Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR, Bandung.
Saya langsung mulai dengan untaian kegiatan hari itu, mendengarkan ceramah, dengan ketiga teman, dan CG. Letih. Tetapi saya berusaha menyimak semua yang disampaikan Pater. Untung tidak lama. Setengah jam. Lalu kami hening. Saya ke kamar, melepaskan rasa kantuk karena hampir semalaman tidak bisa tidur. Untung saya bisa tidur cukup sepuluh menit sehingga terbangun lagi agar dapat mengikuti sesi selanjutnya.
Ternyata skema ret-ret CG ialah mengikuti alur hidup manusia: masa kecil (kanak-kanak), masa remaja, sebagai pemuda, kemudian masa orang dewasa penuh, dan akhirnya masa tua, dan menyiapkan diri menyongsong kematian. Hidup manusia dibentangkan dalam untaian ceramah selama sebulan. Ada juga kegiatan lain. Minggu kedua itu kami dihidangkan renungan tentang masa muda, rentang duapuluhan sampai tigapuluhan, masa-masa kami saat itu. Pada usia itu hidup terasa penuh gairah, penuh semangat. Punya cita-cita tinggi, semangat menggebu-gebu, juga termasuk gairah seksual. Banyak pikiran dan gagasan cemerlang. Banyak rencana yang ingin diwujudkan. Semua ingin serba tergesa-gesa. Benturan dengan orang tua biasanya muncul di sini, karena anak muda biasanya ingin cepat dan gesit sementara orang tua mulai lamban gerak dan pikir. Drama gap generation. Sangat biasa. Alamiah.
Saat istirahat, dalam suasana hening, silentium strictum, saya duduk sendiri di sudut taman rumah ret-ret itu. Mencoba mendengarkan bunyi burung di tebing pinggir kali. Juga bunyi dedaunan bergesek karena dibuai bayu siang. Sesekali terdengar orang kampung berteriak dari kali di bawah sana. Di lereng kali di sebelah sana, saya melihat lelaki tua menuruni lereng itu menuju kali. Susah sekali ia berjalan.
Tiba-tiba saat itu, saya teringat akan tulisan CG dalam majalah bulanan Rohani, November 1988, yang baru terbit. Saya sudah membaca salah satu karangan di dalamnya. Saya tertarik karena beberapa artikel utama dalam edisi itu berbicara tentang hari tua.
CG juga omong tentang hari tua. Dan yang paling kuat dalam ingatan saya ialah penutup artikel itu. Di sana CG mengutip refleksi si filsuf ataupun teolog skeptis (maaf kalau saya menyebutnya begitu, walau saya yakin dia juga adalah orang yang percaya, tetapi karena beberapa kalimat di dalam kitabnya, maka saya berani menyebut dia skeptis, segala sesuatu adalah sia-sia, demikian bunyi refrain terkenal dalam kitabnya), Pengkotbah itu. Ia mulai dengan Memento creatoris, seruan kepada orang muda agar ingat akan Pencipta pada masa mudamu. Dia serukan hal ini jangan sampai orang muda, dalam gairah kemudaannya lupa diri, lupa dunia, dan mungkin juga lupa Tuhan. Mumpung masih muda, penuh gairah, jangan lupa Tuhan sang Pencipta. Bijaksana sekali.
Kalimat selanjutnya menjadi sangat pedih dan tragis bagi saya. Mengapa orang muda harus ingat akan Pencipta? Ya, sebagai persiapan untuk menyongsong hari-harimu kelak. Yaitu hari-hari yang ditandai dengan hal-hal menyedihkan. Berikut ini saya daftarkan hal-hal itu:
“…sebelum tiba hari-hari yang malang
dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan:
"Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”,
sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap,
dan awan-awan datang kembali sesudah hujan,
pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar,
dan orang-orang kuat membungkuk,
dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya,
dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur,
dan pintu-pintu di tepi jalan tertutup,
dan bunyi penggilingan menjadi lemah,
dan suara menjadi seperti kicauan burung,
dan semua penyanyi perempuan tunduk,
juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan,
pohon badam berbunga,
belalang menyeret dirinya dengan susah payah
dan nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi –
karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal
dan peratap-peratap berkeliaran di jalan,
sebelum rantai perak diputuskan dan pelita emas dipecahkan,
sebelum tempayan dihancurkan dekat mata air
dan roda timba dirusakkan di atas sumur,
dan debu kembali menjadi tanah seperti semula
dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” (Pkth.12:1-7).
