Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.
Lonceng makan malam sudah berbunyi. Kami berjalan dengan tenang dan hening ke kamar makan. Kami makan dalam diam. Saya sempat melirik satu persatu companion-ku di meja malam itu. Oh ya, sengaja saya memakai kata companion itu di sini. Karena kata itu berasal dari gabungan dua kata Latin, cum-panis, roti (panis) bersama (cum). Jadi, companion adalah orang yang makan sehidangan dengan aku. Dengan sudut mata kiriku mula-mula aku melirik Pater CG. Ia kelahiran tahun 1921. Jadi saat ini ia sudah berusia 67 tahun lebih. Sudah hampir mendekati usia batasan pemazmur itu: Umur kami tujuhpuluh tahun atau delapan puluh jika kuat. Tetapi karena dia terlalu banyak merokok dan minum kopi, dan mati raga makanannya sangat kuat, maka ia sudah tampak sangat tua dalam usia segitu. Saya perhatikan sungguh-sungguh bahwa “perempuan-perempuan penggiling” (baca: gigi) yang ia miliki sudah tidak lagi banyak menggiling, karena jumlahnya sudah berkurang seperti kata Pengkotbah itu. Aku melihat ia lebih banyak mengunyah dengan gusi daripada dengan gigi. Kiranya gilingan gigi itu sudah tidak lagi selincah dulu. Tetapi ia sangat tenang. Bahkan terlalu tenang. Dan itu rasanya menakutkan. Cepat-cepat aku membuang mataku saat ia sepersekian detik memandang kepadaku seakan-akan sedang menyelidiki sesuatu pada jidatku.
Kemudian aku memandang ketiga temanku. Mulai dari yang paling senior, Dominikus. Lalu Paskalis, dan kemudian Peter. Seperti halnya tadi sore dan juga sudah demikian selama hari-hari ini, ketiganya tampak sangat tenang. Ketenangan itu membuat saya merasa sangat minder. Aku yang kelainan di sini. Ketenangan yang membuat saya merasa aneh sendiri. Tanpa terasa aku menghabiskan cukup banyak makanan. Bahkan kekenyangan juga.
Masih ada satu sesi singkat lagi malam itu. Sesudah itu kami harus istirahat. Santai. Sudah boleh memutus hening, memecah sunyi, memotong silentium strictum itu. Saya sudah tidak begitu menyimak lagi sesi malam itu. Saya lebih banyak mendengar bunyi margasatwa malam dari luar ruang konferensi kami. Bunyi itu sangat banyak. Ramai sekali. Seperti sebuah paduan suara makhluk alam, suara pujian malam. Mungkinkan itu semacam completorium bagi mereka. Mungkin saja. Seperti halnya di pagi hari, mereka juga berbunyi, melantunkan semacam kidung pujian pagi, Laudes. Bukan hanya manusia yang mempunyai intuisi seperti itu. Makhluk hidup yang lain juga demikian. Saya fokus mendengarkan bunyi kodok. Saling bersahutan. Mungkin saling memanggil. Saling memberi kode. Kode kasmaran. Kode cinta. Sangat alami. Tetapi apakah cinta itu hanya sekadar panggilan alami, kodrati? Ataukah itu juga sesuatu yang adikodrati?
Rasanya daya-daya dan panggilan cinta itu adikodrati. Mungkin itu sebabnya Paulus dengan lantang berkata, demikianlah tinggal ketiga hal ini, iman, harap, dan kasih. Dan yang paling besar di antaranya adalah kasih. Iman dan harap itu hanya berlaku dalam dan untuk hidup di dunia ini. Keduanya akan berhenti begitu hidup di dunia ini berhenti. Dan yang akan terus bekerja di dalam ranah keabadian ialah kasih. Hanya kasih yang akan bertahan hingga masuk ke dalam keabadian. Luhur sekali, kasih itu.
Di mana aku bisa merasakannya? Merayakannya? Menikmatinya? Kapan? Dengan siapa? Bagaimana? Semua pikiran itu tercampur baur dalam diri saya. Setelah selesai sesi singkat malam itu, kami lalu rekreasi. Tetapi karena kami sudah bertemu setiap hari, walaupun dalam sunyi dan hening, jadinya rekreasi itu seperti gema lanjutan dari keheningan kami masing-masing. Hanya diselingi dengan bunyi kacang kulit yang dipecahkan dan bunyi glek minuman jahe hangat. Selebihnya sunyi. Kami terlalu lelah untuk melakukan kilas balik apa yang sudah kami bahas selama beberapa hari ini.
Saya merasa harus segera kembali ke kamar. Bukan untuk tidur. Melainkan untuk menulis sesuatu. Di Buku Harianku. Aku pamit kepada teman-teman untuk kembali ke kamar lebih cepat. Begitu sampai di kamar, saya mengambil BH ku dan alat tulis. Aku membuka pada halaman untuk melanjutkan catatan. Tetapi tidak ada sesuatu yang bisa saya mulai catat. Saya hanya mencatat satu kata. Consumatum est. Selesailah sudah. Bahkan ada juga di sudut lain di halaman itu, ada tertulis, non possum. Tetapi belum jelas benar mengapa saya menulis begitu? Belum jelas benar ke mana arah dari tulisan tanganku yang seperti rada spontan itu. Seperti ada yang bukan diriku yang mengendalikan tanganku untuk menulis begitu. Sudahlah. Quod scripsi, scripsi. Tidak usah diubah lagi. Tidak usah dicoret. Tidak usah ditip-ex.
