Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti FAKULTAS FILSAFAT UNPAR, Bandung.
Pada tahun 1986-1987 merupakan tahun paling sulit dan berat dalam hidup saya sebagai seorang mahasiswa. Sebab pada kedua tahun itu kami, setidaknya itulah yang saya alami, harus menulis dua skripsi. Yang pertama, skripsi untuk BA Filsafat yang harus saya selesaikan dan serahkan di STF Driyarkara Jakarta. Pada saat itu, saya masih ingat dengan sangat baik, saya dibimbing oleh Pater Alex Lanur OFM. Saya menulis sebuah skripsi kecil dan sederhana dengan judul Ateisme dan Pembebasan. Walaupun itu sebuah skripsi yang kecil dan sederhana, tetapi tetap memerlukan dan mengerahkan energy dan pemikiran yang tidak sedikit, karena harus membaca beberapa buku, harus berdialog dalam proses pembimbingan dengan dosen pembimbing. Bahkan sempat saya hampir batalkan judul itu karena dikritik keras oleh pater Vicente yang saat itu menjadi pemimpin kami di biara Fransiskus Kramat. “Tema itu tidak cocok dengan hidup rohani”, begitu kata pater Vicente kepada saya memberi alasan. Saya mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa topik itu sangat saya sukai. Tetapi ya, akhirnya, dengan bantuan pater Alex, saya boleh meneruskan menulis skripsi dengan tema itu. Belum lagi harus berjuang mengantre agar mendapat giliran mesin tik.
Terpaksa harus mengetik di malam hari agar tidak diganggu oleh teman lain yang juga membutuhkan jasa mesin tik itu. Tetapi masalahnya kalau ketik di malam hari, maka suara mesin tik itu akan terasa semakin nyaring di tengah kesunyian malam hari. Tetapi saya tidak pernah kehabisan akal. Biarpun ada cerita serem tentang ruang perpustakaan di biara Fransiskus di Kramat saya tidak takut. Dengan bekal sebungkus rokok gudang garam merah, saya melewatkan malam di sana. Untuk meredam bunyi mesin ketik, maka mesin ketik pun saya alas dengan bantal yang tebal. Bantal itu membantu meredam bunyi mesin tik sehingga tidak mengganggu teman-teman yang lain yang sedang tidur dan mungkin juga sedang bermimpi.
Setelah skripsi selesai saya serahkan ke tata usaha di STF. Dengan itu maka kami pun bisa mengikuti ujian. Puji Tuhan, saya lulus. Setelah tamat dari STF kami pindah ke Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Setelah mulai kuliah di sana, ternyata lagi-lagi kami semua diminta untuk menulis skripsi lagi sebagai syarat agar bisa pergi menjalankan Tahun Orientasi Pastoral. Nanti setelah selesai dan pulang dari program TOP kami bisa naik langsung ke persiapan untuk pendadaran Bachaloreat teologi. Mendengar cerita dan kesaksian para senior, serem rasanya mendengar dan membayangkan ujian pendadaran Bachaloreat teologi. Oleh karena itu kami sering memplesetkanya menjadi Bakalruwet teologi, teologi bakalruwet. Hehehehehe…. Dan memang dalam faktanya banyak juga teman yang pusing dan bingung karena keruwetan itu.
Nah pada saat akan menulis skripsi itu saya meminta Pater Cletus Groenen untuk menjadi pendamping dan pembimbing skripsi saya. Dan puji Tuhan, dia menyetujuinya. Judul skripsi saya itu ialah Praksis Perdamaian Fransiskus Asisi. Sebelumnya saya mengajukan judul Konsep Perdamaian Fransiskus Asisi. Tetapi Pater Groenen mengkritik judul itu. Menurut dia bahwa yang bisa kita telusuri hanya praksis hidup, bukan konsep. Praksis itu empiris. Konsep itu teoretikus. Dan Fransiskus bukan homo theoreticus. Kita berharap agar moga-moga via praksis, dengan menelusuri praksis akhirnya nanti kita bisa mencapai sebuah konsep, sebuah gagasan. Tidak terbalik. Akhirnya saya menerima saja pandangan beliau sebagai pembimbing. Tidak boleh membangkang dari awal. Hehehehe…. Nanti repot. Walaupun dalam hati saya ingin sekali mendebat beliau dengan mengatakan bahwa konsep yang ingin saya cari juga via penelusuran praksis hidup kok pater. Tetapi sudahlah. Saya diam saja. Daripada dia nanti ngambek, dan tidak mau lagi menjadi pembimbing saya. Eh ngambek. Belum pernah dengar sih cerita tentang itu.
Nah, di dalam proses diskusi dan bimbingan itulah saya mengalami sangat banyak kesulitan yang tidak mudah. Kesulitan yang paling sering saya alami ialah bahwa saya tidak mudah membaca tulisan tangan Pater Cletus. Ia menulis dengan cepat-cepat sehingga ada banyak huruf yang sudah tidak bisa dibaca lagi. Biasanya pater Cletus catatan koreksi dan catatan kritik yang panjang. Terima kasih untuk hal itu, sehingga saya bisa maju di dalam studi dan penelitian saya. Luar biasa membantu dan memperkaya saya. Catatan-catatan beliau membantu memperdalam eksplorasi saya.
