Di dekat pastorannya, ada sebuah bukit batu karang yang kersang. Ada semak belukar yang mencoba bertahan hidup di dalam kekersangan di atas bukit karang itu. Ada gua-gua bebatuan kasar. Di sana pastor tua ini sering menghabiskan waktu senjanya dalam ketenangan mencari keheningan jiwa, keheningan hati sanubari. Di sana ia sering mengadakan perjalanan jiwa menuju ke keheningan bengawan jati diri, perjalanan jiwa kepada Allah, itinerarium mentis in Deum. Ada saat-saat di mana hatinya dilanda asap kabut keharuan dan kebingungan, kegelisahan dan kecemasan. Ada juga saat-saat di mana hatinya mengalami kecerahan. Di sana ia mencoba menembus awan-gemawan ketidak-tahuan menuju keheningan di seberang alam antah-berantah. Suasana gunung batu yang tenang itu memang sangat membantu dia.
Tetapi justru di dalam keheningan itulah, manusia semakin nyata berperang dalam dan dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya manusia itu senantiasa berperang dengan dan dalam dirinya sendiri. Dalam keheningan, peperangan itu memprahara dan tiada jarang melahirkan sejuta petaka hitam. Perang adalah pertama-tama dan terutama perang dalam dan dengan diri sendiri. Perang dengan orang lain adalah dan hanyalah eksternalisasi (objektivikasi) perang dalam dan dengan diri sendiri. Perang dengan orang lain muncul manakala orang gagal mengatasi perang dengan dan dalam dirinya sendiri. Orang yang berhasil mengatasi perang dengan dan dalam diri sendiri, tiada akan pernah berperang dengan orang lain.
*****
Pada suatu senja. Di bukit itu. Matahari telah merayap di punggung bukit di ufuk barat. Rona merah telah melaburi seluruh semesta senjakala. Pesona abdi sang mentari bersama layar langit panggung semesta. Pastor tua memejamkan matanya untuk terbang melayang-layang menuju ke bengawan jati diri, terbang melampaui segala hiruk-pikuk gelora kehidupan ini. Dalam pejaman itu dilihatnya dan ditemukannya sebuah cermin dalam lubuk sanubarinya sendiri. Cermin itu begitu bening bagai tiada lagi cermin di sana. Dalam awang-awang kebeningan itu terpantul realitas secara sempurna tanpa cacat cela. Cermin itu menjadi bagaikan tonggak pedoman arah penuntun langkah baginya.
Tiba-tiba kabut yang berembun basah hinggap melekat pada permukaan cermin itu. Lalu pastor tua itu tersesat dalam kebingungan mencari dan mencari. Bahkan meraba-raba tidak tentu arah. Pastor tua itu menyadari bahwa perjalanan menuju keheningan bengawan jati diri, terasa sangat berat; ada selaksa prahara membadai, ada sejuta titian kerancuan menghadang. Tetapi untunglah ia bisa sampai pada keyakinan ini – dan itu untuk kesekian kalinya dalam tualangnya selama ini – bahwa keheningan itu adalah suatu harta yang sangat rapuh, yang senantiasa harus dicari dan dicari kembali dalam semak-semak belukar onak duri, setelah menghilang pergi bersama kabut uapan embun pagi.
Malam pun bertambah larut. Malam sejuta bayang lintang-pukang kisah petualangan pastor tua itu. Menjelang pagi ia pun berdoa, menuturkan segala kebingungan dan ketidak-tahuan pada Sang “Serba Jawaban Abadi” yang sekaligus merupakan “Sang Teka-teki Abadi” juga.
Katanya begini: “Semalam aku berjalan menembusi kekelaman malam, dalam perjalanan menuju ke bengawan mimpi-mimpi. Derap langkahku bahkan bisa sampai kudengar sendiri memecah keheningan malam. Di sisiku terdengar juga derap langkah mengiringi derap langkahku. Apakah itu gema? Apakah keheningan malam bisa memantulkan gema? Aku ragu dengan hal ini. Yang jelas ini bukan gema. Ini benar-benar derap langkah dari “Seseorang” dari alam seberang antah-berantah, mengiringi derap langkahku dari dalam kabut ketidak-tahuan.
Akupun sejenak berhenti dan bertanya:
“Siapakah kau itu, yang mengalir dan berjalan dalam kekelaman?”
Dan dari balik dinding kekelaman samar-samar kudengar ia menjawab dalam tutur bagai guntur,
“Ya, aku adalah aku yang ada.”
Kemudian ada sunyi lagi. Akupun mulai berjalan lagi. Dan ternyata dia itu juga mulai berjalan lagi. Sama-sama mencoba menembus kekelaman malam. Tetapi kini ia tiada lagi di sisiku, tetapi seolah-olah membuntuti aku.
Akupun bertanya lagi sembari melangkahkan kaki,
“Siapakah kau? Mengapa membuntuti aku?”
Dan dari dalam dinding-dinding kekelaman kamar-kamar kehidupoan, terdengar jawaban bagai gemburuh angina topan,
“Aku adalah kecemasan.” Kemudian lalu ada sunyi lagi.
Aku pun mulai berjalan lagi. Dia juga ternyata mulai berjalan lagi seolah-olah sekarang ia berjalan di depan aku, mendahului aku. Sama-sama dalam kekelaman malam.
“Siapakah kau?” tanyaku.
Dari dalam dinding-dinding kekelaman malam kamar-kamar kehidupan, terdengar jawaban teruntai bagai tembang-tembang serunai,
“Aku adalah kegembiraan!”
Lalu ada sunyi lagi. Dan aku pun berjalan lagi. Dia pun berjalan lagi. Sama-sama dalam kekelaman rongga-rongga malam hitam.
“Siapakah kau?” tanyaku lagi.
Dari dalam dinding-dinding kekelaman malam kamar-kamar kehidupan, terdengar jawaban membelai bagai nyiur melambai-lambai di tepi pantai keabadian,
“Aku adalah harapan!” Lalu ada sunyi lagi.
Aku berjalan lagi. Dia pun mulai berjalan lagi. Sama-sama dalam gulita. Gemanya kini terdengar lebih deras menggedor-gedor dinding-dinding kesunyian malam.
“Siapakah kau? Tanyaku.
“Aku adalah ketakutan dan keputus-asaan!” terdengar jawaban terlontar bagai topan dari lobagn empat penjuru bumi semesta.
Dialog itu berlangsung hingga pagi hari. Pribadi di dalam kekelaman itu berturut-turut menyebut dan memperkenalkan dirinya sebagai kebingungan, ketidak-tahuan, ketamakan, nafsu, keserakahan, pengendalian diri, sopan-santun, kerendahan hati, dan sejuta keutamaan dan selaksa ketamakan. Pribadi di dalam kabut kelam pagi itu adalah pribadi sejuta nama diri, yang masing-masing berjuang untuk menang dalam dan di atas manusia-manusia.
*****
Menjelang pagi, ayampun berkokok tiga kali. Aku masih juga berjalan dan berjalan. Ia masih juga berjalan dan berjalan. Sama-sama dalam gelap gulita.
“Mengapa kau masih juga berjalan dan berjalan?” tanyaku lagi karena akuj tidak tahan juga.
Dia menjawab, “Hemmmmm…… sesungguhnya aku adalah sejuta bayang angan-angan dari dirimu sendiri yang tiada terlihat dan terdengar olehmu, tiada dapat terlepas darimu laksana bayang-bayang hitam di kakimu di kala siang; aku menyertaimu dalam ziarah menuju keheningan bengawan jati diri, demi pemurnianmu, demi pematanganmu, agar kau laik berjumpa dengan sang keheningan Abadi dalam ingatanmu yang sunyi.
Maka marilah kita berjalan lagi, tanpa bertanya, tanpa mengumpat, tanpa mencaci maki, sebab akan tiba saatnya kau akan sendirian melayang-layang terbang di dalam keabadiaan, meninggalkan sejuta bayang-bayangmu yang kini bergelora menyertaimu; dan kami akan kembali ke bumi menyertai ziarah-ziarah baru menuju ke keheningan bengawan jati diri, menuju istana di alam ketidak-tahuan, alam antah berantah, di seberang tatapan netra.
Ketahuilah, ada orang yang tiada mengikuti dirinya sendiri di dalam ziarah kehidupan ini, melainkan mengikuti kami sejuta bayang-bayangnya, menuju ke lembah ngarai keterampasan dan keterhempasan; dan terjerembablah mereka dalam jurang putus asa abadi. Di ada ada kegelapan, ada ratap tangis dan kertak gigi. Tumbuh sejuta dendam mengutuk diri sendiri. Tetapi ada keengganan menyiksa diri sendiri. Ada yang mencoba berusaha bangkit, tetapi mengulangi kembali alur-alur yang sama menuju tubir-tubir kekelaman yang tiada terperikan lagi.
*****
Sinar pagipun masuk ke mulut gua tempat sang pastor tua itu bersemadi. Ia bangun dan keluar ke mulut gua itu. Di sana sinar pagi menyilaukan matanya. Sempat terucap doa ini dibibirnya,
“Tuhan, di manakah aku? Di tubir gelapkah? Sedang melayang-layangkah aku dalam alam keabadian bengawan jagti diri?” Lalu ada sunyi.
Dari lembah sungai di kaki bukit, terdengar kicauan murai menyalami fajar pagi. Indah sekali. Kicauan itu dirasakannya bagai sejuta pujian, lagu kemenangan bagi dirinya dalam petualangannya. Pastor tua itu tersenyum, untuk memulai kembali petualangannya, petualangan yang baru, sebab keheningan adalah harta rapuh, yang senantiasa harus dicari kembali dalam semak belukar onak duri, setelah kabut berembun basah memudarinya dalam pagi dingin musim-musim kemarau nan teramat panjang.
Parangtritis Yogyakarta Selatan, 31 Juli 1989.
Fransiskus Borgias M.
No comments:
Post a Comment