Tadi saya pamit dari teman-teman sekitar jam 9 malam. Sekarang jam 11. Saya belum juga mengantuk. Saya duduk membaca buku-buku yang saya bawa dari Yogya. Di tengah malam itu, sayup-sayup dari jauh saya mendengar bunyi petasan yang dimainkan orang-orang kampung menyongsong tahun baru 1989. Orang menghitung mundur. Masih satu jam.
Pada masa satu jam itulah saya memikirkan saya mau apa sekarang. Kegelisahan ini harus segera dihentikan. Kalau mau terus, maka “Hai jiwaku, tenanglah.” Tetapi kalau mau berhenti, maka “Hai jiwaku, beranilah mengambil keputusan.” Sekarang. Maju. Mundur. Maju. Mundur. Maju. Mundur. Berbelok. Maju. Berbelok. Demikian saya ucapkan kata-kata itu mengikuti bunyi detak jarum jam di tengah malam itu. Tidak ada bunyi tokek.
Pada titik inilah saya sadar bahwa pilihan untuk maju tidak mudah juga. Tetapi pilihan untuk mundur juga ternyata tidak mudah. Tetapi harus ada pilihan. Harus ada putusan. Seperti yang kemarin sudah dikatakan, harus berani meloncat. Tidak bisa tinggal di sini. Tidak bisa diam di sini. Harus meloncat sekarang. Desakan itu sangat kencang dalam diri saya.
Sekarang sudah pukul 11:45. Count down orang-orang di mana-mana sudah semakin kencang. Count-down saya sendiri juga semakin kencang. Apa yang terjadi dengan tahun baru ini bagi saya. Karena saya tidak bisa tenang dan tidak bisa tidur, maka saya keluar. Kamar saya ada di ujung. Saya menelusuri gang antar kamar. Semua sudah sunyi. Lampu kamar sudah mati. Saya mampir di kamar makan. Saya mengambil sesuatu untuk minum. Di ujung sana, di dekat pintu keluar, kamar pater CG masih bernyala. Dia belum tidur. Rupanya dia berjaga, menyongsong datangnya tahun baru.
Dengan sisa-sisa kekuatanku akhirnya saya datangi pintu kamarnya. Saya memasang telinga. Dia belum tidur. Pukul 11:58. Tok…tok…tok… “Ya,” jawab dari dalam dengan sengau. “Masuk.” Saya masuk. “Mau apa?” “Mau pulang pater.” “Baik sudah. Tunggu sebentar. Saya cari kertas. Saya tulis surat kepada propinsial. Besok kamu bawa.” Sudah selesai. Saya terkejut juga. Tidak ada upaya sedikit pun dari dia untuk menahan saya. Ataupun menyuruh saya, coba pikir baik-baik. Tidak. Tepat jam 12:00. Saya berhenti.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
5 comments:
TKS kraeng tua. Sy suka term yg seksi ttg perempuan-perempuan penggiling. Sy kira ini mjdi ungkpn yg menarik dr seorang yg waktu itu mengambil jarak utk berelasi intim dgn perempuan. Yang kedua,mbaca alur berikutnya, saya seperti masuk dlm suasana saat itu ketika rasa genting,was-was, takut dan harapan itu bercampur dan kemudian diaduk. Suatu situasi di mana perang antra hati nurani dan kewajiban juga harapan terjadi. Entah apa yg ite rasakan saat itu,tapi saya merasa kata tak cukup tuntas untuk mengungkapkannya.prjlnan hidup Dite bagian ini mengingatkan diri sendiri bagaimana situasi batas sperti itu dan bagaimana tangan yang tak kelihatan menuntun. Terima kasih untuk cerita perjalanan ini. Rindu menanti kisah selanjutnta
Memutuskan untuk maju atau mundur. Tapi, ibarat mobil di parkiran. Mundur dulu baru maju. Atau maju mundur, maju mundur, baru maju...
Pater Sony svd ysh...
Pertama, terima kasih sudah mampir di sini memberi komentar...
kedua, terima kasih juga sudah memberi masukan bagus tentang cerita saya ini...
ketiga, karena sudah sharing juga sedikit tentang dinamika perjuangan sendiri...
keempat, terima kaish juga masih setia menanti yang akan datang...
salam damai...
EFBE
Runa...
terima kasih banyak sudah setia membaca dan memberi komentar...
terima kasih juga atas ibarat ini... mobil di parkiran...
saat itu, mobil saya tidak lagi di parkiran...
mobil saya sedang di jalan tol...
saya dipaksa ngebut oleh aturan jalan tol itu...
menunggu saat berbelok, susah sekali... masih jauh...
atau sudah tampak, tetapi tidak, atau belum berani...
tapi metafora itu bagus... mobil parkir... mundur dulu baru baju... terima kasih...
EFBE...
OH YA...
KEPADA SEMUA PARA PEMBACA, PARA PENUNGGU, PARA PENGKRITIK, PARA KOMENTATOR, ATAU YG HANYA SEKADAR MENGINTIP CERITA SAYA INI, SAYA HATURKAN BERLIMPAH TERIMA KASIH... KEHADIRAN KALIAN SEMUA, DALAM BENTUK APAPUN TELAH MEMOTIVASI SAYA UNTUK TERUS BERKREASI... SAYA BERHARAP APA YANG SAYA TULIS INI BISA MEMBANTU MENYUMBANGKAN SESUATU DALAM HIDUP ANDA SEKALIAN...
SALAM DAMAI...
EFBE...
Post a Comment