Monday, September 22, 2008

Antara Cinta dan Pelayanan

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Menjelang akhir tahun 80-an, saya membaca sebuah buku. Buku ini merupakan hasil karya seorang pengarang Perancis yang kenamaan yaitu Andre Gide. Judulnya, Simfoni Pastoral. Buku ini ditulis dalam bentuk sebuah buku harian, sebagai catatan pribadi seorang pendeta dalam pergumulan dan pergulatan karya pelayanan pastoralnya. Buku ini sekaligus juga merupakan semacam “pengakuan” seorang pendeta yang mengalami kebingungan akibat suatu konflik batin yang mendua. Oleh karena itu, tema buku ini adalah kemenduaan hati atau hati yang mendua: antara cinta akan isteri yang sah dan cinta lain yang bersemi di dalam karya pelayanan pastoral. Semacam gejala “Torn between to lovers.” Kalimat ini kiranya dengan amat tepat mengungkapkan situasi batin sang pendeta. Ia mengalami konflik batin antara kewajiban moral dalam layanan pastoral, dan kewajiban serta tanggung-jawab terhadap keluarga. Kedua-duanya mesti dilandasi oleh cinta dan pengabdian yang tulus dan murni. Ini kisah selingkuh sang pendeta yang tidak kesampaian.
*****
Buku ini terdiri atas dua bagian besar: Buku I dan Buku II. Buku I menggambarkan perjumpaan sang pendeta dengan seorang putri, ketika sang pendeta itu sedang dalam tugas pelayanan dan kegembalaannya. Putri malang itu buta dan amat memprihatinkan. Maka hati sang pendeta pun tergerak oleh rasa iba dan belas kasih. Kemalangan putri itu dilukiskan antara lain sebagai berikut: “….seperti sebuah onggokan yang tidak mempunyai kemauan. Garis-garis wajahnya teratur, cukup bagus, tetapi benar-benar kosong.” (6). Ia “….bagaikan daging tanpa jiwa.” (7). Ia buta dan sebatang kara. Keadaan ini menggerakkan hati pendeta untuk mengurusnya. “Semoga suatu cahaya berkat-Mu menyentuhnya, ya Tuhan! Dan mungkin Engkau akan memperkenankan kasihku menguakkan kegelapannya yang mengerikan.” Demikian doa sang pendeta di dalam hati (7).
Maka sejak itu, dimulailah suatu karya layanan pastoral “tambahan.” Di sini ia harus berjumpa dengan Amelia, isterinya. Amelia menganggap tugas ini sebagai sebuah tugas yang menambah kerepotan urusan keluarga dan tugas pokok kegembalaan. Berarti Amelia kurang suka menerimanya. “Bapak tahu, aku tidak pernah menyetujui kehadiran anak itu di antara kami” (40). Ia memperhitungkan kedermawanan, walau hatinya mulia. Di matanya cinta adalah harta yang bisa habis dipakai. Sebagai seorang ibu yang tugasnya cukup berat, ia memang tidak mau merepotkan diri lagi dengan beban baru.
Amelia menganggap putri itu sebagai “benda”: “Maksudmu hendak kamu apakah itu?” (8). Pertanyaan itu amat menyakitkan hati dan perasaan sang pendeta. Tetapi ia tetap berpegang teguh pada prinsip pastoralnya: “Aku membawa pulang domba yang hilang” (9). “….apakah mungkin baginya meninggalkan seseorang yang jelas tidak mempunyai tempat bergantung dalam keadaan putus asa” (10), katanya untuk meyakinkan Amelia. Tetapi bagaimana pun juga kehadiran anak malang itu dianggap sebagai “bencana”: mula-mula karena ia jorok dan penuh kutu, kemudian karena ada “sesuatu” yang lebih ruwet dan rumit lagi.
Sang pendeta mendampingi anak itu dengan sabar dan tekun. Anak itu dipanggil Getrude. Ketekunan dan kesabaran ini, tidak dapat dibenarkan Amelia. “Kamu tidak pernah mengurusi satu pun anakmu sendiri sampai seperti itu.” (18, 28-29). Pendeta itu ditantang Amelia. Tetapi hatinya berbangga. Buah usahanya mulai cepat tampak. Gertrude memperlihatkan kemajuan pesat. Pikirannya selalu berjalan. Onggokan itu kini menunjukkan bahwa ia berpenghuni; hampir tidak kentara lagi bahwa otak itu pernah tidur begitu lama (31).
Lambat laun kehadiran Gertrude menimbulkan keresahan. Jacques, putra sang pendeta, ternyata jatuh cinta pada Gertrude (33-37). Tragisnya lagi, ternyata ayah dan ibunya tidak menyetujui hubungan itu. Maka dibuatlah rencana (diatur) agar mereka dipisahkan untuk sementara waktu (41), sampai perasaan itu hilang atau berlalu dari hati mereka. Namun bagi pendeta sendiri masih ada persoalan lain. Rasa iba dan belas kasih yang dulu, kini berubah menjadi “cinta” yang sulit dijelaskan juga oleh pendeta itu sendiri. Kenyataan ini disadari baik oleh si pendeta maupun si Gertrude. Keduanya sama-sama bingung. Dialog ini membuktikan hal itu: “Bapa tahu betul bahwa kau-lah yang kucintai. Bapa….oh! Mengapa kau tarik tanganmu? Aku tidak akan berbicara seperti itu seandainya Bapa tidak menikah. Tidak ada orang yang mau menikah dengan seorang gadis buta. Jadi, mengapa kita tidak bisa saling mencintai? Katakan, Bapa pendeta, apakah menurut pendapatmu itu adalah dosa?” (46). Tentu ini sebuah pertanyaan yang tidak gampang dijawab. Buku I selesai.
*****
Buku II diawali dengan konflik batin sang pendeta tentang pengalaman cintanya ini. “Aku masih ragukan bahwa aku mencintainya.” Karena “aku cenderung untuk tidak mengakui cinta yagn sah di luar perkawinan, dan dalam perasaan yang menyeretku secara mendalam ke arah Gertrude, aku cenderung untuk tidak mengakui adanya hal-hal yang terlarang” (49).
Perkembangan intelektual Gertrude amat pesat. Bahkan ia pintar main piano. Jalinan hatinya dengan pendeta pun semakin mendalam. Setiap dialog mereka sangat mendalam: tentang cinta, hidup, masa depan, dosa, kebajikan, iman, dan Kitab Suci. Mereka tidak bisa lagi menyangkal bahwa mereka saling mencintai dalam artian seluas-luasnya. “Tetapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu,” (64), kata Gertrude. Sementara sang pendeta merasakan suatu hal yang tidak enak karena hukum sosial membatasinya: ia terikat perkawinan sah. Maka ia pun berseru seakan-akan mencoba menyampaikan sebuah protes tersirat: “Bila ada pembatasan dalam cinta, yang membuatnya bukan kau, Tuhanku, melainkan maanusia. Meskipun di mana mereka cintaku adalah dosa, oh! Katakan padaku bahwa di mataMu cintaku suci” (65), demikian protesnya.
Sementara itu antara Jacques dan Gertrude pun terjalin cinta juga, cinta anak muda, hal mana menyebabkan sang ayah marah besar karena dililit “cemburu” berat. Ayah dan anak jatuh cinta pada gadis yang satu dan sama. Itulah soalnya. Gadis itu merasa sedih dan terkejut dalam pertemuan pertama setelah operasi. Ia melihat “sesuatu”, yang tidak pernah dilihatnya selama ini, walau ia bisa merasakanya. Mata yang terbuka berarti penyingkapan segala sesuatu, hal mana menyebabkan dia mau bunuh diri (70). Penyingkapan itu adalah hal ini: Gertrude merasa bersalah karena telah merebut hati dan cinta sang pendeta. Amelia sangat murung dan sedih karenanya. Gertrude mampu melihat dan merasakan hal itu, walau Amelia mencoba menyembunyikan perasaannya dalam-dalam. Karena itu, dia menganjurkan pendeta untuk mengembalikan cintanya pada Amelia. Tetapi anjuran itu justru membuat hati sang pendeta menjadi sangat sedih (71).
Lagipula setelah matanya bisa melihat, Gertrude merasa sebetulnya ia mencintai Jacques. Bayangan ideal sosok pendeta ditemukannya dalam diri Jacques. Memang cinta mereka sudah berlangsung lama dan mendalam. Tetapi mereka tidak bisa memadu kasih itu, karena sesudah menjadi Katolik Jacques masuk biara dan menjadi imam dan Gertrude meninggal. Boleh dikatakan bahwa sang pendeta “kehilangan” banyak: Jacques, Gertrude, dan cinta Amelia (sang Isteri) yang selama ini telah “terganggu.”
*****
Menurut saya, walaupun buku ini berakhir sedih, tetapi isinya sangat bagus. Gaya bahasa terjemahannya umumnya lancar dan tidak canggung juga. Bahasanya enak, mudah dicerna, dan sederhana. Tentu keahlian si penerjemah karya ini ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini bisa dan seharusnya dibaca oleh setiap orang sebagai bahan permenungan tentang cinta dalam karya pelayanan pastoral dan cinta keluarga. Isinya amat bagus. Pengarang melukiskan dengan amat baik dua bidang kehidupan dan pelayanan yaitu keluarga dan layanan kegembalaan. Keduanya mesti dilandai cinta. Tetapi justru karena itu juga keduanya menjadi sulit dibedakan. Orang tergoda untuk memilih mana yang harus didahulukan. Di sini orang bisa jatuh bila pertimbangan skala nilainya tidak matang. Tetapi pelaku-pelaku yang telah disebutkan tadi, tidak pernah jatuh, kendati nyaris jatuh. Justru di situlah letak indahnya: “Setiap saat terancam jauh, tetapi tidak pernah sampai terjatuh.” Buku ini pun pantas dibaca oleh orang yang mau memungut seorang anak, apalagi yang cacat.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...