Saya berpikir, daripada saya terus menerus mengganggu dia untuk tanyakan ini dan itu terkait dengan skripsi saya ini, maka saya memutuskan untuk mencoba menerka apa yang ia maksud dengan bentuk huruf-huruf tertentu. Kalau sudah ketemu cara baca yang kiranya saya anggap tepat, maka biasanya saya memberi koreksi atas tulisan tangan beliau lalu saya rekonstruksi ulang catatan kritis dia pada kertas lepas tersendiri. Ya, saya berusaha menerka dan menebak apa yang ia maksud dengan bentuk huruf-huruf tertentu. Saya harus mengakui bahwa hal itu sama sekali tidak mudah.
Dalam saat-saat seperti itu saya membayangkan seorang Bapa Tua yang membantu mengetikkan naskah-naskah tulisan tangan pater Groenen. Kalau bapa tua yang tinggal di mBener, Pingit itu tidak bisa membaca tulisan tangan pater Gronen, maka dia pasti mencoba menerka saja apa yang pater maksudkan. Sebab tidak mungkin bapa tua itu datang tiap hari untuk mengkonfirmasi huruf-huruf tertentu dengan bersepeda dari mBener. Maka langkah “menebak dan menerka” seperti itulah yang saya lakukan. Saya mencoba menerka dari pola huruf dan gerak tangannya. Dan puji Tuhan dalam cukup banyak kasus rasanya saya berhasil membaca atau menebak tulisan tangan dia.
Tetapi pada suatu hari saya menemukan sebuah catatan-catatan yang benar-benar kabur. Saya tidak bisa baca sama sekali. Saya benar-benar bingung. Berulang-ulang kali saya mencoba menerka dengan cara membandingkan dengan huruf-huruf dari bagian-bagian lain dari catatan-catatan dia, tetapi tetap saja tidak bisa. Maka tidak ada jalan dan cara lain. Selain harus datang ke kamar beliau, mengganggu kontemplasi dia di dalam buku-buku. Ya, akhirnya saya datang dengan berani mengetuk pintu kamarnya. Setelah masuk, saya sodorkan kepada dia: “Bagaimana bacanya tulisan yang ini Pater?” Saya menunjuk pada bagian tertentu. Dia mengambil kacamatanya dan mencoba membaca tulisan tangannya sendiri.
Jidatnya mengernyit. Tetapi ia berusaha. Akhirnya: “Ah Frans, saya juga tidak bisa baca lagi saya tulis apa ini?” Dia pun tertawa terbahak-bahak. Saya juga ikut tertawa. “Tetapi sekarang kamu tulis ya. Ini yang saya maksudkan dengan catatan di bagian ini.” Lalu ia diktekan. “Begitu.” Katanya setelah selesai. Saya lega. Lalu saya kembali ke kamarku. Ya hermeneutika imajinasi amat perlu. Bapa tua itu punya hal itu.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
1 comment:
LUPA SUKA
LUPA
Melalui tulisan AKU TERKENANG GROENEN, seorang mantan murid mengenang gurunya. Saya kira, bukan sosok fisiknya yang dikenang, melainkan pribadi sang guru yang mengesankan. Sengaja atau tidak sengaja sang guru telah mengajarkan KEULETAN kepada muridnya.
Kehebatan lainnya, Pater Cletus Groenen memberikan contoh tentang keterbukaan. Beliau terbuka atas KELUPAANNYA. Beliau tidak ingat lagi apa yang dicatatkannya sendiri. Sementara itu, murid ulet yang mau maju dengan sabar mencatat bahan diktean sang guru.
Soal lupa adalah soal manusiawi. Soal lupa perlu mendapat perhatian guru, terutama dalam menilai bahan ujian murid. Lupa dalam psikologi pengajaran perlu disadari guru dan murid. Murid bisa lupa dan guru pun bisa lupa.
SUKA
Alasan kesukaan dalam penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) merupakan alasan subjektif. Subjektivitas yang diungkapkan seorang peneliti (mahasiswa dan dosen) tentu dasarnya bahwa seorang peneliti menguasai topik/masalah yang akan ditelitinya. Penguasaannya menjadi daya tarik untuk melakukan penelitian dengan semangat penuh.
Dalam ilmu sosial termasuk linguistik, kesukaan merupakan perspektif, matra, sudut pandang. Ilmu sosial adalah ilmu sudut pandang, ko coon Kraeng Frans yang menguasai filsafat ilmu. Hanya saja, sudut pandang yang tidak beralasan (tidak logis) tentu harus dicermati kembali oleh calon peneliti dan bila perlu ditolak oleh pembimbing.
LUPA SUKA?
Jangan sampai terus-menerus SUKA LUPA untuk mengaburkan kekurangan diri sendiri entah murid maupun guru. Khusus untuk murid (siswa, mahasiswa), salah satu kiat belajar sukses adalah TIDAK LUPA SUKA orang yang menjadi guru Anda. Jika menyukai ORANGNYA secara dualistis (baik dan buruknya), Anda akan tertarik pada bahan pelajaran plus metodenya. Semoga!
Ruteng, 11 Mei 2020
Kanis Barung
Post a Comment