Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Gedung
sekolah kami, menurut saya pada waktu itu, termasuk sudah sangat bagus. Pada
saat itu sekolah kami di SDK Lamba-Ketang, sudah berdinding papan. Fundasinya
sudah bersemen. Walaupun lantainya belum bersemen. Tetapi itu sudah kokoh
sekali. Di dalam sekolah kami merasa aman, terutama sekali saat hari-hari
hujan. Kami aman dari kebasahan dan kedinginan karena diterpa angin tenggara
yang kencang dan dingin itu. Angin itu serasa menerpa kencang dari belahan sebelah
timur poco Ngkerok yang bertiup dari arah Kole, Hejar, Pela, Lembah Wae Lelang,
dan menerpa bukit Ketang. Pada musim jagung, biasanya jagung-jagung di kebun
rebah karenanya. Sungguh sebuah bencana, bencana angin. Seakan-akan lembah wae
Lelang itu menjadi pintu masuk angin yang bertiup kencang dari laut selatan ke
arah bagian tengah kawasan kedaluan Lelak.
Saat
itu gedung sekolah kami sudah terdiri atas enam ruangan. Tidak ada ruang khusus
untuk kantor para guru. Kantor para guru di masing-masing kelas guru yang
bersangkutan. Pada saat itu, yang ada ialah guru kelas. Bukan guru mata pelajaran. Artinya, kalau
bapa guru A, mengajar di Kelas III, maka ia harus mengajarkan semua mata
pelajaran di kelas itu. Tidak ada persoalan mengenai apa sang guru itu kompeten
atau tidak. Rasanya waktu itu semua guru bisa mengajarkan semua mata pelajaran
di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Luar biasa.
Kebetulan
pintu-pintu ruang kelas sekolah kami itu menghadap ke utara. Gedung
itu memanjang dari Timur ke Barat. Ruangan paling barat diperuntukkan bagi
kelas satu dan kelas dua. Sesudah itu ada ruangan untuk kelas tiga. Lalu ada
ruangan untuk kelas empat. Lalu ruangan untuk kelas lima. Lalu ada ruangan
untuk kelas enam. Dan ruangan yang paling timur pada jaman kami dulu tidak
pernah dipakai sebagai ruangan kelas. Karena ruangan di paling ujung timur itu
adalah ruangan yang dikhususkan untuk kapel. Di sana ada sebuah altar. Ada juga
tabernakel, dan patung bunda Maria. Di dindingnya digantung juga gambar jalan
salib yang diteruskan ke ruangan kelas enam, karena ruang kapel itu tidak cukup
untuk empatbelas gambar stasi jalan salib.
Berbeda
dengan ruangan-ruangan kelas yang lainnya, maka ruangan yang keenam di ujung
timur itu tidak dilengkapi bangku tinggi, melainkan hanya dilengkapi dengan
bangku rendah (dengklek kalau Bahasa Jawanya) tempat umat ataupun anak sekolah
duduk untuk mengikuti Misa ataupun Ibadat pada Hari Minggu.
Jadi,
praktis, dari seluruh enam ruangan yang ada di sekolah kami itu, hanya lima
yang efektif dipakai sebagai ruangan kelas bagi para siswa. Hal itu masih
seperti itu semenjak saya meninggalkan sekolah tersebut saat saya masuk ke
Seminari Pius XII Kisol.
Anak-anak
kelas satu dan dua bisa memakai satu ruangan kelas yang sama karena biasanya anak-anak
kelas dua masuk agak siang dan anak-anak kelas satu masuk pagi. Sesudah dua
jam, anak-anak kelas satu akan bubar duluan. Barulah sesudah itu anak-anak kelas
dua akan masuk kelas. Namun demikian, para siswa kelas dua tetap harus masuk
pagi-pagi ke sekolah. Oleh karena itu, sementara menunggu giliran masuk kelas,
para guru biasanya menyuruh kami anak-anak kelas dua untuk belajar sendiri.
