Tuesday, May 5, 2020

BELAJAR HIKMAT HIDUP DARI NICOLAUS CUSANUS

Oleh: Fransiskus Borgias.



Coincidentia Oppositorum adalah gagasan filosofis yang indah dan menarik. Istilah itu adalah pokok pemikiran filosofis dan teologis dari seorang tokoh abad pertengahan yang bernama Nikolaus dari Cusa (Nicolaus Cusanus). Sepintas, orang mudah berkesan bahwa itu adalah gagasan filosofis abstrak dan spekulatif dan mungkin mengawang-awang di angkasa pemikiran yang tinggi. Tetapi sesungguhnya itu bukanlah gagasan filosofis abstrak-spekulatif. Sebaliknya itu adalah realitas yang nyata, dan kongkret.

Apa arti istilah asing itu? Istilah itu berasal dari bahasa Latin. Mungkin ada orang lain yang menerjemahkannya dengan cara tertentu. Tetapi saya punya terjemahan yang harfiah sbb: Berada secara bersama-samanya (serentak, coincidentia) hal-hal yang sebenarnya saling bertentangan satu sama lain (oppositorum). Itulah kemungkinan terjemahan pertama. Atau kemungkinan kedua, terjadinya secara bersama (coincidentia) hal-hal yang saling bertentangan satu sama lain (oppositorum). Jadi, realitas yang dilukiskan adalah sesuatu yang bersifat paradoksal sekali: hal-hal yang saling bertentangan (oppositorum) berada atau terjadi serentak, terjadi secara bersama-sama (coincidentia). Kalau mau jujur sebenarnya realitas paradoks seperti ini sulit dibayangkan. Tetapi hal itu sungguh-sungguh terjadi, bisa menjadi sebuah objek pengalaman dan pengamatan manusia. Adalah Nicolaus Cusanus orang yang pertama kali memakai istilah itu sebagai sebuah terminologi filsafat-teologi.

Apa arti ungkapan ini bagi dia? Bagi Nikolaus Cusanus apa yang ada di balik ungkapan ini adalah sebuah pengalaman rohani, sebuah pengalaman berjarak (pengalaman distansiasi). Bisa juga disebut pengalaman ekstase, atau pengalaman transenden. Jadi, dengan demikian ini bukan sekadar gagasan filosofis belaka, melainkan sebuah pengalaman rohani yang teramat kongkret.

Tetapi pertanyaan sekarang ialah: Di mana dan kapan ia mengalami pengalaman rohani seperti ini? Pengalaman itu dapat dikisahkan dalam uraian atau kisah berikut ini. Sejak abad 11 (persisnya pada tahun 1054) Gereja Katolik terbelah menjadi dua yaitu Gereja Katolik Barat atau Roma dan Gereja Katolik Timur atau Yunani (kemudian dikenal dengan sebutan Katolik Ortodox). Hal itu terjadi setelah melewati beberapa abad pertikaian dan kesalah-pahaman timbal-balik antara Timur dan Barat. Tentu saja ada banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya perpecahan itu. Ada faktor politik; di timur kekuasaan semakin terpusatkan pada sosok Kaisar yang berkedudukan di KOnstantinopel. Memang ada Patriarch Konstantinopel, tetapi kekuasaan dia hanya terbatas pada kuasa-kuasa kegerejaan saja. Sebaliknya di Barat, Roma menempuh dan mengalami perkembangan tersendiri. Paus mendapat kedudukan, posisi dan peranan yang sangat penting. Kalau di Timur gereja menyibukkan diri dengan upaya agar tetap bisa survive dari ancaman dan kepungan Islam yang sangat agresif, maka di Barat, gereja (Paus) sibuk dengan upaya mengkristenkan dunia Eropa Utara dan Barat yang cukup lama masih kafir itu. Maka hubungan diplomasi gereja Roma terlebih membangun koordinasi di dalam dunia Barat itu sendiri. Dengan akibat bahwa muncul kesan dan salah paham bahwa gereja Roma seperti tidak menaruh peduli pada nasib dan apa yang terjadi dengan gereja Timur.

Tetapi selain factor politik di atas tadi, sesungguhnya menurut saya yang lebih dominan ialah faktor teologis yang nyerempet dan tercampur dengan factor-faktor kultural. Di dalam ranah teologis ini misalnya, ada kontroversi ikonoklasme yang panas dan berkepanjangan itu, ada juga kontroversi filioque (yang kiranya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut di sini). Apapun factor itu, yang jelas ialah bahwa setelah drama tragis perpecahan tersebut terjadi, maka muncul juga pelbagai upaya untuk mencari jalan menuju rekonsiliasi. Hal itu terjadi dari kedua belah pihak. Salah satu upaya ke arah itu terjadi pada abad kelimabelas (pada abad ketigabelas juga terjadi upaya rekonsilisi di Konsili Lyon 1274 yang dihadiri Tomas dan Bonaventura, tetapi Tomas batal karena ia wafat) dan salah satu tokoh teolog yang berperan ke arah itu ialah Nicolaus Cusanus. Konon bersama rombongan dari Roma ia ke Constantinopel untuk membahas peluang rekonsiliasi antara Roma dan Gereja Timur. Rupanya pada saat itu, rekonsiliasi tidak berhasil sehingga rombongan itu pun pulang lagi ke Roma.

Dalam perjalanan pulang dari Constantinopel itulah, Nikolaus naik di atas geladak kapal dari pelabuhan Konstantinopel menuju ke Roma. Ketika kapal itu masih merapat di dermaga, ia melihat amat banyak hal yang mencolok, menonjol, bahkan sangat bertentangan satu sama lain. Warna, bentuk, ukuran, ketinggian, kedalaman, dll. Semua seolah-olah berlomba menegaskan eksistensi dirinya masing-masing. Terkesan serba hiruk-pikuk. Tetapi sekaligus amat indah, menarik, dan juga mengesankan. Tetapi ketika kapal itu mulai menjauh dari pantai, semua yang tadi menonjol dan mendesak, kini menghablur, melebur dalam sebuah harmoni realitas. Dalam harmoni ini, hal-hal yang tadinya berbeda dan bertentangan kini serentak berada bersama (co) membangun sebuah simetri harmoni artistik. Itu hanya mungkin dalam sebuah peristiwa distansiasi, sebuah proses menjarak, dan berjarak. Dalam proses distansiasi itu ada dan terciptalah makna. Distansiasi memang menciptakan atau mengkonstruksi makna, kata Ricoeur (kiranya juga diilhami terlebih dahulu oleh Gadamer). Itulah pengalaman rohani yang disebut coincidentia oppositorum itu. Itulah ilustrasi pertama untuk memudahkan pemahaman kita akan gagasan tersebut.

Ilustrasi kedua dapat digambarkan sebagai berikut. Bayangkan seorang ibu yang akan melahirkan anak. Pada saat yang satu dan sama ia mengalami rasa sakit yang ngeri. Tetapi serentak ia sadar sesudah sakit ini akan ada kehidupan baru. Pada saat sakit ia bergulat dengan maut, tetapi hal itu amat perlu untuk menghantar hidup baru. Paradoks sekali. Hal-hal bertentangan (oppositorum) serentak berada dan terjadi secara bersama-sama pada saat dan tempat yang sama. Anehnya lagi coincidentia itulah yang bisa menghasilkan makna. Ini tidak mudah. Maka jangan menolak conincidentia oppositorum ini. Jangan menolak perbedaan. Sebab perbedaan itu bisa juga memaknai dan menghasilkan makna hidup yang baru.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...