Bagian akhir ini lagi-lagi sebuah memento creatoris, ingat akan titik awal saat daya hidup diberikan. Si Pengkotbah teringat akan kisah penciptaan pada awal dalam Kejadian, di mana Tuhan menghembuskan rohNya maka tanah liat itupun hidup (Kej 2:5-7). Tetapi di bagian tengah penuh dengan memento mori. Memento mori, dibingkai memento creatoris di awal dan akhir. Indah sekali refleksi filsuf ini. Ia ingin agar memento mori itu tidak terlalu menjadi beban. Berbeda dengan ritual Rabu Abu, “kau berasal dari debu dan akan kembali menjadi abu,” Si Pengkotbah mengingatkan kita, “kau berasal dari sang Pencipta dan akan kembali kepada sang Pencipta.”
Waktu itu saya tidak banyak tahu tentang makna kata-kata itu. Tetapi keindahan sebuah puisi hanya bisa dirasakan tidak usah harus dimengerti. Dalam keindahan yang bisa saya rasakan itu saya yakin pasti ada makna walau tidak selalu mudah disingkapkan. Ingin sekali saya ke kamar CG untuk menanyakan arti kata-kata itu, tetapi kini saya rada takut karena melihat wajahnya tadi pagi saat saya baru tiba. Saat saya melihat kakek tua di lereng kali itu, saya teringat akan gerak dramatis belalang itu, yang menyeret dirinya dengan susah payah.
Saya juga ingat bahwa CG menulis karangan itu selain untuk pembaca umum juga terutama ingin menyapa para pembaca dari kalangan biarawan-biarawati. Apa yang akan kau lakukan tatkala semua itu tiba? Saat tatapan mata sudah tidak maksimal lagi, sehingga cahaya matahari yang sebenarnya masih cerah, tetapi karena matamu yang tua sudah rabun, lalu kecerlangan mentari menjadi suram? Apa yang akan kau lakukan wahai biarawan-biarawati ketika “bunyi penggilingan semakin melemah karena perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya?” Saya pernah mengintip sebuah buku tafsir tentang ayat-ayat dramatis ini. Ternyata perempuan-perempuan penggiling itu adalah metafora untuk gigi. Ya tatkala semakin tua, jumlah gigi semakin berkurang dan karena berkurang maka aktifitas menggiling yaitu mengunyah mulai berkurang bahkan juga berhenti. Ah dramatis sekali. Tragis. Pada saat seperti itu, nafsu makan tidak dapat dibangkitkan lagi.
CG, di dalam artikel itu benar-benar mengantar para pembaca untuk benar-benar serius memikirkan hari-hari itu. Jangan sampai terkejut. Karena suka ataupun tidak suka, hari-hari itu akan datang. Hari Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam. Kita sama sekali tidak bisa menduganya apalagi menundanya. Ya, tempus Dei bukanlah tempus homini. Camkan itu.
Ret-ret pribadiku di pinggir tebing kali yang dipagari tembok itu tiba-tiba terputus dan berakhir karena mendengar bunyi lonceng kecil. Itulah tanda kami harus makan siang. Saya berdiri dengan mencoba meyakinkan bahwa saya masih muda. Tetapi walaupun masih muda, jangan lupa akan Tuhan. Hendaklah Memento creatoris sebelum memento mori. Sebuah kearifan hidup.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment