Saturday, May 30, 2020

KESENIAN ALAMIAH (NATURAL ATRS)

Oleh: Fransiskus Borgias

Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.

 


Ya, kesenian alamiah. Ini adalah terjemahan dari ungkapan natural arts dalam Bahasa Inggris. Rasanya sudah ada yang memakai istilah itu. Pasti dengan makna dan pemahaman berbeda juga. Tidak apa-apa. Saya memakainya dengan pemahaman dan pemaknaan saya sendiri. Itulah yang ingin saya usahakan dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Apa pun yang orang maksudkan dengan ungkapan itu, inilah makna yang saya maksudkan di sini. Yang saya maksudkan dengan ungkapan itu adalah ini. Alam dengan daya kekuatannya sendiri bisa bergerak dan menggerakkan unsur-unsur di dalam dirinya. Sesudah terjadi pergerakan itu maka akan muncul pola-pola yang indah dan mengagumkan. Terkadang pola-pola itu tidak terduga-duga sama sekali. Nah itulah yang saya maksud dengan natural arts itu (kesenian alamiah). Mungkin penjelasan dan definisi di atas masih terlalu kabur atau belum jelas. Mungkin juga dianggap terlalu abstrak. Nah, untuk membuatnya menjadi jelas dan kongkret, saya akan mendukungnya dengan beberapa contoh. Saya berharap contoh-contoh ini akan bisa menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan istilah itu.

Contoh pertama, air yang meresap ke dalam tanah yang mengandung kapur. Di dalam tanah itu ada gua bawah tanah. Setelah menembus tanah di permukaan akhirnya air tadi merembes dan menetes dari langit-langit gua. Tetapi karena tetes-tetes air itu mengandung kapur, maka lama kelamaan tumbuhlah stalagmite (bawah) dan juga stalagtit (atas). Terkadang dalam jangka waktu yang panjang, stalagtit dan stalagmite itu bertemu dan menyambung, membentuk tiang-tiang eksotis di dalam gua, seakan-akan mereka menyangga langit-langit gua itu agar tidak roboh. Di banyak tempat tiang-tiang itu, baik stalagtit maupun stalagmite dibaluri batu-batu Kristal kemilau indah. Kalau mereka terkena sinar lampur senter, mereka memantulkan pantulan cahaya yang sangat indah dan mengagumkan. Luar biasa. Setidaknya saya sudah melihat hal itu di gua Batu Cermin di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Saya juga pernah melihat hal itu di Liang Woja di beo Golo, Cibal. Juga saya pernah melihatnya di sungai bawah tanah di gua Pindul, Gunung Kidul, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Contoh lain: gundukan pasir di pantai Parang Tritis, Bantul. Di beberapa tempat, pasir pantainya cukup luas sehingga terkesan seperti padang pasir dalam bentuk mini. Angin laut selatan biasanya bertiup kencang. Saat datang angin yang bertiup, maka ia pun menyapu permukaan pasir itu. sapuan angina yang bertiup itu membentuk pola-pola gundukan pasir yang sangat indah. Dan pola-pola itu berubah setiap saat. Proses perubahan permukaan gundukan itu juga sangat indah. Kalau ada yang memfoto gundukan itu, maka foto itu hanya mengabadikan sepersekian detik saja dari totalitas proses pembentukan keindahan alamiah itu, the natural arts tadi. Kalau ada yang bikin video, maka video itu pun juga hanya merekam sepersekian detik saja dari proses dinamis terciptanya keindahan itu.

Lain lagi ceritanya dengan pasir yang terletak di bibir pantai tepat di bagian ombak menghempas lelah secara abadi tetapi tidak pernah bosan-bosan, sebab ia akan kembali lagi, menghempas lagi, tampak terkesan lelah lagi dan kembali lagi. Nah, seluruh proses itu juga ikut membentuk pola-pola pasir di pantai. Pasir itu disapu ombak, dihempas ombak. Ombak kembali. Saat ombak itu surut kembali ke laut, maka terbentuklah pola-pola indah di pasir, sebagai jejak-jejak sapuan air laut yang menghempas. Indah. Wow. Amazing. Kalau yang ini juga difoto ataupun divideo, maka foto dan video itu hanya merekam seperti sekian detik atau menit saja dari proses pembentukan keindahan itu. Alam laut, alam pantai, selalu melukis, selalu mengukir setiap saat. Tiada pernah berhenti. Sungguh mengagumkan bagi jiwa yang mudah terhanyut dalam kontemplasi kosmik.

Contoh lain: abu vulkanik di gunung api. Abu itu, saat diletupkan keluar dari perut bumi di puncak gunung, juga membentuk awan-awan panas yang sangat indah dan mengagumkan, tetapi sekaligus juga sangat mengerikan dan menakutkan, sebuah perpaduan paradoksal antara tremendum dan fascinossum di dalam wacana religious dari Rudolf Otto itu. tidak seberapa lama, debu panas vulkanik tadi turun ke bumi menutup permukaan tanah. Datanglah hujan. Lalu air hujan itu membuat debu tadi mengendap dan mengeras. Proses itu juga menghasilkan endapan-endapan yang sungguh mengagumkan. Indah. Saya bisa melihat hal ini sewaktu mendaki gunung Papandayan di Garut, September 2017 silam. Juga bisa saya lihat saat melihat sisa-sisa endapan debu vulkanik dari muntahan gunung Merapi baik dari Kaliulang, maupun dari arah Muntilan. Endapan-endapan yang sangat indah.

Mungkin contoh berikut ini akan membuat beberapa orang terkejut. Bagi saya, peristiwa tanah longsor juga adalah proses alami dari alam (ibu bumi) itu sendiri untuk membentuk, membenah dirinya sendiri, mempercantik permukaannya. Tidak jarang tanah longsor itu membentuk sebuah pemandangan yang indah walaupun juga sangat mengerikan. Kulit pohon juga sungguh mengagumkan. Tatkala pohon itu masih muda, kulitnya sangat mulus. Tetapi dengan semakin bertambahnya usia, maka kulit pohon itu membentuk pecahan-pecahan dan selaput-selaput yang indah. Bahkan terkadang tumbuh jejamuran juga di sana, jejamuran yang menempel rata di kulit pohon sehingga memberi warna indah tersendiri bagi kulit pohon tersebut. Permukaan bebatuan juga selalu mengalami perubahan karena pelbagai gesekan yang terjadi. Ampas kopi di gelas kopi juga bisa membentuk pola-pola yang indah dan mengagumkan. Terkadang tidak terduga-duga sama sekali.

Kalau kita memandang awan di langit. Lalu ada angin bertiup. Angin itu membentuk pola-pola awan yang indah dan mengagumkan. Luar biasa. Belum lagi kalau kita memandang awan itu dari atas ketinggian sekian ribu kaki saat naik pesawat terbang. Hal itu saya alami tahun 2000. Saat itu, saya mendapat beasiswa untuk belajar teologi di Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda. Untuk itu saya harus terbang ke sana tanggal 16 Agustus 2000. Saya memakai pesawat terbang KLM. Kami menempuh penerbangan selama 17-18 jam. Kami terbang sangat tinggi. Puji Tuhan saya bisa tidur dengan nyenyak. Saya mendapat kursi di dekat jendela di sebelah lambung kanan pesawat itu. Tatkala pagi tiba, saya melihat di kaca monitor bahwa kami terbang di angkasa Eropa Timur. Saya mendongak keluar. Luar biasa indah. Matahari pagi pancarkan sinar paginya yang amat silau menyinari awan tebal menggumpal. Oh Praise the Lord. How great Thou art. How great Thou art. Itupun adalah seni alamiah.

Itulah sekadar beberapa contoh. Memang alam ini adalah seniman agung yang dinamis dan terus bergerak dan melukis. Ia mencipta pola-pola dan bentuk-bentuk unik yang indah. Ajaib. Mengagumkan. Alam, selalu dalam proses mencipta karya seninya sendiri. Bahkan termasuk “memproses” umat manusia itu.

 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...