Setelah kami menuruni lereng perbukitan di Golo Rondong, akhirnya kami tiba di Wae Gulang. Di situ ada jalan setapak agak mendaki ke puncak golo Lando. Hari sudah mulai condong ke barat ketika kami tiba di situ. Angin bertiup terasa dingin sekali. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan dinginnya angin yang bertiup di Ketang. Begitu kami tiba di puncak bukit Lando, Ayahku berkata bahwa kita sudah hampir sampai. Dari Lando saya mengarahkan pandangan mata saya ke arah sebelah kiri. Di sana tampak sebuah kampung. Dan ayah mengatakan bahwa itu adalah beo Lentang. Kami maju terus. Di depan kami ada juga sebuah bukit. Belakangan saya baru tahu namanya, golo Nderu. Di Lando sendiri hanya ada dua tiga buah rumah saja yang letaknya berjauhan satu sama lain. Yang satu rumah terletak di ujung punggung sebuah bukit. Di depan rumah itu ada sebuah kandang yang berukuran besar. Rupanya itu adalah kandang sapi. Memang kandang itu besar sekali, karena sapinya ada banyak. Saya lalu berpikir bahwa mungkin itulah sapi-sapi yang saya lihat tadi merumput dengan tenang di lereng golo Nosot. Seluruh wilayah itu adalah hamparan tanah kosong. Tidak ada kebun. Juga tidak ada rumah.
Setelah melewati golo Nderu, akhirnya kami tiba di sebuah lapangan bola kaki yang berukuran besar sekali. Lapangan itu membentang dari timur ke barat. Di sebelah timur langsung berbatasan dengan lereng bukit yang menurun hingga ke lembah sungai Wae Lelang. Di sebelah barat juga berbatasan dengan tanah menurun yang mengarah menuju ke persawahan Ka. Di sekeliling lapangan itu tidak ada rumah. Masih berupa tanah kosong yang ditumbuhi rerumputan mberong. Istilahnya waktu itu ialah pumpuk. Di salah satu sisi memanjang dari lapangan itu, terletaklah gedung sekolah. Kami sudah hampir jam tiga sore ketika tiba di sana.
Kami harus membuka lewang (palang pintu gerbang) sekolah itu, agar kuda-kuda kami bisa masuk ke dalam halaman (istilahnya kintal) sekolah. Saat kami tiba, kami disambut oleh bapak Kepala Sekolah yang logatnya bagi saya sangat aneh. Belum pernah masuk ke dalam kamus memori saya. Sebagai orang yang lahir di Arus (Lambaleda) saya sedikit merekam ingatan akan dialek orang-orang di sana. Begitu juga dialek orang-orang Ponggeok di Wewo sana. Saya jauh lebih akrab dengan logat Lembor (Wontong) karena kami sering berlibur di sana sejak masa kecil saya. Sedangkan logat ini, terasa asing dan aneh sekali bagi saya. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah logat Kempo, karena sang bapak Kepala Sekolah memang berasal dari Tado (Kempo). Bapak Kepala Sekolah menyambut kami di Ujung barat gedung sekolah itu tepat di dekat pintu gerbang masuk. Bapak KepSek ditemani seorang ibu-ibu. Ternyata itu adalah isterinya, yang juga guru di sekolah Ketang itu. Ibu Guru itu berasal dari Cumbi.
Lalu kami diantarnya ke sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah terletak tidak jauh dari sekolah. Hanya beberapa meter saja dari pintu Lewang tadi. Rumah itu didirikan di atas tanah. Jadi tidak ada kolongnya (ngaung). Aneh sekali rasanya, sebab itulah untuk pertama kalinya saya harus tinggal di sebuah rumah dengan berlantaikan tanah. Rumah itu berdindingkan bambu (sibeng). Beratapkan alang-alang. Sangat sederhana. Sangat kecil juga. Setelah kami masuk, di dalam terasa sangat gelap dan pengap, karena memang tidak ada jendela. Di tempat itulah kami akan tinggal.
Sebelum masuk ke dalam rumah, saya masih sempat menengok lagi ke belakang mencoba melihat jalan yang telah kami lewati. Di kejauhan saya melihat pohon beringin yang ada di kampung Cireng. Perlahan-lahan kampung itu mulai ditutupi dengan awan yang tebal. Lalu saya mengarahkan pandanganku ke arah golo Nosot. Puncak bukit itu ternyata indah sekali. Gundul. Tidak ada pohon-pohon tinggi. Hanya ada rerumputan dan semak belukar perdu. Di lerengnya saya masih bisa melihat kelompok-kelompok kuda dan sapi yang masih berjalan kian kemari, merumput. Seakan-akan puncak bukit itu sedang menunggu saya menolak untuk melihat dan mengaguminya. Sebab tidak lama sesudah itu, puncak bukit tadi dan lerengnya juga mulai ditutupi awan yang sangat tebal. Bahkan awan itu tidak hanya tinggal di gunung. Melainkan sekarang dia seperti berjalan sangat mendekat. Mulai dari arah Tango dan Lembah wae Lelang, akhirnya awan itu menutup seluruh Ketang. Dalam sekejab saya sudah melihat apa-apa lagi.
"Nana, hoo de ngasang ne rewung taki tana."
Saya hanya mengangguk saja mendengar penjelasan ayah saya. Karena sudah terasa dingin, saya pun masuk ke dalam rumah. Langsung duduk di lantai tanah yang dingin sekali. Ada juga beberapa bagian yang berasalkan belahan bambu. Tetapi bagian itu biasanya dimaksudkan untuk orang-orang tua. Saya melihat mama, menjadi orang yang paling sibuk sore hari itu. Dengan segera dia mencari informasi, di mana ada mata air untuk menimba air. Sebab malam itu, kami harus makan dan harus minum. Emakoe yang ikut mengantar kami dari Dempol, dengan segera pergi menimba air untuk memasak makan malam. Malam itu, kami bisa makan malam, walaupun sangat sederhana. Itulah makan kami yang pertama di tempat yang baru.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment