Wednesday, April 29, 2020

ATG - TEMBOK BITORA DAN KETAATAN GROENEN

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosesn dan Peneliti FF-UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, di Keuskupan Bandung.



Sebuah kilas balik. Menengok ke masa silam. Dalam rangka belajar dan menimba hikmat. Ya, pada tahun itu, tepatnya tahun 1988, sekitar menjelang akhir tahun, Bitora yang tenang dan hening mulai menjadi ramai dengan beberapa wacana. Apa pasalnya? Pater gardian Yogya pada waktu itu, yaitu Pater Parto Sudarmo ofm almarhum, mulai membangun rasanya seperti dengan putusan sepihak pagar tembok yang cukup tinggi mengelilingi Bitora itu. Hal itulah yang menjadi pokok kasak-kusuk dalam wacana para penghuni Bitora pada saat itu. Salah satu inti pokok diskusinya kiranya dapat dipaparkan secara singkat berikut ini.

Jika pagar tembok itu sudah terbangun maka hal itu jelas akan sangat mengubah bentuk dan penampang biara itu dan terutama sekali akan mengubah pola relasi biara dengan masyarakat di sekitar biara. Jika sebelumnya hubungan itu serba terbuka karena hanya dibatasi dengan pagar yang hidup saja, maka dengan terbangunnya tembok itu akan muncul sebuah ruang tertutup yang serba sangat eksklusif yang berbatas dengan sangat jelas dan tegas antara luar dan dalam, antara kita dan mereka, antara masyarakat luat biara dan dalam biara.

Selama ini, pagar hidup yang hijau memungkinkan pola relasi itu akrab, terbuka dan hidup. Orang-orang di luar biara menyebut penghuni biara dengan sebutan Bruder atau dengan sebutan singkat der. Kalau ada orang yang sudah bisa membedakan pelbagai macam sebutan yang dipakai di dalam biara (misalnya, ada yang dipanggil pater, ada yang dipanggil bruder, ada yang dipanggil bruder), maka dapat dipastikan bahwa orang itu adalah orang Katolik. Kembali lagi ke masalah tembok tadi. Sebelum tembok itu ada, maka tidak terkesan eksklusif dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Tidak ada sesuatu yang disembunyikan, seperti harta misalnya. Entahlah apa. Masyarakat luar biasa melihat ke dalam tanpa sembunyi-sembunyi, penghuni biara bisa melihat keluar tanpa sembunyi-sembunyi juga. Relasi akrab itu tampak dalam aktifitas ronda malam bersama, bahkan kerja bersih lingkungan bersama. Terkadang juga tampak dalam aktifitas olah raga.

Tetapi sejak akhir tahun 1988 itu dimulailah pembangunan tembok yang cukup tinggi di sekeliling biara itu. Tembok itu serba sangat tertutup dan cukup tinggi, mungkin lebih dari dua meter. Bahkan mungkin juga mencapai tiga meter. Cukup banyak penghuni biara waktu itu yang melakukan protes terhadap pembangunan tembok ini. Bahkan sebelum saya meninggalkan biara itu pada awal Januari 1989, saya masih sempat menulis sebuah catatan protes dan kritik pedas di dalam majalah bulanan Fransiskan, Taufan, bulan keluarga OFM. Tulisan saya waktu itu berjudul sarkastik, “Tembok Cina” di bitora. Jadi rindu lagi membaca tulisan dari masa muda (sebagai frater muda) itu. Semoga pada suatu saat bisa membolak-balik lagi semua koleksi itu.

Selidik punya selidik, ternyata pater Cletus Groenen juga mengkritik pedas putusan membangun tembok cina itu di Bitora. Beberapa kali kami sempat mendengar dia menggerutu dan mennyeletuk protes keras tentang hal itu. Kiranya ia juga sudah menyampaikan hal itu secara pribadi dan langsung kepada pater Parto sendiri. Rupanya semuanya itu tidak mempan, tidak digubris sama sekali. Akhirnya Pater Cletus pun diam saja. Ia tidak lagi berkata-kata sepatah katapun juga.

Hal itu tentu saja membingungkan dan mengerankan para penghuni biara lain yang menolak keberadaan tembok biara itu. Apalagi, entah dari mana anggaran biaya untuk pembangunan itu. Salah seorang teman dari antara kami memberanikan diri untuk menanyakan secara langsung kepada pater Gronen, mengenai perubahan drastis sikap dia. Dan inilah pelajaran penting yang ingin saya sampaikan di sini. Dan hal ini ada kaitannya dengan perkara ketaatan yang dalam tradisi disebut ketaatan suci. Salah seorang teman di antara kami pergi menghadap pater Groenen untuk menanyakan bagaimana pendapat dan pandangan dia terhadap situasi yang ada. Dan betapa jawaban dia sangat mengejutkan kami semua; memang ada juga di antara kami yang kecewa. Tetapi itulah sikap dia.

Dia mengatakan bahwa sebagai bawahan kita harus tunduk kepada apa yang sudah diputuskan oleh pimpinan, betapapun putusan sang pemimpin itu sangat sulit kita terima, putusan itu kita anggap sangat bertentangan dengan akal sehat kita. Kita harus siap untuk melihat sisi positif dari pengalaman ini. Barangkali Tuhan mau menyampaikan sesuatu yang dari saat ini belum dapat kita lihat dengan sebaik-baiknya dan sepenuh-penuhnya. Begitulah jawaban dan sikap Pater Groenen pada waktu itu.

Groenen yang merupakan dosen super senior, seorang pakar kitab suci yang kenamaan dan sangat disegani di Indonesia, memberikan jawaban yang sangat fransiskan, sebab jawaban dia itu mengajarkan sikap tunduk dan menghormati sang pemimpin walaupun hal itu dianggap tidak masuk akal. Dalam hal ini, secara pribadi saya teringat akan ajaran tentang apa yang disebut ketaatan mayat (oebedientia cadaver) yang diajarkan oleh Fransiskus Asisi kepada para saudaranya yang paling awal. Kita harus taat sepenuhnya kepada pemimpin kita walaupun kita tidak selalu mudah memahami hal itu. Kita harus menghormati mereka. Kita harus tunduk kepada pemimpin. Di hadapan sikap pemimpin yang sudah mengambil keputusan seperti itu, kita hanya bisa diam dan tunduk. Dan saya sudah mengambil sikap dan keputusan itu. memang berat. Tetapi saya tidak punya pilihan lain. Begitulah kira-kira kata Groenen pada waktu itu. Mendengar jawaban itu, saya hanya bisa berkata, wow… itulah gaya hidup Fransiskan.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...