halaman sekolah kami yang serba sederhana, saat sedang
bermain-main dengan penuh gembira dan gelak-tawa dengan semua anak-anak yang
lain. Tentu saja semua orang terkejut.
Kawan-kawan pada terkejut. Para guru juga tidak kurang terkejutnya. Anas
tiba-tiba menangis meragung-raung setelah ia melihat
“orang-orang” menggiring beramai-ramai beberapa lelaki dari kampungnya dan juga dari kampung
tetangganya.
Segera
tersiar kabar bahwa mereka semua akan digiring ke ibu-kota kabupaten.
Rupanya di kampung-kampung di sekitar sekolah
desas-desus tentang hal itu sudah terdengar beberapa minggu sebelumnya, tetapi
belum begitu gencar karena orang belum melihat siapa-siapa yang datang ke
kampung. Baru sekarang inilah “orang-orang” itu datang dan hadir di sekitar
kami, sangat dekat dengan kami. Tidak hanya datang dan hadir saja, melainkan
mereka datang “mengambil” orang dan membawanya ke ibukota kabupaten.
Nah di antara mereka
itu, salah satunya adalah ayah Anas. Mereka
digiring di sebuah jalan singkat/potong yang melintas persis di halaman
belakang sekolah kami, sehingga semua anak-anak sekolah bisa melihatnya. Memang
orang-orang itu tidak diikat. Tetapi sangat jelas bahwa mereka berjalan di
bawah pengawasan yang ketat dengan polisi dan tentara bersenjata lengkap.
Entahlah. Apakah ada isinya ataukah tidak. Anas tiba-tiba menangis karena
melihat ayahnya pergi dan pagi itu mereka belum sempat berpamit. Dan sekarang
pun tidak bisa pamit, karena kelompok orang-orang itu berjalan di bawah
pengawasan dan mereka bergerak seperti orang-orang yang ketakutan. Yang tampak
dari pergerakan mereka bukan gerak-gerik dari orang-orang yang bebas.
Kepergian
mereka juga diiringi isak tangis para isteri,
keluarga, tetangga dan para warga kampung lainnya yang
terus memandang mereka pergi menjauh sampai rombongan itu akhirnya hilang di
balik punggung bukit karena mereka akan segera berjalan menuruni lereng bukit
menuju ke lembah di pinggir sungai wae Lelang, di mana ada jalan raya menuju ke
ibukota. Pada saat itu, yang ada hanya satu penjelasan saja. Katanya mereka semua
akan dibawa ke ibukota untuk di-“screening”, sebuah kata yang tidak
dipahami oleh orang-orang di kampung saat itu, termasuk
juga oleh Anas.
Yang jelas
ialah bahwa sejak saat itu, ayah Anas dan
teman-teman lain di dalam rombongan itu tidak pernah pulang lagi ke
kampung mereka, tidak pernah berbalik lagi ke tengah-tengah keluarga mereka. Jelas, itu
adalah sebuah pukulan yang amat mengerikan dan menyedihkan bagi keluarga
mereka. Orang-orang sungguh menjadi sangat terpukul dan tidak sungguh mengerti
akan apa yang terjadi.
Ada satu hal
yang aku ingat dengan sangat baik yaitu bahwa sejak saat itu (kelas 3 SD) sampai
tamat, Anas berubah drastis. Kalau
tadinya dia adalah seorang anak yang sangat periang dan lincah,
lalu tiba-tiba menjadi seorang pemurung, dan ia suka menyendiri, dan tidak
mau lagi diganggu oleh teman-temannya. Sedih sekali melihatnya
saat itu.
Juga sangat
sedih kalau membayangkannya lagi sekarang ini. Terlalu
cepat ia ditimpa peristiwa tragis itu. Seperti sebuah benih yang baru tumbuh.
Belum sempat berakar kuat dan mendalam di dalam tanah, tiba-tiba sudah ditimpa
sinar panas mentari yang terlalu terik. Maka dia pun lalu menjadi layu dan
mati, ya mati sebelum berkembang mekar.
Saya
sendiri, sesudah tamat sekolah dasar, lalu masuk ke seminari menengah. Dan
setelah selesai dengan pendidikan di seminari menengah, saya melanjutkan ke
seminari tinggi. Nah ketika masih di seminari tinggi itulah aku pernah mendapat berita
dari kampung bahwa Anas sudah meninggal dunia
karena TBC. Sedih sekali aku mendengar dan membayangkan kabar duka
itu. Tetapi, aku yakin, bukan TBC yang menjadi
penyebab utama kematiannya, tetapi perjuangan hidup yang
penuh penderitaan, hidup tanpa ayah, hidup tanpa tahu ke mana ayah hilang tidak
tentu arah. Sebuah misteri kepergian tanpa pernah kembali. Seperti
sebuah kematian saja. Misteri tragedi penghilangan orang secara paksa dalam
satu operasi penumpasan yang tidak berperikemanusiaan.
Tanpa terasa
air mataku mengalir dari
mata. Aku terkenang akan Anas, gadis kecil
periang yang bernasib malang itu. Yang
tiba-tiba berubah dari periang menjadi pemurung karena tragedy hilangnya sang
ayah. Ayah yang dibawa pergi dan tidak kembali. Tanpa penjelasan. Ia pergi
begitu saja. Aku merasakan sesak di dada
karena himpitan kenangan yang teramat sedih dan menyedihkan itu.
Ya, setelah banyak
mempelajari lembar-lembar sejarah yang dilewati
negeri ini, aku pun akhirnya sadar
bahwa Anas adalah salah satu contoh paling kongkret dalam pengalaman hidup sekelompok
anak manusia (termasuk saya sendiri tentu saja), betapa
percaturan politik nasional, dapat secara nyata mempunyai dampak yang sangat
negatif dan sangat personal dan sekaligus eksistensial
dalam hidup seseorang. Begitulah kataku dalam hati seakan-akan
sedang mengajukan sebuah postulat politis, bahkan mungkin sebuah teori politik.
Dalam sebuah
kesempatan kunjungan kepada seorang teman saya pernah menceritakan hal ini
secara panjang lebar. Dalam percakapan di penghujung senja di rumah temannya
itu saya pernah memberi sebuah penilaian moral-etis terhadap hal itu.
“Kebetulan ini adalah
sebuah kisah yang sangat tragis.”
Setiap kali
aku mengisahkannya, dan juga pada kesempatan kali ini, aku hampir meneteskan
air mata lagi. Sebab aku serasa begitu dekat. Aku seperti serasa
begitu dekat. Seperti baru saja lewat. Beberapa saat. Seperti masih hangat
dalam ingat.
“Kapan hal itu
terjadi Frans?” Tanya temanku
itu.
“Ya, sekitar
tahun 70-an.” Jawabku.
“Saat itu, saya
masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Ya,
kira-kira sekitar saat itulah saya ingat hal itu terjadi.” Begitulah penjelasanku
lebih lanjut.
“Saat itu, tangis orang-orang memecah
kesunyian beberapa desa di sekitar
kompleks sekolah dasar kami. Tangis yang teramat mengerikan, karena memilukan,
menyayat-nyayat kalbu orang yang mendengarnya. Ratap tangis
sedih. Mungkin sama seperti yang dikatakan nabi Yeremia itu: Dengar! Di Rama
terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih; Rahel menangisi anak-anaknya, ia
tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi (Yer 31:15).”
Lalu, sejenak aku hening lagi. Menarik nafas panjang.
“Dan hal yang paling menyedihkan
lagi ialah bahwa hampir tidak ada orang yang berdaya
mengatasi persoalan seperti itu, termasuk juga pastor paroki kami sekalipun.
Rasanya ia hanya seperti seorang penonton saja dari semua tragedi nasional ini. Juga tidak
ada orang yang bisa memberi sebuah penjelasan rasional tentang aksi ini. Saat itu ada
banyak Rachel-Rachel yang menangis dan meratapi suami-suami mereka yang dipaksa
pergi dan tidak pernah kembali.”
“Ya Frans,
itulah masa-masa operasi pembersihan dan penumpasan sisa-sisa PKI secara
sistematis di seluruh wilayah republik Indonesia ini.” Lalu ada
hening sejenak lagi yang meliputi kami berdua.
“Pokoknya para
anggota organisasi terlarang itu harus lenyap dari muka bumi Indonesia.” Sejenak ada
keheningan lagi.
“Dan mungkin saja ayah si Anas itu juga adalah
salah satu dari korban penumpasan dan penghilangan orang secara
paksa.”
Kemudian kami berdua pun terdiam,
hening. Saya merasa terhanyut dalam sebuah doa spontan yang
tiba-tiba menyembul begitu saja dari dalam hatiku. Sepertinya temanku
Markus ini juga sedang berdoa bagi orang-orang yang menjadi korban
sejarah, korban drama perpolitikan yang serba carut-marut di Republik ini,
berdoa bagi si ayah Anas dan para ayah yang lain, yang mati
secara antah berantah, dan kuburnya pun antah berantah juga.
Terbersit niat
baik dalam diri kami berdua untuk melakukan
semacam ikhtiar amnesti dan rekonsiliasi. Misalnya
dengan cara mencari para korban itu, terutama yang termasuk
kategori rakyat kecil. Mereka sesungguhnya tidak tahu
apa-apa. Tetapi menjadi
korban karena proses mobilisasi anggota oleh organisasi yang kemudian
dinyatakan terlarang. Mungkin juga karena dibujuk-bujuk
oleh pihak yang lain.
Ini dosa siapa?
Ini salah siapa?
Sampai sekarang
kami semua masih sangat sulit untuk
menjawab pertanyaan itu secara pasti.
Entah sampai
kapan hal itu akan berlangsung terus seperti itu. Mungkin itu
adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya harus dicari pada rumput yang
bergoyang.
Penulis: Dosen dan Peneliti Senior
pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.
No comments:
Post a Comment