canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Thursday, June 4, 2020
CERPEN: STANISLAW TUKEKEBE
Oleh: Fransiskus Borgias
Sekolah. Sebuah kata relatif baru bagi orang Manggarai tahun 70-an. Walaupun sekolah sudah diperkenalkan
sejak tahun 20-an, tetapi tetap saja belum tertanam kesadaran yang kuat untuk
sekolah. Sekolah terkesan dipaksakan guru. Sedangkan anak murid dan orang tua
mereka terkesan sekolah karena terpaksa. Mereka malas sekolah. Kalau harus ke
sekolah mereka ogah-ogahan. Tidak ada perspektif bahwa sekolah dapat
mendatangkan perbaikan mutu kehidupan. Sekolah bisa mendatangkan efek perubahan
hidup. Yang dilihat hanya bahwa sekolah membuang-buang waktu. Mengurangi jumlah
tenaga kerja anak, sebab tenaga mereka murah. Tidak perlu dibayar. Cukup dikasih
makan, sudah beres.
Salah satu orang yang mempunyai anggapan seperti itu adalah
orang tua Stanislaw Tukekebe. Biasa dipanggil Stanis. Ia teman kelas saya. Kami
sama-sama masuk kelas satu. Tetapi di sekolah Stanis hanya mengantuk. Tidur di
bangku. Kalau sudah mengantuk ingusnya mengalir tanpa terkontrol dan menumpuk di
meja-bangku. Kalau dibangunkan guru ia sangat terkejut, dan cenderung seperti
mau marah. Matanya merah karena baru bangun tidur. Tetapi yang paling
menjijikkan ialah tumpukan ingusnya di meja itu. Jika sudah demikian ia
menggosok ingus itu dengan sarungnya. Suatu saat ia lupa bahwa di dalam sarung
itu ia tidak pakai celana. Ketika ia mengangkat tinggi-tinggi sarungnya agar
bisa menghapus ingus itu, burungnya kelihatan.
Satu-satunya hal yang dipuji dari dia adalah di bidang lari jarak jauh. Ia pelari cepat di kelas kami bahkan di
sekolah kami. Ia selalu menang lomba lari, baik antar kelas, maupun antar
sekolah dalam lingkup paroki. Maka ia sering dimaafkan kalau bolos sekolah
karena ia aset di bidang olah raga lari. Bidang olah raga lain ia tidak bisa
diandalkan. Apalagi dalam ilmu-ilmu lain dalam kelas. Ia tidak tahu apa-apa.
Suatu saat, ketika kami duduk di kelas IV SD. Guru kami saat itu ialah Bapa
Lorens. Ia guru agama, tamat APK Ruteng. Bergelar BA. Gelar yang amat tinggi
waktu itu di kampung kami. Keren. Jarang orang menulis dua huruf itu di belakang
namanya. Ia mengajar agama. Juga kesenian. Ia mempunyai bakat yang tinggi di
bidang kesenian. Melukis, menggambar, menyanyi, dan menari. Beliau sangat
berbakat. Saya banyak belajar dari dia. Tetapi dia juga amat berdisiplin dan
dengan keras dan kaku ia menegakkan disiplin itu tanpa pandang bulu. Sudah
beberapa kali dalam catatan dia, Stanis bolos. Bahkan sekarang ia tidak masuk
sekolah selama satu bulan. Maka ia mengutus orang ke kampungnya untuk
memberitahukan hal itu kepada ayahnya.
Setelah dilakukan pendekatan seperti itu, akhirnya Stanis datang ke sekolah. Tetapi ia sangat dimarahi sang guru. Ia
dipanggil ke depan kelas. Sang guru mempunyai rotan. Dengan rotan itu ia
menanyai Stanis. Setiap jawaban, entah benar atau salah, dihadiahi satu-dua kali
lecutan rotan di pantatnya atau punggungnya. Lecutan itu sangat keras. Maklum
lengan sang guru sangat besar, sedangkan pantat sang murid sangat kecil, sebab
badannya kurus. Kami ketakutan mendengar bunyi lecutan itu. Kami tidak sempat
menghitung berapa lecutan yang mendarat di punggung dan pantatnya. Tetapi ia
termasuk orang yang tahan pukul. Ia hanya meringis, tetapi tidak menangis, walau
ia tampak marah.
Kami sempat menduga bahwa ia punya ilmu dukun kebal terhadap
rasa sakit akibat lecutan rotan. Tetapi setelah lecutan yang ke sekian, akhirnya
ia menangis, meraung-raung dalam kelas. Baru saat itulah sang guru menyetop
interogasi dan lecutannya. Lalu ia disuruh duduk kembali ke bangkunya. Ia tidak
dapat lagi mengikuti pelajaran. Ia hanya menangis tersedu-sedan menahan rasa
sakit di punggungnya.
Kebetulan hari itu, ia memakai baju yang rada sobek di
punggungnya. Terbelah dari atas ke bawah. Maka dari sobekan itu, saya bisa
melihat kulit punggungnya membengkak bekas lecutan rotan itu. Ada yang memar
(bokol Bahasa Manggarai-nya), ada yang memerah seperti bakal mengeluarkan darah.
Aku kasihan melihatnya. Aku mencoba merabanya. Tetapi dibentak sang guru. Aku
akhirnya diam. Sophia, yang biasa bertengkar dengan Stanis mengenai apa saja,
ketika istirahat, datang kepada Stanis. Ia melihat memar di kulitnya. Ia mencoba
menghibur. Sophia takut hal itu bakal mendatangkan bencana. Entah apa.
Keesokan harinya, ketika saya pagi-pagi ke sekolah, saya melihat beberapa orang dari
Perang datang ke sekolah membawa tombak dan pedang. Wajah mereka penuh amarah
dan dengki. Menakutkan sekali melihat wajah mereka. Cepat-cepat aku berlari ke
rumah memberitahukan hal itu kepada ayah. Rupanya saya terlambat. Ternyata di
rumah kami sudah ada guru yang kemarin menyiksa Stanis. Ia ketakutan. Ia mau
bersembunyi dan mencari perlindungan di rumah kami. Ia meminta perlindungan papa
saya. Lalu saya keluar lagi melihat ke mana orang-orang itu pergi. Ternyata
mereka pergi ke rumah sang guru. Mereka tidak masuk ke rumah itu. Di sana hanya
ada nyonya, anak-anak dan Sophia, yang tinggal bersama mereka untuk membantu
segala macam urusan di rumah tangga sang guru.
Entah mendapat informasi dari siapa, mereka tahu bahwa sang guru bersembunyi di rumah papa. Mereka pun ke
rumah kami. Mereka berbaris di depan rumah. Berjarak kira-kira lima-enam meter
dari rumah. Tombak di tangan kiri, diberdirikan di atas tanah dengan ujung ke
tanah. Tangan kanan kosong, tidak memegang apa-apa. Tetapi di pinggang sebelah
kiri bertengger pedang panjang yang siap dicabut dari sarungnya dan dihunus.
Kami ketakutan melihat kehadiran mereka.
Papa saya dengan sangat tenang menghadapi itu semua. Sang guru amat ketakutan. Ia memohon agar disembunyikan
dalam rumah kami. Tetapi papa menenangkan dia. Papa meyakinkan dia bahwa mereka
tidak akan berani masuk ke rumah. Betul. Mereka hanya berdiri di sana. Memanggil
nama sang guru. Memaki-makinya. Mengecamnya, mencercanya. Salah satu dari mereka
ialah ayah Stanis. Satu lagi pamannya. Saya kenal yang satu lagi, tetapi tidak
tahu apa hubungannya dengan Stanis. Mereka siap menerkam.
Setelah papa membiarkan mereka omong seenaknya dan sepuasnya, dan tampak bahwa mereka sudah
kehabisan nafas dan amarahnya sudah surut karena terlontarkan dalam
teriakan-terikan dan caci-maki, akhirnya ayah saya dengan berani keluar dan
berdiri di pintu.
“Ole, cala tombo bone ata di’an ta kraeng.” (Rasanya lebih
enak kalau kita omong-omong di dalam rumah).
Papa saya mengucapkan tanya itu dengan senyum dan tertawa terkekeh-kekeh yang menjadi khasnya ayah saya. Melihat
papa saya keluar, mereka menjadi malu. Buru-buru mereka meletakkan tombak mereka
ke tanah. Tetapi mereka tidak segera menjawab. Lalu papa saya masuk lagi, sambil
menghembuskan asap rokoknya di ambang pintu rumah sebanyak tiga kali. Papa
menghembuskan guna-guna untuk melunakkan amarah orang. Karena belum ditanggapi,
sekali lagi papa berdiri di pintu.
“Oe kesa, cala bone mbaru bone ata dian te tombo ta?” (Ipar, kiranya bicara di dalam rumah terasa jauh lebih baik). Dengan
tergesa-gesa mereka tertunduk malu melihat ayah saya muncul untuk kedua kalinya
di muka rumah. Sementara di dapur mama saya sibuk menjerang air untuk bikin kopi
hangat dan merebus ubi tatas yang nikmat untuk sarapan pagi.
Akhirnya, mereka meletakkan korung mereka di tanah, melepas pedang mereka lalu masuk ke dalam
rumah kami. Pak Guru sudah terlebih dahulu bersembunyi di kamar belakang. Papa
menawarkan mereka rokok dan kopi. Dalam rokok dan kopi itu sudah ditiup
guna-guna untuk membuat amarah orang mereda. Entah bagaimana caranya.
Setelah mereka mereda, akhirnya papa mulai berbicara tentang arti penting pendidikan,
sekolah dan arti penting disiplin. Ternyata Stanis bolos sekolah karena sering
disuruh dan diajak orang tuanya ke Lembor untuk kerja sawah. Kadang Stanis
sendiri yang mau membolos karena malas sekolah. Itulah yang diakui oleh
orang-orang tadi. Setelah itu, bapa melanjutkan dengan penegasan bahwa penegakan
disiplin di sekolah itu penting, walau tidak harus dengan kekerasan. Tetapi
tindakan seperti yang dilakukan mereka sekarang, juga dikecam keras oleh papa.
Nanti hal itu bisa dilaporkan sebagai kejahatan kepada pihak kepolisian.
Mendengar itu, akhirnya mereka menyerah kalah. Setelah itu, saya disuruh papa
untuk berpura-pura pergi ke suatu tempat memanggil Pak Guru. Setelah beliau
datang, maka terjadilah pendamaian. Melalui uap-uap yang membumbung dari
gelas-gelas kopi pagi dan piring ubi tatas yang hangat. Bercampur asap rokok
daun tal (saung koli). Pagi itu lalu terasa lega lagi. Mereka berangkulan. Awan
kabut di jidat mereka sudah reda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment