Sunday, April 12, 2020

KITAB SUCI YANG INKLUSIF


Oleh: Fransiskus Borgias


Pada tahun 2007, Karen Armstrong, pakar sejarah yang berasal dari Inggris itu, menerbitkan sebuah buku yang sangat penting dan menarik. Judulnya, THE BIBLE, A BIOGRAPHY. Puji Tuhan, dua tahun sesudah itu, yaitu pada awal 2009, saya didaulat oleh penerbit Mizan, Bandung, untuk menerjemahkan buku itu. Saya telah mengusahakan hal itu dengan baik pada tahun itu juga. Setelah itu, naskah itu masih mengalami beberapa proses editing dan koreksi dan juga masih harus masuk dalam daftar wailing-list yang cukup panjang, sehingga buku terjemahan itu baru bisa diterbitkan pada tahun 2013 saat saya sedang menekuni studi saya di program S3 ICRS-Yogya, UGM-UKDW-UIN SUKA. Tetapi puji Tuhan, akhirnya buku terjemahan itu sudah terbit.

Saat sudah terbit dan saya mendapat beberapa exemplar sebagai tanda bukti keterlibatan di dalam seluruh proses itu, maka hal pertama yang saya lihat di dalam buku yang baru terbit itu ialah siapa yang didaulat sebagai penulis kata pengantarnya. Memang sebelumnya saya sudah diberitahu nama-nama mereka. Tetapi saya belum pernah melihat apa yang mereka tulis. Dan tidak main-main, ada dua profesor yang didaulat untuk menulis kata pengantar untuk buku terjemahan saya itu. Satu profesor dari kalangan Islam. Profesor yang lain dari dunia Kristiani, persisnya dari dunia Katolik. Saya tidak perlu menyebut nama keduanya di sini.

Saya langsung mencoba menyimak apa yang mereka tulis dan mereka katakan di dalam kata pengantar itu. Tentu saja, apa yang mereka katakan, menurut saya sangat menarik dan dengan tepat menggambarkan keluasan dan kedalaman pengetahuan mereka akan kajian-kajian keagamaan dan terutama filsafat. Tetapi saya harus dengan jujur mengatakan bahwa tidak satupun dari kedua profesor itu, itulah kesan yang saya peroleh, yang membaca secara sangat serius hasil teks terjemahan saya tersebut. Mengapa saya mengatakan begitu? Atau apa atau mana buktinya sehingga saya berani mengatakan seperti itu?

Saya harus mempertanggung-jawabkan apa yang sudah saya katakan. Saya sudah membaca berulang-ulang kata pengantar yang ditulis oleh kedua profesor itu dan mencoba menyimak baik-baik kajian yang mereka berikan. Tetapi akhirnya saya pun sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat jelas dan pasti bahwa kedua profesor itu sama sekali tidak menyinggung pesan dasar ataupun kepedulian utama dari Karen Armstrong, sehingga ia terdorong menulis buku BIOGRAFI ALKITAB ini. Saya sebagai penerjemah, sungguh bergelut dengan hal itu dalam seluruh proses terjemahan itu sendiri. Bahkan akhirnya saya pun bisa memahami atau menafsirkan mengapa Karen Armstrong, yang mantan biarawati Katolik itu, mengambil judul bukunya, A BIOGRAPHY. Sebab memang ia mau melakukan semacam riwayat hidup, riwayat terjadinya, proses kelahirannya, genesis dari kitab suci itu sendiri.

