Sunday, May 31, 2020

METODE IBRANI

Oleh: Fransiskus Borgias M Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Judul tulisan saya ini ialah Metode Ibrani. Ya Metode Ibrani, atau dalam Bahasa Inggris disebut Hebrew Method. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah strategi Ibrani atau Hebrew strategy. Apa pun istilahnya, tetapi pertanyaan penting yang harus dijawab ialah apa yang dimaksud dengan ungkapan itu? Untuk memahami arti ungkapan itu, kita harus terlebih dahulu menukik ke dalam Perjanjian Lama, khususnya ke Kitab Keluaran, yang mengisahkan tentang pembebasan orang Israel dari perbudakan Mesir. Yang memimpin gerakan pembebasan itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Exodus atau Keluaran tersebut, ialah Musa/Moses. Menurut apa yang kita baca dalam Kitab Keluaran tersebut tampak beberapa untaian informasi yang penting dan menarik berikut ini. Dikatakan bahwa ketika orang-orang Israel berencana akan meninggalkan tanah Mesir, mereka membawa serta hal-hal yang amat berharga dari tanah Mesir itu, seperti emas, perak, uang, yang kelak akan mereka pakai untuk membangun bait suci di Yerusalem. Tetapi tidak semuanya mereka bawa. Hal itu tidak mungkin juga karena hal itu akan sangat membebani mereka di dalam perjalanan tersebut. Pergerakan mereka akan terhambat oleh beban pikulan atau bawaan yang terlalu banyak. Dan kalau toh mereka akhirnya membawa juga semuanya tentu saja itu adalah tanda serakah. Oleh karena itu, mereka hanya membawa yang penting-penting dan berharga saja. Yang tidak penting, dan yang dianggap akan menjadi beban yang tidak perlu, ditinggalkan saja di Mesir. Jauh di kemudian hari, St.Agustinus secara alegoris-analogis memakai hal atau perbuatan selektif orang-orang Ibrani ini sebagai kriteria atau patokan dan ukuran di dalam menghadapi ajaran-ajaran Filsafat Kafir yang ada di sekitar dia pada waktu itu. Bagi dia filsafat kafir (Yunani kuno) itu seperti harta Mesir yang berlimpah. Tetapi tidak semuanya baik dan berguna. Metode Ibrani pun dipakainya: ambil saja apa yang baik dan berguna. Kata kunci dia adalah uti dan frui, yang berguna dan mendatangkan kebahagiaan. Dengan pegangan ini Agustinus bisa menyeleksi dari khasanah filsafat kafir. Ada hal yang diambil dan dipergunakan sebagai alat bantu untuk merumuskan pelbagai macam ajaran iman (misalnya, ajaran Platonisme dan kelak dalam Neoplatonisme). Ada juga hal yang ditinggalkan dan bahkan sedapat mungkin dijauhi karena dianggap tidak berguna dan mungkin juga berbahaya bagi ajaran iman kristiani (seperti manikeisme, skeptisisme). Dengan itu ia menjadi jembatan emas Kristianitas ke dalam Neoplatonisme yang kemudian hidup terus di dalam Fransiskanisme. Via jembatan emas yang dibangun oleh santo Agustinus itu, maka warisan agung filsafat Yunani masuk ke dalam Kekristenan dan menjadi alat bantu untuk merumuskan pelbagai ajaran iman. Walaupun istilah “philosophia est ancilla theologiae” dikaitkan terutama dengan Thomas Aquinas, tetapi sesungguhnya kesadaran akan hal itu, juga sudah muncul di dalam diri dan praksis berfilsafat dan berteologi dari santo Agustinus itu sendiri. Itulah jasa agung dari santo Agustinus, suatu jasa yang kiranya tidak akan pernah terlupakan hingga sekarang ini. Ajaran Platonisme dan neoplatonisme ini dianggap sebagai hal yang berperan di dalam mengembangkan teologi mistik di dalam Kekristenan itu sendiri, walaupun hal itu jangan terlalu dibesar-besarkan juga, sebab bagaimanapun, tradisi teologi mistik di dalam Kekristenan memiliki tradisi biblis sebagai basis dan landasannya. Adalah teks seperti Kidung Agung dianggap sebagai inspirasi biblis bagi penghayatan hidup