Sunday, April 26, 2020

AGUNGNYA KEINDAHAN

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA
Dosen dan Peneliti pada FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Dulu ketika masih menduduki tahta suci santo Petrus di Roma, Paus Yohanes Paulus II pernah mengeluarkan sebuah ensiklik yang menurut saya sangat cemerlang dengan sebuah judul yang juga sangat menarik “Splendor Veritatis,” yang artinya ialah Keagungan Kebenaran (bisa juga secara bebas diterjemahkan sebagai Kebenaran yang Agung). Ensiklik itu terbit pada tahun pertama kali pada 6 Agustus 1993. Menurut saya dokumen dari bapa suci itu bisa dipahami sebagai sebuah pernyataan teologis-filosofis perihal betapa agungnya kebenaran, bahwa kebenaran itu memang sungguh agung dan juga mengagumkan. Kiranya factor keagungan itulah yang menyebabkan orang merasa tertarik kepada kebenaran, terseret kepada aletheia, kepada sebuah penyingkapan, kepada peristiwa ketelanjangan, kepada ketidak-tersembunyian, kalua mau meminjam kata filsuf Martin Heidegger. Memang kebenaran itu selalu menarik perhatian manusia.

Tetapi tiba-tiba di sini muncul sebuah pertanyaan kritis di dalam pikiran saya: apakah hanya kebenaran sajakah yang agung yang bisa memikat dan menarik perhatian kita sebagai manusia? Tidakkah ada sesuatu hal yang lain yang juga memancarkan keagungan? Bagaimana misalnya, dengan dua pilar atau tiang tonggak peradaban yang lain yakni kebaikan (bonum, bonitas) dengan perangkat teoretis ilmunya yang disebut ethica itu? Atau bagaimana misalnya dengan pancaran keagungan keindahan (pulchrum, pulchritudo) dengan perangkat teoretis ilmunya yang disebut aesthetica itu? Apakah keduanya tidak memancarkan keagungan yang bisa juga menarik atau memikat perhatian manusia? Kiranya, menurut saya keduanya juga sama-sama memiliki dan memancarkan keagungannya yang masing-masing yang unik.

Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini saya hanya mau membahas tentang keagungan keindahan, splendor pulchri (sebab splendor veritatis, sudah dibahas oleh bapa Paus Yohanes Paulus II). Mengapa saya menelusuri lorong keindahan ini, dan tidak menelusuri lorong kebenaran (veritas) sebagaimana sudah dirintis oleh bapa Paus Yohanes Paulus II itu? Saya mau menjelaskan duduknya perkara ini dengan sebuah cara argumentasi berikut ini. Sering sekali kalau kita mau berbicara tentang ilmu, maka yang kita pikirkan hanyalah soal kebenaran saja (soal verum, soal veritas) terutama sekali dengan perangkat teoretis ilmunya, yaitu logica. Hasilnya ialah sains (tentu saja juga ikut terpikirkan di sana teknologi sebagai penerapan praktis dari sains itu sendiri), terutama yang berkonotasi eksata, yang bersifat serba pasti, dank arena itu memutuskan dan memastikan sesuatu secara hitam-putih, hampir tidak memberi tempat sama sekali sebuah wilayah abu-abu, sebuah jalan tengah. Dengan kata lain, di sini perkara epistemology dibatasi pada hal-hal yang bersifat rasional belaka. Hal itu juga berarti bahwa cara kita mengetahui (episteme) dan juga cara kita mengerti atau memahami (noetic) hanya dibatasi (bahkan mungkin secara sangat sempit) pada aktifitas ranah yang rasional belaka. Dan di sini kita pun sampai kepada logica, yaitu ilmu yang menghasilkan cara dan disiplin berpikir logis tadi menurut hukum-hukum dan aturan-aturan tertentu.

Maka di sini secara spontan dalam hati saya pun muncul lagi sebuah pertanyaan kritis: yaitu Bagaimana dengan ethica dan aesthetica (kalua kita hanya seakan-akan memprioritaskan logika saja)? Apakah kedua bidang itu tidak bermakna, tidak mempunyai kontribusi tertentu terhadap ilmu-ilmu manusia? Saya harus menandaskan di sini bahwa kedua hal itu tidak bisa dan tidak boleh kita abaikan begitu saja. Sebab bukankah kedua hal itu juga adalah cara kita mengetahui dan mengerti? Sebelum lupa saya mau menegaskan dulu bahwa estetika dan etika juga adalah “our way of appropriating knowledge.” Jangan sampai orang hanya beranggapan bahwa Estetika dan etika itu hanyalah “our way of appreciating knowledge.” Tidak demikian duduk perkaranya. Bagaimana pun juga, kedua hal itu juga adalah “our way of knowing and creating and even also our way of accumulating knowledge.”

Ketika menulis tentang hal ini (yaitu cara mengetahui tadi) saya tiba-tiba teringat akan Joseph Ratzinger (Bapa Paus Emeritus, Benediktus XVI). Kiranya tidak ada yang bisa menyangkal bahwa dia adalah salah satu teolog besar Katolik dewasa ini. Ia juga dikenal sebagai teolog yang berada dalam jalur pemikiran teologi estetika ala Hans Urs von Balthasar, Eric Pyrzwara, Jean Danielou, dan tokoh Fransiskan agung dari jaman “golden age” abad pertengahan, santo Bonaventura. Terkait dengan hal ini saya ingat bahwa pada suatu saat Bapa Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) berkata bahwa “keindahan adalah ilmu.” Bagi saya pernyataan ini sungguh mengejutkan. Bagi saya jelas ini adalah suatu pencerahan juga. Mengapa begitu? Bagaimana kita dapat menjelaskan keyakinan Paus Benediktus XVI ini bahwa “keindahan adalah ilmu”? Menurut Joseph Ratzinger, keindahan adalah bentuk yang lebih tinggi dari aktifitas “mengetahui” manusia. Hal itu disebabkan karena keindahan itu menerpa (datang menimpa, mendatangi) manusia dengan kebenaran dalam segala keagungannya (Lihat On the Way to Jesus Christ, hal.35; judul ini sangat mirip dengan judul buku “On the Way to Language”-nya Heidegger).

Mengapa bisa dikatakan demikian? Hal itu tidak lain karena (pancaran-pancaran) keindahan itu menyentuh, menimpa, dan menyergap manusia dengan satu cara yang sangat ajaib. Bahkan di sini bapa Joseph Ratzinger memakai kata yang sangat kuat dan khusus yaitu “melukai.” Kata Joseph Ratzinger, keindahan itu melukai manusia. Dan melukai itu artinya menorehkan bekasnya, mencetakkan jejaknya secara kuat pada sesuatu sehingga berbekas. Jadi, ia berbekas, terpatri, lengket seperti perangko, menorah luka seperti torehan paku pada tubuh, kira-kira seperti peristiwa drama di atas salib itu. Karena kata kerja yang dipakai ialah “melukai” maka hal itu berarti ada yang terluka, apa yang berbekas tertoreh, dank arena itu akan terus diingat, tidak mudah dilupakan. Bahkan hal itu lalu lama-lama menjadi endapan di alam bawah sadar, menjadi sebuah “luka lama” yang akan selalu dirasakan seseorang di dalam dan melalui tubuhnya sendiri.

Memang pintu masuk ke pengetahuan keindahan ini adalah lewat pengalaman pribadi, demikian kata Ratzinger. Dalam hal ini ia sebenarnya sedang mengutip Nicholas Cabasilas, seorang teolog Yunani Ortodoks yang kenamaan melampaui batas-batas ruang denominasinya sendiri. Dikatakan bahwa lewat pengalaman pribadi itulah, kita (manusia, si subjek pengalaman tadi) dapat berjumpa dengan apa yang disebut “das Ding an sich,” (benda dalam dirinya sendiri), kalua kita mau meminjam istilah filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl. Lewat pengalaman itulah, orang bisa sampai kepada pengetahuan sejati. Tentu saja, pengetahuan seperti itu adalah pengetahuan berdasarkan pengalaman, pengetahuan empiris. Dan memang pengetahuan sejati, kata Joseph Ratzinger, adalah suatu keadaan di mana orang merasa dan mengalami sedang diterpa secara langsung oleh panah keindahan (the arrow of beauty) yang menancap dan melukai manusia (p.36). Itu artinya orang itu “disentuh dan berhadapan langsung dengan realitas” tanpa mediasi kata-kata yang kadang mereduksi, mengkerangkeng, dan bahkan bisa juga menyesatkan. Oleh karena itu, jangan meremehkan estetika dan etika. Melainkan, sempurnakan penelusuran logika anda dengan penelusuran etika dan estetika, maka dengan cara itu anda akan menjadi manusia sempurna seperti Bapamu di surga sempurna adanya.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...