Saya
masih ingat ada beberapa hal yang harus kami pelajari bersama-sama, dan secara
beramai-ramai. Di sebelah barat sekolah itu dulu ada sebuah pohon Alpukat (kami
dulu menyebutnya Advokat) yang daunnya cukup rimbun. Biasanya kami anak-anak
kelas dua berkumpul di bawah pohon Alpukat itu untuk belajar. Yang kami
pelajari ialah doa-doa hafalan. Saat itu, anak-anak kelas dua SD sudah harus
bisa menghafalkan doa-doa dalam tradisi Katolik di luar kepala. Itu adalah
syarat mutlak untuk bisa diterima sambut baru. Kalau belum menghafal doa-doa
tersebut maka anak tersebut tidak akan diterima untuk sambut baru. Dan hal itu
tentu saja amat memalukan.
Maka
kami secara bersama-sama mencoba menghafal doa-doa tersebut dalam Bahasa
Manggarai tentu saja. Pagi-pagi, kami akan berkumpul di bawah pohon itu dan
mulai menghafal: “Aku kali Mori, Mori Keraeng de hau. Ca, neka io pina naeng
one ranga Daku. Sua, neka caro keta bon ngasang de Mori Kraeng. Telu Hiang ga
leso de Mori Keraeng. Pat, hiang ga ende agu emam, kudut lewe mosem one lino
hoo.” Biasanya, bagian inilah yang paling sulit untuk diingat dan dihafalkan,
karena kalimatnya rada panjang-panjang. Mulai dari perintah kelima ke atas
relatif cukup mudah dihafalkan karena rumusannya pendek-pendek. Dan semua siswa
bisa melafalkannya di luar kepala dan berlomba cepat-cepatan dan keras-kerasan.
Kencang dan ramai sekali.
Saya
pikir-pikir justru hal itulah yang telah membantu mempermudah daya ingat bagi
orang lain. Sebab kata-kata doa itu, karena diucapkan keras-keras, tidak lagi hanya
tertera dalam bentuk tulisan huruf-huruf di kertas atau buku, melainkan
kata-kata itu seakan-akan menjadi hidup dan meloncat-loncat di udara, seperti
sedang berterbangan kian kemari. Sehingga dalam seluruh proses belajar
(menghafal) ini yang berperan tidak lagi hanya mata yang melihat dan
mempelototi bentuk-bentuk huruf, melainkan telinga juga sangat berperan, karena
kata-kata itu diucapkan secara berirama oleh semua teman-teman. Dengan cara
itulah kami saling bantu membantu.
“Lima,
neka paki ata. Enam, neka ngoeng ata. Pitu, neka tako. Alo, neka nggopet. Ciok,
neka humer naim te ngoeng ata. Cempulu, neka humer naim teo ngoeng ceca data.”
Setelah
selesai menghafal Sepuluh Perintah Allah (dalam Bahasa Manggarai), lalu kami
menghafal doa-doa cinta (ngaji momang), doa harapan (ngaji bengkes), doa pagi
(ngaji gula), doa malam (ngaji wie), malekat Allah (malaekat de Mori Keraeng).
Tidak lupa juga kami harus menghafal doa angelus dalam Bahasa Manggarai,
Penggawa de Mori Keraeng mai kreba hi Maria Nggeluk, ai hia poli de’I le Nai
Nggeluk…dst…dst. Kami juga harus menghafal doa Sengaji Surga (Ratu Surga,
Regina Caeli) yang biasanya dipakai pada masa Paskah. Tentu saja kami juga
harus menghafal doa Bapa Kami (Yo Ema Dami) dan doa Salam Maria (Tabe o Maria).
Semuanya dilakukan secara bersama-sama dan beramai-ramai di bawah pohon alpukat
itu.
Sesudah
menghafal doa, maka tibalah giliran bagi kami untuk menghafal perkalian. Mulai
dari perkalian satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, Sembilan,
sepuluh. Untuk tingkat kelas dua awal cukup sampai sepuluh saja. Tetapi sesudah
bulan-bulan pertama, hafalan perkalian itu juga harus sampai ke puluhan hingga
ke serratus. Dan hafalan perkalian itupun diucapkan secara berirama juga. Agak
sudah melukiskannya dengan kata-kata di sini. Pokoknya semua anak harus
menghafalnya dengan irama lagu seperti itu. Tidak boleh dan memang juga tidak
bisa dengan irama yang lain. Kalau dengan nada dan irama yang lain, maka akan
terasa aneh. Dan hal itu akan langsung ditegur juga oleh guru-guru kami yang
sesekali datang mengawasi kami belajar di kelas di bawah pohon alpukat yang
rindang. Ah indah sekali. Penuh kenangan.
Tentu
saja ada teman-teman yang nakal. Saya ingat saya punya teman, sebut saja
namanya Robertus. Dia sama sekali bukan tipe orang yang bisa betah untuk duduk
belajar. Dia selalu jalan-jalan. Dan suka ganggu cewek-cewek. Kebetulan di
kelas kami ada satu teman puteri kami yang cantic. Sebut saja namanya Isaura.
Si Robertus ini selalu mencoba duduk di dekat Isaura, walaupun si Isaura
menjadi sangat malu dan marah karenanya. Tetapi Robertus sama sekali tidak
peduli. Ia tetap menyosor saja. Sehingga kami pun mengolok-olok bahwa Robertus
punya pacar di kelas kami yaitu Isaura. Tetapi Robertus tidak hanya suka akan
teman kelas. Ia juga suka akan yang kakak kelas. Dan bahkan ada juga anak-anak
kelas satu yang baru masuk sekolah. Yah begitulah cinta monyet anak-anak pada
masa itu.
Kalau
sudah menghafal kalian, biasanya kami juga disuruh untuk membaca teks-teks
tertentu. Bahkan ada yang harus dihafalkan dari bacaan itu. Karena bacaan itu
sepertinya bisa membentuk sikap dan pandangan hidup serta iman anak-anak. Dari
semua bacaan hafalan yang paling saya ingat ialah hafalan bacaan teks berikut
ini. ”Hatiku, milik Allah, Kepalaku milik Allah. Mataku milik Allah. Mulutku
milik Allah.” Pokoknya kita disuruh dan dituntun oleh bacaan hafalan itu untuk
menyebut seluruh anggota badan kita. Dan saat kita menyebut anggota badan itu,
kita harus menyentuhnya juga. Misalnya, saat saya mengatakan, Hidungku milik
Allah. Saya mengucapkan kata “hidungku” itu sambil memegang hidungku sendiri.
Tentu yang disebut ialah bagian atau anggota tubuh yang patut disebut di muka
public saja. Dan biasanya hafalan itu diakhiri dengan perkataan: Semuanya milik
Allah.
Lagi-lagi
Robertus. Orang ini juga paling banyak isengnya. Saat kita menghafalkan teks
bacaan hafalan yang baru saja saya sebut tadi, biasanya Robertus
memperagakannya secara sangat atraktif di depan teman-teman. Dan dia mulai dari
atas. Kepala, telinga, hidung, mata, mulut, dagu, leher, dada, perut. Nah, lalu
ia juga tunjuk ke bagian bawah perutnya. Sesudah itu ia berbalik dan
menunjukkan pantatnya kepada kami semua. Tentu tidak ada yang menyangkal bahwa
itu juga milik Allah karena diciptakan Allah. Tetapi rasanya tidak patut untuk
disebutkan secara terang-terangan di depan public seperti dibuat oleh Robertus yang
suka bikin ulah itu. Pada saat seperti itu biasanya kita semua pada tertawa.
Tetapi ada teman-teman perempuan yang berusia lebih tua dari kami yang
mengingatkan kami bahwa kita tidak boleh main-main dengan kata-kata itu. Karena
semuanya adalah milik Allah.
Ya,
memang teks-teks bacaan hafalan itu dimaksudkan untuk membentuk sikap dan
keyakinan bahwa kita tidak boleh berbuat sembarangan saja dengan anggota badan
kita, karena anggota badan kita adalah milik Allah.
Jauh
di kemudian hari setelah saya membaca kitab suci secara langsung, saya lalu
menjadi sadar bahwa teks hafalan itu kiranya berasal dari pandangan teologi
santo Paulus yang pernah mengatakan bahwa Tubuh kita adalah Bait Roh Kudus. Karena
tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka kita tidak boleh berdosa dengan tubuh
kita. Kita harus memuliakan Tuhan dengan tubuh. Tubuh memang untuk Tuhan. Bukan
untuk percabulan.
Penulis:
Dosen dan Peneliti Senior FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.
No comments:
Post a Comment