mistik. Post-Agustinus, tradisi Platonisme dan Neoplatonisme ini hidup terus dan dirawat oleh karya-karya antara lain dari orang seperti Pseudo-Dionsius pada abad keenam. Dan melalui dia hidup terus selama awal abad pertengahan dan terutama sekali hingga ke jaman puncak keemasan (golden period) dari filsafat skolastik itu sendiri. Hanya kemudian, pada pertengahan abad ketigabelas, pengaruh dari Agustinianisme itu mulai rada menjadi ‘redup’ karena pengaruh dari sepak terjang santo Tomas Aquinas yang kemudian mengganti Neoplatonisme itu dengan Aristotelianisme. Hal ini terjadi, bukan terutama karena orang tidak lagi suka akan Platonisme dan Agustinianisme, melainkan semata-mata karena pada jaman itu ada sebuah semangat baru yang merebak karena perkenalan para pemikir Eropa dengan filsafat Aristoteles. Di tempat lain saya sudah menyinggung bahwa perkenalan dengan Aristoteles ini terjadi berkat jasa para filsuf Yahudi dan Islam di Spanyol. Tetapi ternyata Aristoteles yang diperkenalkan oleh mereka, sudah mengalami semacam amputasi karena mereka berusaha menyesuaikan filsafat itu dengan ajaran agama Yahudi dan Islam. Oleh karena itu, para pemikir Kristiani mencoba menempuh jalan lain yaitu berusaha mengenal secara langsung filsafat Aristoteles itu dari Bahasa aslinya. Nah orang yang sangat berjasa dalam upaya ini ialah William Moerbecke. Orang inilah yang banyak menerjemahkan karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Latin, yang akhirnya bisa dipergunakan dengan sangat baik oleh Thomas Aquinas. Dengan menyebut kedua tokoh ini (Agustinus-Duns Scottus yang dipengaruhi oleh Plato dan Neoplatonisme dan Thomas yang dipengaruhi Aristoteles), saya sesungguhnya sudah menyebut dua tonggak historis yang sangat penting dalam sejarah gereja dan teologi Kristiani. Dengan adanya dua tonggak itu, maka gereja dan para pemikirnya seakan-akan sedang berada di persimpangan jalan dan di sana pada moment itu mereka harus memilih. Agustinus dan tradisi Fransiskan kelak memilih Plato dan Neoplatonisme yang kemudian diteruskan oleh tradisi Fransiskan (dalam diri antara lain orang seperti Bonaventura, dan terutama Yohanes Duns Scottus). Tomas Aquinas memilih Aristotelianisme. Kalau ditinjau dari sebuah sudut pandang yang besar dan menyeluruh, maka kita akhirnya bisa menyadari bahwa sesungguhnya “the turning point” seperti ini terus menerus terjadi di dalam Sejarah gereja dan sejarah teologi itu sendiri. Misalnya, pada abad 20 ini orang mulai menoleh kembali pada Teologi dan filsafat Patristik. Salah satu tokoh filsafat hermeneutic yang terkenal dan besar ialah Paul Ricoeur. Orang ini terkenal dengan beberapa bukunya yang tebal-tebal. Tetapi ternyata sumber ilham dia adalah Agustinus, terutama Confessiones-nya itu. Kini dengan muncul wacana filsafat modern dari orang-orang seperti Derida, Habermas, Foucault, Zizjek, Badiou, Ricoeur, Gadamer, mereka gereja dan para teologi sekali lagi ditantang untuk memilih dan memilih lagi. Di sini saya langsung teringat akan buku Paradigm Shift in Theology dari Hans Kung dan David Tracy itu. Kata mereka, di sepanjang waktu, teologi selalu mengalami pergeseran paradigm. Kini dalam kondisi post-modern ini, gereja juga harus memilih: berdamai dan bersaudara dengan filsafat postmodernisme yang beraroma Parisian itu. Hal itu tidak terhindarkan. Pada suatu saat Karl Rahner pernah berkata dalam salah satu jilid dari Theological Investigations-nya itu, teologi harus menjalin banyak relasi dengan disiplin lain, tidak hanya dengan filsafat saja. Maka dalam situasi dewasa ini, salah satu mitra dialognya ialah postmodernisme ini.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...