Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan
Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung.
Menyongsong Mentari Dengan Tari
Puncak perayaan penti adalah Songka Lesong. Secara harafiah istilah itu berarti Tarian (Songka/Congka) Mentari (Leso-ng; proses verbalisasi kata benda atau noun Leso, Mataleso). Itu adalah ritual puncak perayaan penti, paling tidak dalam penghayatan orang Perang, desa Pontoara, Lembor, Manggarai Barat), di mana orang menari (songka) persis pada jam 12 malam, saat diyakini mulai terbit matahari pada hari baru, bur leso (dalam istilah Manggarainya). Oleh karena itu, Songka Lesong tidak lain berarti tarian atau menari untuk menyongsong matahari baru yang sebentar lagi akan terbit. Dan itulah tahun baru.
Walaupun saya tahu ada juga beberapa peneliti kebudayaan Manggarai yang memakai sebutan atau istilah lain (misalnya Congka Kolong), tetapi saya tetap lebih suka akan istilah Songka Lesong itu. Di dalam disertasi saya di UGM, saya sudah menjelaskan bahwa istilah itu saya dapatkan di Perang, Lembor, dari nara sumber saya yang utama, bapa Stanis Jomar (sudah almarhum). Di dalam disertasi itu juga saya sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan Songka Lesong itu.
Sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, songka lesong itu adalah momen puncak perayaan Penti di mana orang menari di sekeliling siri bongkok (dalam rumah gendang) pada jam duabelas malam sambil menyanyikan lagu-lagu permohonan kepada Sang Tuhan Pencipta dan Sang Pembentuk kehidupan, atau dalam bahasa Manggarai dikenal dengan nama atau lebih baik gelar, Mori Jari agu Dedek, Mori Jiri agu Wowo (dan pelbagai nama atau sebutan lainnya).
(NB: Berkaitan dengan nama atau sebutan “Songka
Lesong” itu perlu diberi catatan sedikit. Ada yang mengucapkannya menjadi
Congka Lesong, jadi S menjadi C. Tetapi saya beranggapan bahwa lafal S jauh
lebih tua (proto) daripada C, sebab pengucapan C adalah perkembangan yang jauh
lebih kemudian daripada pengucapan dengan S. Misalnya, Sa o nai; atau O siri so
o sa ga e, atau Inang dalu Cibal e, amang dalu Lamba, siri soo e, toe pening one peti manuk kiok kok. Terkait dengan sebutan Congka Kolong yang disebut beberapa peneliti
Manggarai yang lain. Tetapi saya tidak menerima sebutan ini sebab sebutan ini
tidak ada artinya sama sekali).
Dua Baris Lagu Permohonan
Ada
dua baris lagu yang saya ingat dari masa kecil, dari sebuah lagu sanda dalam Pesta Penti di kampung Lentang.
Begini isi atau bunyi syairnya sejauh saya masih ingat: (Bagian Cual) Ere lele oooo e ba’eng koe, (Bagian
Wale) aaaaa…. eoooo…. Ao dendeng ine a dendeng sala ine, Yo Mori dendeng sala
ine, pedeng jerek wae susu yo Mori. Itulah poin permohonan yang pertama. Lalu
poin permohonan yang kedua ialah sbb: Ere lele ooooo e ba’eng koe, aaaa….
Eooo…aooo… dendeng ine a dendeng sala ine, yo Mori dendeng sala ine, porong uwa
haweng wulang yo Mori (pada bagian atau baris ketiga bagian terakhir ini
diganti dengan "porong langkas haeng ntala yo Mori").
Apa arti dari teks lagu itu? Pada masa kecilku saya selalu berpikir bahwa yang dimaksudkan dengan ungkapan “wae-susu” (air susu) dalam lagu itu yang diminta dalam lagu tadi adalah air susu ibu (asi), yang biasanya diisap bayi agar mereka bisa hidup dan kebal terhadap pelbagai macam penyakit. Sebab memang air susu ibu adalah sumber kekebalan atau imunitas alami bagi hidup sang bayi itu. Jika air susu ibu sang bayi itu tidak banyak, hal itu akan menimbulkan "masalah" bagi perkembangan si anak, terutama bagi sistem kekebalan (imunitas) alaminya.
Saat saya menulis kalimat yang baru saja lewat itu tiba-tiba saja saya teringat akan mulut bayi yang baru lahir yang otomatis bergerak seperti mau mengisap, sebuah gerak naluriah alami, yang biasanya oleh para bidan yang membantu proses kelahiran akan dilakukan ritual yang disebut inisiasi itu, menempatkan bayi yang mulutnya bergerak-gerak mengisap tadi ke dada ibunya. Dan secara naluriah alamiah pun mulut anak itu akan mencari puting susu ibunya dan begitu menemukannya ia akan mulai mengisap dan dengan itu dimulailah sebuah perjalanan kehidupan baru.
Apa itu "Wae susu"?
Kembali lagi ke alur tulisan saya.
Jadi, saat saya mendengar ungkapan “pedeng jerek wae susu” saya membayangkan bahwa
para penari dan penyanyi dalam ritual Songka Lesong itu sedang meminta sumber
daya hidup, saripati makanan kepada Tuhan yang empunya kehidupan. Saripati itu
dilambangkan secara padat dengan wae-susu itu.