Kiranya Karen Armstrong dengan sadar dan sengaja memilih judul A BIOGRAPHY itu, karena ia mau menanamkan sebuah kesadaran yang kuat di kalangan para pembacanya bahwa apa yang sekarang ini dipegang oleh orang beriman sebagai Kitab Suci sesungguhnya tidak sekali jadi, apalagi ia diturunkan sebagai sebuah buku atau kitab yang sudah dijilid dengan sangat rapih dan indah, cantik, dari surga (seakan-akan di surga itu ada percetakan, ada penjilidan). Karen Armstrong merasa bahwa penegasan dan pemahaman ini sangat penting karena memang ada beberapa kalangan yang meyakini seperti itu. Kalau hanya berhenti pada level keyakinan sih tidak apa-apa. Masalahnya apa yang diyakini itu juga mempunyai konsekwensi sosial, politis, dan juga etis, yaitu ada efeknya dalam relasi dan pandangan si pemegang Kitab Suci itu akan sang Lian (the Other) yang selalu ada di sekelilingnya. Justru di situlah bahayanya. Jadi sekali lagi, Kitab Suci itu tidak sekali jadi, sebagai sebuah paket final. Melainkan, ia mengalami proses evolusi yang sangat panjang dan berbelit-belit.

Dalam proses dinamika evolusi itu ada banyak sekali editor yang mengedit ulang dan mengadaptasi teks-teks lama agar dapat disesuaikan dengan situasi dan perkembangan jaman yang ada. Bahkan lebih dari itu. Ada banyak tambahan-tambahan juga sesuai dengan pandangan teologis dari masing-masing para editor itu. Dengan sangat piawai Armstrong mengutip hasil studi ilmiah terhadap kitab suci selama dua abad belakangan ini yang dikenal dengan sebutan keren historical criticism, redaction criticism, sources criticism, form criticism, hal-hal yang saya pelajari dulu di STF Driyarkara Jakarta saat belajar Pengantar Studi Kitab Suci di bawah bimbingan Prof.Dr.Martin Harun, OFM, maupun saya pelajari lewat buku-buku pengantar Kitab Suci PL dan PB dari Prof.Dr.Cletus Groenen OFM. Tidak lupa saya juga banyak belajar dari buku populer dari Bapak Stefan Leks, Alkitab Untuk Anda.

Misalnya dengan sangat baik Armstrong melukiskan proses perpaduan historis antara tradisi Selatan dengan tokoh ideal Abraham dan tradisi Utara dengan tokoh ideal Musa dalam sebuah cerita "sejarah" perpindahan bangsa nomad mulai dari Ur-Haran, Kanaan, Mesir, Gurun Sinai, dan akhirnya menetap di Kanaan. Dalam proses "kisah" perjalanan itu berperanlah para teolog yang berhaluan Elohis (E), dan sedikit kemudian para teolog yang berhaluan Jahwistis (J, yang mulai sedikit bersifat rada eksklusif), lalu kemudian ada campur tangan para teolog yang berhaluan Deuteronomis (D), dan akhirnya ada campur tangan juga dari para teolog yang berhaluan Priest (P, yang menurut para ahli kitab lebih bersifat inklusif-merangkul dibandingkan dengan J dan D, khususnya D yang sangat tidak suka akan kaum Utara yang dipandang sebagai sumber pangkal sinkretisme dan pencemaran, penistaan terhadap agama Yudaisme). Armstrong berusaha keras menunjukkan ini semua sekali lagi untuk memperlihatkan sifat prosesif-dari kitab suci itu sendiri dengan konsekwensi harus menghindari sifat posesif apalagi sifat opresif-represif yang bersumberkan ilham dari ayat-ayat suci tersebut.

Nah, semua detil ini tidak begitu tampak (atau bahkan dengan sedikit lebih keras dan tegas, tidak ada) dalam ulasan pengantar kedua profesor itu. Padahal menurut saya sebagai penerjemah yang sungguh terlibat dalam proses terbitnya buku ini, justru hal itulah yang menjadi tujuan utama dari proyek buku Karen Armstrong itu. Jadi, dengan mengulas proses perjalanan "biografi" dari Kitab Suci itu, Armstrong mau membuka kepada kita bahwa sesungguhnya tidak boleh ada alasan untuk ngotot di dalam mempertahankan ayat, apalagi sampai harus karena ayat memayatkan hayat-hayat sesama. Mengapa begitu? Karena dalam proses lahirnya Kitab Suci itu sendiri, ada suatu proses yang bersifat dialogis, lentur, inklusif, merangkul, hidup dan serba memeluk, mengayomi. Kalau orang bisa melihat dan sadar akan biografi Kitab Suci, Armstrong berharap tidak akan ada lagi orang-orang radikal dungu-tolol yang mau membom demi ayat-ayat suci tetapi sayangnya justru menghasilkan mayat-mayat dengan mengorbankan hayat-hayat sesama yang masih dan sedang mencoba merajut hikayat kemanusiaan universal. Itulah proyek Armstrong.

Ketika menulis semuanya ini saya langsung teringat akan sebuah buku yang sangat menarik dari sastrawan dan budayawan kondang, Goenawan Mohamad, yang berjudul TEKS DAN IMAN (Tempo, Pt.grafiti pers, Jakarta: 2011). Buku ini terdiri atas tujuh bab. Tetapi yang paling relevan untuk saya singgung terkait dengan tulisan saya saat ini adalah Bab 1, Tentang Teks dan Iman (hlm.1-18). Dalam bab ini, khususnya pada halaman 14 GM menyinggung Karen Armstrong, tetapi bukan buku yang saya terjemahkan ini, melainkan bukunya yang lain, tetapi mempunyai nada dasar yang sama, yaitu The Battle for God (NY: Alfred A.Knopf, 2000, p.368). Untuk mengakhiri tulisan ini saya mau mengutip GM yang menyinggung KA dengan sangat indah dan mengena (dan karena itu saya tadinya berharap justru GM inilah yang memberi kata pengantar kepada buku itu, hehehehe): "Yang cukup memasygulkan ialah bahwa dorongan deras abad ke-20 itu juga mengurah sampai hampir kering sumber-sumber rohaniah - yang sebenarnya terjadi dalam agama-agama. Bahkan pada gilirannya agama-agama mereproduksi kekerasan yang terjadi. Dalam ketakutan akan kehancuran dirinya dalam sebuah masyarakat yang, untuk memakai dikotomi Karen Armstrong, lebih berpegang pada logos ketimbang pada mythos, agama-agama "mendefinsikan doktrin, membangun rintangan, menegakkan tapal batas, dan memisahkan mereka yang beriman dalam sebuah tempat terpisah yang suci di mana hukum dengan keras diberlakukan." (GM, Teks dan Iman, hlm.14).

Ah ngeri sekali rasanya wajah agama-agama itu. Mungkin itu sebabnya Hans Kueng dengan kawan-kawan, dalam proyek yang keren dan terkenal dengan sebutan "Welt-ethos project" itu, kembali menegaskan agar agama-agama kembali ke basis-basis dan pesan etisnya, sebab menurut Injil Matius (25:31-46) dalam pembacaan dari orang seperti Leonardo Boff, Juan Arias, dan Groenen, kita akan diadili pada tahta pengadilan surgawi kelak, berdasarkan kriteria etis (apa yang kau buat bagi orang yang paling kecil dan hina-dina), dan bukan berdasarkan kriteria kultis (apa yang anda percayai, apa iman anda, apa agama anda, berapa kali anda berdoa, bagaimana cara anda berdoa, di mana anda berdoa, anda berdoa dengan siapa, dst.dst.,). Semuanya itu kelak tidak akan laku lagi. Yang mutlak berlaku ialah kriteria etis itu, apakah saya menaruh per-hati-an (perhatikan, saya menulis kata itu dengan per-HATI-an, karena memang artinya memberi HATI) pada sesama khususnya yang kecil, menderita, dan disisihkan oleh yang berkuasa.

1 comment:

canticumsolis said...

Teks dalam tulisan ini masih bersifat cukup spontan... semua rujukan yang disebut belum direcek lagi. Hanya berdasarkan percikan ingatan saja... tetapi saya sudah mencoba mengupayakan yang terbaik... semoga tulisan saya ini berguna bagi para pembaca sekalian... selamat membaca.... saya akan senang sekali kalau ada tanggapan dan komentar yang bisa memperkaya tulisan ini.... salam... tabik seribu...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...