Ketika
saya banyak berdiskusi dengan Pater Flori Laot OFM tentang adat dan budaya
Manggarai, saya juga sempat menanyakan hal itu, yaitu pemahaman dia tentang
ungkapan “wae-susu” itu. Dari dialog dan wawancara itu, saya mendapat kesan dan merasa bahwa beliau pun berada
pada jalur pemahaman yang kurang lebih sama dengan pemahaman saya tadi: secara
harfiah orang meminta air susu ibu (pedeng jerek wae susu) yang memang pada faktanya bisa menghidupkan
dan secara alamiah memberi kekebalan tubuh.
Wae Susu: Metafora Untuk Sperma
Tetapi pemahaman itu akhirnya berubah secara total saat saya bertemu dengan Bapa Stanis Jomar di Perang, Lembor, saat saya melakukan penelitian lapangan (field research) di sana untuk mendapatkan bahan disertasi saya. Pada saat itu, di antara banyak hal yang saya tanyakan, saya bertanya tentang “wae-susu” ini juga. Ketika saya tanyakan tentang apa arti dari ungkapan tersebut kepada dia, saya pun sangat kaget. Kaget karena ternyata apa yang saya pahami selama ini, yang juga didukung oleh P. Flori tadi, tidak benar sama sekali.
Menurut Bapa
Stanis Jomar, “wae-susu” yang dimaksudkan dalam syair lagu itu adalah air mani
pria. Jadi di dalam syair lagu Songka Lesong itu, orang meminta sedikit
pancaran setetes (jerek) dari air mani tersebut, yang dalam ungkapan Bahasa
Manggarai, secara metaforis juga disebut “wae-bur”, tajen (Jawa). Jadi, orang
meminta benih-benih awal hidup kepada Tuhan yang mahatinggi, sang pencipta dan
pembentuk kehidupan. Hidup tidak akan muncul tanpa adanya pancaran benih-benih
awal tersebut.
Keterangan Bapa Stanis ini telah mendorong dan menggerakkan saya untuk berpikir dan bertanya lebih lanjut, yakni mengapa orang meminta air mani itu dan bukannya meminta “air-susu” yang memang eksplisit disebutkan dalam doa permohonan tersebut? Kiranya karena air mani itulah yang mendatangkan hidup. Air mani (dilambangkan dengan wae susu, karena prinsip sama warna) menjadi pangkal hidup. Sedangkan air susu ibu yang keluar dari tetek ibu, adalah penjamin hidup selanjutnya. Nah, yang dimintakan dalam ritual Songka Lesong ini ialah benih awal hidup itu yang berasal dari pancaran sperma pria.
Perempuan "Selalu" Subur
Di sini diandaikan bahwa indung telur selalu ada dan selalu tersedia dalam Rahim ibu (walau tidak selalu demikian adanya, sebab bisa saja perempuan itu mandul atau indung telurnya tidak matang untuk dibuahi). Teteapi yang jelas ialah bahwa dalam lagu pengiring ritual songka lesong itu, orang jelas dan eksplisit meminta agar ada kesuburan pria, agar hidup dapat terus berlanjut.
Orang tidak meminta kesuburan wanita di dalam ritual penti,
walaupun ada ritual khusus untuk meminta kesuburan di dalam hidup perkawinan,
dalam event kehamilan. Sepertinya kesuburan wanita dan ketersediaan indung
telur di dalam Rahim wanita, selalu diandaikan ada dan tersedia begitu saja.
Saya mendapat kesan seperti itu dari untaian penjelasan yang diberikan oleh
bapa Stanis.
Karena itu, dalam ritual penti, khususnya dalam bagian Songka Lesong, orang meminta kesuburan pria, kesuburan suami. Kesuburan pria (suami) itu diharapkan terpancar selalu, tidak mati, tidak mongering. Hal itu kurang lebih sama dengan doa untuk mata air, porong mboas wae woang, porong kembus wae teku.
Tafsir Maskulin dan Tafsir Feminin
Walau ada pemaknaan seperti itu dari Bapa Stanis Jomar, saya akhirnya sampai pada satu rumusan pemahaman sintesis yang mencoba mendamaikan dua makna tadi: Saya sebut saja tafsir feminine dan tafsir maskulin, tafsir ibu, dan tafsir ayah, tafsir laki-laki, tafsir perempuan. Saya sampai pada keyakinan bahwa penjelasan P. Flori dulu, yang juga saya anut tidak salah seluruhnya.
Oleh karena itu, saya mencoba mensintesiskan kedua perspektif tafsir dan pemaknaan itu. Bahwa yang diminta dalam Songka Lesong adalah kedua hal itu sekaligus. Sebelum ada bayi baru (meka weru, meka le mai puar, kata puar di sini berarti menunjukkan dimensi misteri dari asal-usul manusia), orang meminta air mani. Bila sudah ada bayi baru yang terlahir dari perkawinan, maka orang pun lalu meminta air susu.
Dengan cara penafsiran sintesis seperti ini maka kedua macam tafsir dan
pemaknaan itu pun menjadi satu. Tidak usah lagi harus bertentangan satu sama
lain, tidak usah lagi harus saling menyingkirkan satu sama lain. Bahkan kedua
macam penafsiran itu saling mengandaikan dan memperkaya satu sama lain juga. Itu adalah sebuah sintesis hermeneutik yang amat menarik dan memperdalam makna.
(NB: Ini adalah tafsir saya. Mungkin ada cara penafsiran dan pemaknaan serta pemahaman yang lain. Saya terbuka saja terhadap tafsir dan pemaknaan yang lain).